Muharram adalah bulan yang dimuliakan. Selain Dzulqadah, Dzulhijjah, dan Rajab, Muharram adalah bulan yang dimuliakan lainnya.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya waktu telah berputar sebagaimana mestinya, hal itu ditetapkan pada hari Allah menciptakan langit dan bumi. Dalam setahun ada 12 bulan, di antaranya ada empat bulan yang mulia. Tiga di antaranya berturut-turut, yaitu Dzulqadah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab yang dianggap mulia oleh Bani Mudlar, yaitu antara Jumadil Tsani dan Sya’ban.” (HR Bukhari).
Sebagai umat Islam, kita menyambut bulan ini dengan sukacita. Pada Muharram, kita merayakan tahun baru Islam. Kita menyusun niat dan mempersiapkan segala amalan untuk menyambut tahun baru dan bulan mulia ini. Bersama-sama kita membaca doa akhir dan awal tahun, berzikir tahlil, memberi susu, mengusap kepala anak yatim, bersedekah, bahkan berpuasa hingga hari kesepuluh bulan Muharram, semuanya dilakukan dengan tujuan meraih kemuliaan di bulan yang mulia ini.
Namun, pernahkah kita memikirkan mengapa bulan Muharram begitu dimuliakan? Apa yang membuatnya begitu istimewa? Ternyata, kemuliaannya disebabkan oleh beberapa kejadian luar biasa yang terjadi dalam bulan Muharram, baik kejadian yang membawa kebahagiaan maupun kejadian yang menyedihkan.
Untuk kejadian yang membawa kebahagiaan, Kitab Tanbihul Ghafilin menjelaskan:
“Para ulama telah berbeda pendapat dalam menjelaskan hari Asyura. Beberapa berpendapat bahwa Asyura dinamakan demikian karena ini adalah hari kesepuluh Muharram. Pendapat lain menyebutkan bahwa Asyura dinamakan demikian karena Allah SWT memberkahi sepuluh nabi dengan sepuluh keistimewaan pada hari itu. Antara lain:
Untuk kejadian yang menyedihkan, adalah terbunuhnya Sayyidina Husein bin Ali bin Abi Thalib di Karbala. Ini merupakan peristiwa yang sangat menyedihkan dalam sejarah Islam.
Nadirsyah Hosen, Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand, juga menulis tentang kejadian ini:
“Dia berusia sekitar 58 tahun. Pada hari kesepuluh bulan Muharram tahun 61 H, setelah shalat Subuh, dia keluar dari tendanya dan menaiki kudanya. Dia melihat pasukan yang mengepungnya. Dengan indahnya, dia berpidato:
‘Apa yang kamu lihat dari nasabku? Lihatlah siapa aku ini. Kemudian lihatlah dirimu sendiri dan cermati apakah pantas bagi kalian untuk membunuhku dan mencemarkan kehormatanku? Bukankah aku ini putra dari putri Nabi kalian? Bukankah aku ini putra dari washi dan keponakan Nabi kalian, yang pertama kali beriman kepada ajaran Nabi kalian?’”
Pertarungan di masa Khilafah saat itu mengorbankan nyawa cucu Nabi SAW. Peristiwa ini memberi kita pelajaran berharga bahwa pertarungan politik tidak boleh sampai mengorbankan kesucian dan kehormatan pribadi.
Demikianlah, bulan Muharram diisi dengan kejadian-kejadian besar yang menyiratkan makna kebahagiaan dan kesedihan bagi umat Islam.
Wallahu a’lam.