Kabut subuh masih terasa tebal. Membuat jarak pandang sedikit terganggu. Udara dingin juga menyapa Para Santri Pondok Pesantren Al-Mumtaz yang mulai terbangun dari tidurnya. Gema puji-pujian terdengar merdu dari dalam Masjid. Kamar mandi dan keran wudhu pun dipenuhi manusia yang rapih mengantri. Suasana keislaman begitu terasa di Pondok itu.
Adzan subuh berkumandang. Para santri segera pergi ke masjid untuk berjama’ah subuh yang dipimpin Kiai Munawir. Lautan manusia khusyu dalam penyembahan terhadap Tuhan.
“Adnan, coba kamu jelaskan pada teman-temanmu tentang pasal Thoharoh yang tadi kita pelajari. Untuk yang lain, simak baik-baik!” Perintah Ustadz Husen.
Pengajian kitab yang dilaksanakn setelah jama’ah subuh itu mengharuskan Adnan menjelaskan Kitab Fathul Muin tentang Thoharoh atau bersuci atas perintah Ustadz Husen. Dari awal, semua ia jelaskan. Mulai dari pengertian, pembagian, hingga tata cara bersuci yang baik dan benar. Teman-teman menyimak dan saling mengangguk mengerti.
“Cukup, Nan.”
Adnan kembali duduk ke tempatnya.
“Tadi, apa yang dijelaskan Adan harap diingat-ingat dan dipahami. Mari kita tutup pengajian kali ini dengan bacaan Alhamdulillah!”
“ALHAMDULILLAH.” Ucap mereka serempak.
***
“Antri dong, Citra! Aku juga mau makan.” Ucap Dina yang sedikit kesal karena Citra yang tiba-tiba berada di depannya tanpa mau antri.
“Hee, maaf!” Citra menyengir malu.
Pagi itu Asrama Putri sedang ramai. Mereka sedang berbaris mengantri untuk mendapatkan sarapan pagi yang disediakan dengan model prasmanan.
“Ngomong-ngomong sarapan kali ini lebih enak, ya? Nggak seperti biasanya.” Ucap Dina pada Citra dan Fatimah ketika mereka sudah berhasil mendapatkan sarapannya.
“Enak, sih enak. Tapi, tahu aku jangan diembat juga kali!” Citra cemberut.
“Habisnya enak banget, Citra.” Citra semakin cemberut.
“Citra jangan sedih. Nih, tahu Fatimah buat Citra.” Fatimah memindahkan tahunya ke piring Citra.
Begitulah tingkah mereka, ketika menu sarapan yang dimakan lebih enak dari biasanya.
“Oh, iya Dina. Dapat salam dari Kang Adnan. Kemarin, Fatimah nggak sengaja ke temu di Aula Pondok.”
“Cieee.” Citra menggoda.
“Apa sih, kalian! Mana mau aku sama orang pemalas seperti dia. Pagi-pagi aja masih tidur. Waktu lewat asrama putra, aku nggak sengaja lihat dia. Mana nggak pakai baju lagi. Terus tau, nggak? Bulu ketiaknya kelihatan! Iih jijik banget.” Ucap Dina dengan ekspresi wajah yang sulit untuk dijelaskan.
Citra tertawa puas dan Fatimah hanya tersenyum.
“Pasti itu efek dari kelelahan habis masak menu sarapan para santri. Termasuk yang kita makan ini.” Ucap Citra dengan sisa tertawanya.
Dina tersedak.
“Kalau makan, pelan-pelan, Dina!” Fatimah memberi segelas air.
Dina meminum air itu hingga habis.
“Katanya, Kang Adnan itu sering mengantar Kiai Munawir, jika beliau ada pengajian. Terus, dia juga yang mengurus sawah dan kebus pesantren. Rajin, kan?” Tambah Citra.
“Cuma gitu doang!” Dina meremehkan.
“Tapi, aku pernah lihat. Waktu Kang Adnan ke sawah, ia sekalian bawa kitab. Terus, setelah bajak sawah kitab itu ia baca di saung. Hebat, ya? Masih sempat-sempatnya belajar walaupun habis bajak sawah.”
“Masa Dina nggak mau sama Kang Adnan?” Celetuk Fatimah polos.
Dina tertegun dan merasakan sesuatu di dalam hatinya. Ada yang aneh dengan perasaannya. Tapi, cepat-cepat ia hilangkan.
“Tau, ah. Nggak percaya! Aku mau ke dapur dulu.”
Dina pergi dengan piringnya yang sudah kosong. Meninggalkan dua sahabatnya yang masih senyum-senyum sendiri melihat tingkahnya.
***
Seorang lelaki datang menghampiri Adnan yang sedang membaca Al-Qur’an di dalam Masjid.
“Adnan, hari ini kamu gantikan saya lagi, mengajar anak-anak Ibtidaiyah. Saya masih ada keperluan di luar pondok. Bisa, kan?”
“Baik, Ustadz.”
“Ya sudah, saya permisi dulu. Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.”
Lagi-lagi Adnan harus menggantikan Ustadz Husen mengajar anak-anak Ibtidaiyah. Karena Ustadz Husen ada keperluan mengajar di luar Pondok. Dan, hanya mengajar Al-Qur’an, baginya itu tak masalah. Menurut kitab Ta’limul Muta’alim pada pasal Fi Ta’zhimil Ilmi Wa Ahlihi, sudah seharusnya bagi murid untuk mentaati dan menghormati segala sesuatu yang guru perintahkan.
Semua itu sudah ia pelajari dan sanagt tertanam di dalam dirinya. Ia ikhlas.
Tanpa berlama-lama, Adnan segera menuju kelas Ibtidaiyah untuk melaksanakan perintah Ustadz Husen .
“Fakhri, Nun sukun bertemu ‘Ba itu Iqlab. Cara bacanya harus bersuara mim, berdengung.”
“Mim Ba’di.”
“Iya, seperti itu. Lain kali harus lebih teliti.”
Seperti itu lah cara Adnan mengajar. Berhadapan langsung satu per satu dengan anak itu, lalu membenarkan bacaan mereka yang salah. Cahaya berbinar terlihat jelas di wajah para anak-anak yang semangat belajar Al-Qur’an itu. Hingga, tak terasa sudah 40 menit Adnan mengajar.
“Anak-anak, sampai sini dulu pengajian kita. jangan lupa dipelajari dan dibaca-baca Al-Qur’annya!”
“Baik, Pak Ustadz.” Ucap mereka dengan penuh semangat.
***
Citra masih saja menggoda Dina tentang Adnan. Semua yang ia ketahui, ia katakan pada Dina. Dan Fatimah hanya menyimak.
“Terserah kamu Citra, aku tetap nggak percaya dan nggak mau tentang itu!” Dina sedikit kesal.
“Kang Adnan juga ganteng, kok. Apalagi kumis tipisnya itu. Masa nggak mau?” Goda Citra lagi dan lagi.
Belum sempat Dina membalas Ucapan Citra, seorang anak kecil datang menghampiri mereka.
“Kak Dina, Fakhri minta uang dong!”
“Emang uangnya sudah habis?”
“Sisa dua ribu.” Dijawab dengan malu-malu.
Tak masalah jika ada anak kecil laki-laki masuk ke dalam Asrama Putri, apalagi masih ada ikatan saudara. Di PonPes Al-Mumtaz tidak dilarang.
Dina memberikan selembar uang 20 ribu.
“Masih, Kak Dina cantik. Awas jangan pacaran!”
“Fakhri, Kak Dina udah punya pacar tau.” Citra ikut-ikut dalam pembicaraan dua kakak beradik itu.
“Bohong, dek. Itu mah Cuma orang nggak jelas yang suka sama kakak.” Bantah Dina.
“Mendingan Kak Dina, Fakhri kenalin sama Ustadz baru yang gantiinUstadz Husen mengajar Al-Qur’an. Baik tau kak orangnya. Ganteng, terus pintar lagi.”
“Boleh, tuh. Siapa namanya?”
“USTADZ ADNAN!” Jawabnya jujur.
Citra tertawa sejadi-jadinya, Fatimah tersenyum lebih lebar, dan Dina diam tak percaya.
“Ya sudah, nanti Fachri salamin, deh! Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.” Dengan suara yang sangat parau.
“Udah, Din. Allah udah memberi jalan. Tunggu apa lagi?” Ucap Citra yang semakin geli tertawa.
***
Bayangan tentang Adnan semakin terngiang-ngiang di kepala Dina. Ucapan Citra, pengakuan Fakhri, dan ditambah pengliahatan matanya yang menyaksikan Adnan mengisi sambutan di Acara Hari Santri minggu lalu. Membuatnya sangat terkesan. Itu semua terus menghantui pikirannya.
Perlahan hatinya mulai terbuka dan nama Adnan mulai sering ia sebut dalam do’anya. Ia ceritakan pada Tuhannya. Lelaki itu, kini sangat ia kagumi.
Tapi, semua harapan dan bayangan indah masa depan dengan lelaki pujaannya itu harus sirna, ketika ada berita, bahwa Kiai Munawir akan menjodohkan Adnan dengan perempuan yang sudah beliau pilih. Berita ini masyhur di kalangan santri putra maupun putri. Bukan tidak mungkin, karena Adnan adalah santri kesayangan Kiai Munawir. Jadi, segala sesuatu yang berkaitan dengan Adnan menjadi urusan Kiai Munawir. Termasuk masa depannya.
Dina sadar diri dan mencoba tenang atas berita itu. Tapi, ia tak bisa. Jika melihat hubungannya yang semakin dekat dan semua hal dengan Adnan seakan sulit untuk dipercaya. Sulit untuk diterima.
“Sabar ya, Din. Aku tau perasaan kamu.” Citra memberi pengertian seraya memeluk sahabatnya itu.
Air mata itu jatuh.
***
Awan menghitam. Langit terlihat tak bersahabat. Rupanya angkasa sedang sedih, sama seperti perasaan gadis itu. Sangat sedih.
Hatinya hancur melihat tenda-tenda yang mulai tegak berdiri di halaman PonPes Al-Mumtaz. Dina tak menyangka dengan semua ini, bahkan juga seluruh santri. Adnan akan menikah.
Tak lama, Kiai Munawir menyadarkan lamunannya. Dina langsung bersalaman ta’zhim.
“Dina, kok kamu belum siap-siap?” Tanya Kiai Munawair.
“Maaf, siap-siap apa ya, Kiai?” Dina bingung tak mengerti.
“Nikah dengan Adnan! Kan, kamu mempelai wanitanya,”
Dina diam tak bicara, serta mencoba mencerna kembali ucapan Kiai Munawair. Apa maksud dari semua ini? Apa mungkin ia salah dengar? Seperti mimpi. Tapi, ini kenyataannya.
“Hei, malah diam. Cepat siap-siap!”
“Ba…baik, Kiai.”
Takdir Allah memang tidak ada yang tau. Bahkan, di luar dari apa yang kita rencanakan. Oleh karena itu, jangan terlalu lama bersedih, jangan terlalu banyak mengeluh. Allah juga tau, kapan kita berhak untuk bahagia.
Hari itu, akad nikah Adnan dan Dina selesai dilaksanakan dengan dipimpin Kiai Munawir sebagai penghulu. Seluruh santri mengucapkakan selamat, tak terkecuali dengan 2 sahabat Dina. Tetapi, sebelum mereka menuju ke kedua pengantin baru itu, Citra sudah menangis.
“Aku pulang aja deh, Fat.”
“Kenapa? Kan, kita belum salaman dengan pengantin.”
“Aku nggak kuat lihat mantan nikah!”
“Citra pernah dengan Adnan?”
***