Kehidupan di dunia ini merupakan kehendak Maha Kholiq, begitu pula manusia sebagai objek yang menjalankannya. Semua yang terjadi di dunia ini harus diterima dengan lapang dada, karena telah mejadi Qodrat Maha Kuasa. Tetapi, tidak semua manusia menerimanya, terkadang masih terdapat para hamba yang mendustakan hal tersebut. Banyak manusia yang kurang puas akan sesuatu yang ia dapat, padahal semua sudah mendapatkan jatahnya. Inilah yang kemudian membuat mereka berpaling, dan mancari sandaran lain, padahal perlu diketahui, tidak ada satupun sandaran yang pantas disandari kecuali Allah SWT. Bila dipikir secara rasional, ketika manusia bersandar pada pemerintah, ketika pemerintah itu lengser maka yang bersandar padanya akan tergeser, bila bersandar pada konglomerat, ketika dia wafat maka yang bersandar padanya akan melarat dan seterusnya.
Ya, memang demikian. Tidak ada satupun di dunia ini yang pantas untuk diharapkan kecuali Sang Kholiq. Seperti pesan Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib ra: “Ingatlah lima perkara dariku, ingatlah dua, dua dan satu yaitu: Ingatlah seorang tidak boleh takut kecuali pada dosanya, tidak boleh mengharap kecuali pada Tuhannya, jika belajar tidak boleh malu seandainya belum tahu maka, harus bertanya, dan tidak boleh malu menyatakan: “Aku belum mengerti”. Dalam hal ini terdapat pesan bahwa manusia tidak boleh mengharapkan suatu apaun kecuali pada Tuhannya, apalagi sampai putus asa. Hanya kepadanyalah kita harus mengharapkan Rahmat, seperti penggalan Ayat Al-Qur’an:
ورحمتى و سعت كلّ شيء
“Rahmatku meliputi segala sesuatu.” (QS. Al-A’raf Ayat: 156).
Tetapi realita sekarang sangat banyak yang berbanding terbalik dengan hal di atas. Para manusia lebih dominan menaruh harapannya selain pada Maha Kholiq. Entah itu karena keteledoran mereka atau bukan, tapi itulah faktanya. Contohnya seperti seorang pria yang mengharapkan cinta dari wanita pujaan hatinya, si pria tanpa berpikir panjang menggantungkan harapan kepada si wanita pujaannya tadi sepenuhnya, tetapi yang namanya manusai tidak selamanya sesuai apa dengan ekspestasi kita. Si wanita tadi ternyata sudah memiliki pria pilihannya sendiri dan mengesampingkan perjuangan pria tadi. Dari sinilah potensi rasa kecewa muncul, disebabkan ekspestasi yang tak sesuai dengan realitanya.
Dari sinilah pentingnya kita bijak dalam menaruh harapan, ketepatan seseorang dalam menaruh harapan memang berpotensi besar pada warna kehidupan seseorang. Bisa kita lihat di sekitar kita, banyak orang yang merana atau galau karena efek berharap pada sesama manusia. Itu kebanyakan karena orang tersebut kurang bijak dalam berharap atau berekspestasi. Padahal orang yang hatinya dekat kepada Allah SWT dan dipenuhi ketakwaan, tidak akan merasa sepi hatinya. Hal juga tertera dalam Al-Qur’an:
ألا بذكر الله تطمئنّ القلوب
“Ingatlah, hanya dengan mengingat allah lah hati menjadi tentram.” (QS:Ar-Rad ayat 28).
Kemudian di perkuat dengan ayat Al-Qur’an yang lain:
فاذكروني أذكركم واشكروا لي ولا تكفرون
”Karena itu, ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku ingat juga kepada kalian.” (QS:Al Baqarah Ayat 152).
Tendensi di atas mungkin bisa menyadarkan kita agar lebih berhati-hati dalam menaruh harapan. Karena hakikatnya adalah manusia yang mengalami kesepian dan kegalauan menandakan bahwasanya dirinya jauh dari Tuhan pencipta alam. Terlebih lagi bagi kalian yang sering galau merana memikirkan sebuah harapan yang berada di luar jangkauan. Cukup sekedarnya saja kita berharap kepada sesama ciptaan Tuhan.
Wallahu a’lam.