Bagi sebagian orang, Idul Fitri adalah momen yang ditunggu-tunggu. Momen yang digunakan semaksimal mungkin untuk bertemu dan rindu-rindu. Suami pada istri, anak pada orang tua, saudara pada keluarga, teman pada sebaya, dan kekasih pada kekasih. Luang untuk mereka yang tersayang.
Karena memang, Idul Fitri selalu dijadikan hari libur bersama. Setiap orang punya libur yang sama, meski dengan bahagia yang berbeda. Itu mengapa, dalam menyambut Idul Fitri, orang-orang memiliki cara bahagianya masing-masing: ada yang memilih mudik ke kampung halaman dan ada yang tidak mudik ke kampung halaman, entah mereka yang memang tidak punya kampung atau mungkin karena mereka yang belum ada kesempatan untuk pulang.
Dengan begitu, bukan tentang bahagia mana yang kita ingin, tapi bahagia mana yang kita butuh: maka ciptalah bahagia itu!
Idul Fitri adalah puncak harapan. Setelah berpanjang usaha dan mendalam do’a selama Ramadhan, sudah seharusnya Idul Fitri adalah Rahmat yang peripurna. Begitu didamba, hingga layaknya disebut sebagai hari kemenangan!
Sebagaimana layaknya Idul Fitri yang bermakna kembali suci, kita pun berharap demikian. Dengan berpegang pada sabda Nabi Saw,
(Hadis Puasa Menjadi Suci Kembali)
Itu kenapa dinamakan hari kemenangan, karena kemenangan kita atas berperang melawan hawa nafsu; itu kenapa dinamakan Idul Fitri, karena kembali sucinya kita atas dosa yang diperbuat; itu kenapa dinamakan hari raya, karena kemenangan dan rahmat yang berupa kembali sucinya kita adalah hal yang memang harus dirayakan dan disemarakkan sebagai salah satu tanda syukur.
Hingga, Idul Fitri tumbuh dan berjalan dengan berbagai adat dan hal baiknya. Dengan kenyataannya setiap umat Islam terdiri dari berbagai wilayah dan kebudayaan, tentu Idul Fitri akan dirayakan dengan hal tersebut: termasuk di Indonesia ini. Tapi bukan itu yang menjadi fokus! Bukannya اختلاف أمتي رحمة? Bukannya perbedaan di antara umat Islam adalah Rahmat? Tentu sisi satunya, hal baik, yang perlu kita bahas untuk dijadikan Pelajaran.
Banyak sekali hal baik yang terkandung dan ikut mewarnai perayaan Idul Fitri, sebut saja silahturahmi. Bertemunya kita dengan sanak saudara, kerabat, tetangga, teman, hingga siapapun, tentu memiliki keutamaan yang sangat besar. Apalagi jika sampai sudah lama tidak bertemu. Perihal silahturahmi ini, sudah dianjurkan Nabi Saw yang tentunya banyak keutamaan di dalamnya
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Siapapun ingin dilapangkan pintu rezeki untuknya dan dipanjangkan umurnya hendaknya ia menyambung tali silaturrahmi.” (HR Al-Bukhari).
Bahkan Imam An-Nawawi memberi keterangan dalam Syarhu Shahih Muslim:
صلة الرحم هي الإحسان إلى الأقارب على حسب حال الواصل والموصول فتارة تكون بالمال وتارة تكون بالخدمة وتارة بالزيارة والسلام وغير ذلك
“Silaturahmi adalah perbuatan baik kepada kerabat sesuai dengan kondisi hubungan yang terjalin antara yang menjalin silaturahmi dan yang menerima silaturahmi. Kadang-kadang dilakukan melalui pemberian materi, kadang melalui bantuan, atau dengan berkunjung atau juga menyapa, dan lain sebagainya.”
Hal baik selanjutnya, Idul Fitri merupakan ajang berbagi. Masakan dan jajanan sudah pasti tersedia yang diperuntukkan untuk para tamu yang berdatang ke rumah. Hingga, tidak kalah penting, perihal THR atau tunjangan hari raya yang paling ditunggu-tunggu, terutama bagi anak-anak. Dan nilai substansinya ialah berbagi kebahagiaan! Bayangkan senyum-senyum itu, gembira mereka! Belum lagi, kebaikan itu pasti akan bertambah jika mengetahui kenyataan kita berbagi kebahagiaan dengan mereka yang yatim atau kekurangan.
مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ
“Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah adalah seperti (orang-orang yang menabur) sebutir biji (benih) yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan (pahala) bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqorah ayat 261)
وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْيَتٰمٰىۗ قُلْ اِصْلَاحٌ لَّهُمْ خَيْرٌۗ وَاِنْ تُخَالِطُوْهُمْ فَاِخْوَانُكُمْۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِۗ وَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَاَعْنَتَكُمْ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang anak-anak yatim. Katakanlah, “Memperbaiki keadaan mereka adalah baik.” Jika kamu mempergauli mereka, mereka adalah saudara-saudaramu. Allah mengetahui orang yang berbuat kerusakan dan yang berbuat kebaikan. Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
Tapi, ada suatu hal yang begitu disayangkan, kerap kali Idul Fitri merupakan momok yang menakutkan. Ada beberapa hal yang membayang-bayangi kita untuk membuat sekat, sebut saja perihal pertanyaan, “Kapan lulus?”, “Kapan kerja?”, “Kapan nikah?”, “Kapan punya anak?” dan kapan-kapan lainnya. Pertama, kenapa dari sekian format kalimat pertanyaan, hanya “kapan” yang dipakai. Kedua, kenapa bisa dan harus seruntut itu. Ketiga, apa urusannya orang lain dengan personal kita. Tentu itu menyebalkan.
Dan yang tidak kalah menyebalkan, bernada serupa, mungkin terkesan lebih mengotorkan hari suci ini: riya’ atau pamer.
Seakan belum puas akan riya’ pada saat bukber di bulan Ramadhan, hal ini berlanjut dan kembali terulang di Idul Fitri. Entah antar keluarga, tetangga, hingga teman lama. Meski tidak sepenuhnya terang-terangan, tentu banyak hal yang bisa dijadikan bahan untuk riya’: pencapaian, kesuksesan, kekayaan, hingga perhiasan aksesoris termasuk pakaian kala hari raya.
“Bajuku cuma model Shimmer, kok!” Ucap ibu-ibu bermake up tebal itu.
Mereka tidak sadar, padahal baru saja bermaaf-maafan. Sudah bikin pegal hati saja.
Menurut Syekh Izzudin bin Abdissalam dalam Maqashidur Ri‘ayah li Huquqillah, ada 3 macam riya’ dan sekaligus cara menanggulanginya:
لخطرة الرياء ثلاثة أحوال إحداهن أن يخطر قبل الشروع في العمل لاينوي بعمله إلا الرياء فعليه أن يترك العمل إلى أن يستحضر الإخلاص، الثانية أن يخطر رياء الشرك فيترك ولايقدم على العمل حتى يمحض الإخلاص، الثالثة أن يخطر في أثناء العمل الخالص فليدفعها ويستمر في العمل فإن دامت الخطرة ولم يجب نفسه إلى الرياء صح عمله استصحابا لنيته الأولى
“Terdapat tiga bentuk riya: pertama, orang yang terbesit riya sebelum mengerjakan amalan dan dia mengerjakan amalan tersebut hanya semata karena riya. Agar selamat, orang semacam ini harus menunda amalannya sampai timbul rasa ikhlas. Kedua, orang yang timbul di dalam hatinya riya syirik (mengerjakan ibadah karena ingin mengharap pujian manusia serta ridha Allah SWT). Orang seperti ini juga dianjurkan menunda amalan hingga benar-benar ikhlas. Ketiga, riya yang muncul di saat melakukan aktivitas/amalan. Orang yang dihadang riya di tengah jalan seperti ini, dianjurkan untuk menghalau gangguan itu sambil meneruskan amalannya. Kalau godaaan riya terus hadir, ia tidak perlu menggubrisnya. Insya Allah amalannya diterima karena tetap berpijak pada niatnya semula.”
Tentu kita harus menjauhi sifat riya’ ini. Karena riya’ termasuk sifat tercela dan amat dibbenci Allah dan Nabi. Bukankah kita tau, ada riya’ yang sampai masuk taraf syirik? Naudzubillahi min dzalik.
Sudah seharusnya, mari kita bersama-sama Kembali berpikir dan menghayati akan hakikat dan esensi dari hari raya Idul Fitri. Apa sebenarnya Idul Fitri, apa tujuannya, apa yang bisa didapat, dan bagaimana cara mendapatkannya.
Dengan itu, sebuah keterangan menjelaskan:
ليس العيد لمن لبس الجديد
إنما العيد لمن طاعاته تزيد
ليس العيد لمن بللباس والركوب
انما العيد لمن غفرت له الذنوب
ليس العيد لمن كسب الربياة
انما العيد لمن وجد الرحمة
ليس العيد لمن كثر الاشراب والطعام
انما العيد لمن عمل الصواب والدوام
ليس العيد لمن ذهب في أي المكان
انما العيد لمن يذيد اللإيمان
Idul Fitri bukan untuk mereka yang memakai baju baru
Idul Fitri diperuntukkan bagi mereka yang meningkat ketaatannya
Idul Fitri bukan untuk mereka yang berpakaian indah dan berkendara
Idul Fitri diperuntukkan bagi mereka diampuni dosanya
Idul Fitri bukan untuk mereka yang menghasilkan riba
Idul Fitri diperuntukkan bagi mereka yang menemukan belas kasihan
Idul Fitri bukan untuk mereka yang banyak minum dan makan
Idul Fitri diperuntukkan bagi mereka yang melakukan kebaikan dan konsisten
Idul Fitri bukan untuk mereka yang pergi kemana saja
Idul Fitri diperuntukkan bagi mereka yang Imannya bertambah
Wallahu a’lam.