web analytics

Aku Kau dan Maut

Aku Kau dan Maut
0 0
Read Time:5 Minute, 3 Second

Awan mendung menutup langit di atas pesantren. Aku hanya menatap langit, dengan mataju yang ikut mendung, Tak terasa, air mata turun tanpa ku pinta.

Lagi-lagi otakku terdoktrin untuk menyalahkan diri sendiri tentang apa yg terjadi.

Aku malu, aku membenci diriku sendiri, penyesalan memang selalu datang belakangan.

Orang-orang menatapku dengan pandangan prihatin sekaligus mengejek.

Zaky nama lelaki yg membuatku di ta’zir dan dipermalukan di depan semua santri. Sejak berpacaran dengannya, aku sering membolos sekolah bahkan lalai dengan kewajibanku diniyah.

Kita sering bertemu diam-diam untuk sekedar berbincang. Namun, hubungan gelap kami terbongkar dan puncaknya aku di guyur air selokan, kemarin sore.

Reputasiku benar-benar hancur tanpa sisa Apalagi nilai Diniahku turun drastis, dan di sekolah aku juga terancam tidak naik kelas.

Kini, aku terlihat lebih bodoh dari si Mirna. Santri yang dikenal sebagai pemalas dan juga bodoh seantero pesantren.

Mungkin gelar tersebut sudah melekat pada diriku saat ini. Ingin rasanya ku akhiri hidupku, putus asa dan kecewa seakan bertambah, kala orangtuaku marah besar padaku.

Aku sudah menjadi santri yang menyakiti guruku sertaa anak yang telah membuat kecewa orang tua.

“Ayah maapin Mizza yah…. Kamu masih berani nelpon rumah !?” Ucap ayah dari sebrang. Jantungku seakan berhenti berdetak. Perih.

“Mizza nyesel yah, maafin Mizza” Tangisku tak bisa dibendung lagi, aku tak tahu harus berkata apa.

Bikin malu keluarga saja! kamu itu di pondokin biar pinter, bukan malah bikin kecewa ayah!” bentak ayahku marah.

TUT !!….

Tubuhku seakan sudah tak bernyawa, ingin mati saja rasanya. Aku segera berkemas pergi kabur dari pesantren ke rumah nenekku di daerah Bogor.

Ya Allah, aku udah tidak kuat lagi untuk meneruskan hidup ini. Ambil saja nyawaku” Do’aku putus asa ambil tersed, tanpa berfikir panjang.

Aku sampai di terminal tanpa ada yg mencurigai. Aku menaiki mini bus dan memilih kursi yang paling nyaman.

Hanya tersisa dua kursi kosong, di samping seorang lelaki dengan wajah muram dan satu lagi di samping seorang ibu yang membawa bayi.

Akhirnya aku memilih duduk di samping lelaki berwajah muram itu, setidaknya ia tak akan menggangguku dengan tangisan bayi.

Dua jam berlalu, dan masih membisu menatap jalanan kota kediri, dan lelaki itu tetap setia dengan expresi datarnya.

Tak ada senyuman di wajahnya. Bahkan,
Tatapannya kosong tanpa arti. Ingin ku menyapanya, tapi aku takut mengganggu ketenanagan yang ia cari.

Sampailah bus kami dengan jalanan yg terdapat tebing di kanan kirinya. Aku sangat menikmati perjalanan ini. Hingga, bus kami seperti tak terkendali, semua penumpang mulai panik dan terkejut.

Ku hanya bisa berdoa dan terlintas di benakku apa aku akan benar-benar akan mati disini?

Tiba-tiba…

Brakk…!!

Yang terakhir ku lihat adalah bus ini terjun ke jurang. Ku buka mataku perlahan. tubuhku terasa remuk redam.

Darah mengalir di mana mana, aku sangat terkejut melihat penumpung yang tidak bisa dibilang baik-baik saja.

Aku mencoba keluar dari bus ini dengan lukaku yang terbilang cukup parah.

“Kau baik-baik saja?” Tanya lelaki berwajah muram itu. Rupanya ia sudah berhasil keluar dari bus lebih dulu.

“Kepalaku pusing” Jawabku pelan.

Ia menatap jilbab biru mudaku yg sudah di penuhi darah. Namun, wajahnya tetap datar tanpa ekspresi.

Siapa namamu ?” Tanyaku padanya.

“Ezrael” ucapnya tanpa menatapku.

“Aku Mizza”

“Aku tahu” Aku sedikit terkejut saat ia mengatakan sudah mengetahui namaku. Namun, aku tak mampu berpikir keras lagi, tubuhku melemah.

Tak lama dari itu kami mendengar suara bayi menangis aku merasa itu adalah bayi ibu-ibu tadi.

Benar saja, Ibu itu keluar dari bus dengan mendekap anaknya. Padahal, tubuh sang ibu banyak tertancap pecahan kaca. Aku bergidik ngeri membayangkan betapa sakitnya.

“Kau bawa bayi itu, biar aku yang menolong ibunya” ucap Ezrael padaku.

Aku segera menggendong bayi itu meski sang ibu tak ingin berpisah dengan anaknya.

Tapi ada yang aneh, Ezrael terap tega menyuruhku memisahkan mereka.
Kalimat terakhir yang kudengar darinya adalah

“Tak ada yg bisa menentang takdir tuhan.”

Kami mencoba menyelamatkan penumpang yang masih bernyawa. Meski tak sedikit yg sudah tiada.

“Kita harus mencari permukiman warga, untuk meminta bantuan” Ujar Ezrael.

Kami berjalan menyusuri hutan belantara yg gelap dan sunyi. Sudah jauh kami berjalan dan rasanya kakiku terasa sangat sakit.

Ku angkat rok yang aku pakai. Betapa terkejutnya aku, ternyata kulit kakiku terbula lebar dan darah mengalir deras di kakiku.

Aku berhenti tak mampu melangkah.

“Kau kenapa? Sudah menyerah?” Tanya Ezrael dengan wajah datar.

“Aku sudah tidak kuat lagi” Balasku dengan lunglai.
“Hidup mu hanya sekali dan kau harus mempertahankan hidupmu” ucapnya memberiku peringatan.

“Aku beri pilihan terakhir, kau ingin tetap tetap ikut denganku atau kembali ke duniamu” Tawarnya yang membuatku bingung.

Aku benar-banar tak peduli lagi dengan lukaku.kini kepalaku dipenuhi dengan berbagai pertanyaan .

“Aku tak mengerti apa yang kau maksud Ezrael” ia mengeluarkan smirk nya

“aku ditugaskan untuk mencabut nyawa daro raga, memisahkan memisahkan manusia dari keluarganya, hartanya, teman, sahabat, pasangan bahkan dunianya”

Bibirku terasa kelu, apa ini jawaban dari do’a-do’a yang telah aku panjatkan?

“Apa kau malaikat pencabut nyawa?” Ezrael tak menjawab.

Ia justru bangkit dan untuk melangkah meninggalkanku.

“Cari jalan pulang mu sendiri” ucapnya tanpa membalikan tubuh.

“Apa petunjuk untukku pulang?!” Tanyaku sepontan

“Pertolongan Tuhan” balasnya kemudian lalu menghilang.

Aku bingung dan takut sekaligus. Aku menangis dan berdo’a.

“Ya Allah jika memang. Aku akan mati saat ini maka ampunilah semua dosaku.tapi aku mohon, berilah aku kesempatan hidup untuk memperbaiki semuanya”

Tiba-tiba aku mendengar suara ibuku menangis dan aku seperti tertarik ke suatu tempat dan ku buka mataku perlahan. Wajah ibukulah yang pertama kali ku lihat.

“Terimakasih ya Allah” Bisikku pelan.

Setelah beberapa hari sadar dari koma aku diperbolehkan pulang. Aku bertanya pada ayahku tentang kecelakaan yang ku alami kemarin. Ternyata banyak yang selamat.

Saat sampai di lobi rumah sakit tatapan mataku bertemu pada seseorang. Ezrael. Ia juga menatapku.

Ku kira ia tidak akan mengenalku karena kami bertemu dialam bawah sadar.
Tapi aku semakin tidak yakin saat ia membisikan sesuatu di telingaku.

“Kita pasti, akan bertemu lagi Mizza. Maka persiapkan dengan sebaik-baiknya” Ucapnya disertai dengan senyaman yang pertama kali kulihat terukir di wajahnya.

“Semoga lebih baik” Ucapku setelah ia pergi.

kematian memang rahasia tuhan ia akan datang tanpa kau harapan, tetap akan menjemputmu tanpa kau tunggu.

-The End-

Penulis : Alis Faidah Busthomi
Editor : Alifia Azzahra Mastiana

About Post Author

Alifia Azzahra

Santri Mahrusy, pengemis syafaat Nabi asal kediri
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like