Ampun
Ia gelar sajadah.
Di tengah temaram cahaya lampu yang berhasil menembus celah jendela kamar, memberikan harap penghidupan bagi para Nokturnal. Terang itu menembus pada hatinya. Benderang. Ini momen yang ditunggu. Bertemu kekasih. Tuhannya.
Di antara hamparan manusia yang terlelap tak berdaya dihantam lelah dan kantuk, ia terjaga alam sholatnya. Dengan mata yang terpejam mengikuti alur khusyu’ yang diciptakan hati. Penuh fasih lisan itu mengagungkan Tuhan semesta alam lewat bacaan sholatnya. Berulang kali ia bersujud dan lama. Bentuk penghambaan. Penuh harap.
Berokaat sholat ia lakukan; Isya’, qabliyah, ba’diyah, witir, tahajud, taubat, hajat. Tak hanya itu, ia teruskan dengan butir-butir dzikir. Ia puji Tuhannya dengan kesuciaan. Ia puji Tuhannya dengan rasa syukur. Ia puji Tuhannya dengan sifat Esa. Ia puji Tuhannya dengan kebesaran dan keagungan. Ia puji Tuhannya dengan rasa takut mohon ampun. Ia merendah. Ia menghina. Tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.
Lisannya tak berhenti bergerak. Bergetar mengucap. Sholawat beserta salam terhaturkan pada sosok yang dirindukan; Pemimpin para utusan, Kekasih Allah, Rahmat bagi seluruh alam, Sebaik-baiknya manusia. Rosulullah Muhammad Saw. Terbayang wajah mulia beliau. Kisah hebat dalam memperjuangkan dan menyeru agama Allah. Entah kenapa kisah pelemparan batu di Thaif seketika melintas di benaknya. Terbayang bagaimana beliau jadi sasaran kemarahan masyarakat Thaif yang menolak dakwah beliau. Hingga gigi graham beliau patah. Berdarah. Sahabat Zaid bin Haritsah menjadi tameng dengan tabah. Apa yang beliau lakukan? apa beliau marah? bahlan beliau menolak mentah-mentah tawaran Malaikat Jibril menimpakan gunung pada mereka.
Dengan rintik air mata, beliau mendoakan kebaikan dan keselamatan pada orang yang jelas-jelas jahat dan mencelakakan beliau.
Tak terasa air mata menetes membasahi pipi lelaki berkopeah itu. Putaran tasbihnya berhenti. Suaranya tercekat. Sesekali sesenggukan. Rasanyania ingin sekali menyalahkan Tuhan. Kenapa tak ditakdirkan hidup di zaman Baginda Nabi; bisa berkumpul, bercengkrama, memandang, dan melepas rindu-rindu. Nyatanya ia hanya bisa mengenal Baginda Nabi lewat lembar kertas lusuh berbahasa arab tanpa harokat karangan ulama terdahulu. Sisanya, ia hanya bisa menangis. Rindunya takan pernah terkikis. Cintanya takan pernah habis.
Ia membaca Al-Qur’an. Surah Ar-Rahman ia baca penuh penghayatan. Merdu suara bacaannya tak cukup mengobati rintih tangis hatinya terbeban. Ia malu pada Allah atas semua karunia rahmat dan nikmat yang telah dicurahkan. Rasanya harinya hanya diisi dengan mengeluh tak tahan. Tak tau syukur. Tak tau terima kasih. Tak tau diri. Rezeki orang tua yang lancar seolah tak pernah ia syukuri. Bahkan, nikmat dirinya bisa menyambung pendidikan di Pondok Pesantren adalah suatu hal yang jarang disyukuri. Terhindar dari kerasnya kehidupan luar. Tapi, di pondok, hanya keluh kesah. Syukur tak mampu, hanya terpaksa dan tertatih sabar.
Lembar-lembar selanjutnya, ia bertemu Surah Al-Waqi’ah. Setiap ayat-ayat yang terlantun serasa mengerikan. Surah itu menjelaskan tentang keadaan dan potongan-potongan kejadian hari kiamat. Hatinya tersentak. Tak mampu membayangkan betapa mengerikannya balasan orang-orang yang diberikan buku catatan amal dari kiri. Memahan pohon zaqqum, minum air yang sangat panas. Ashabus Syimal. Tapi, ia juga tak pantas untuk mengaku dalam golongan orang yang diberikan buku catatan amal dari tangan kanan. Ashabul Yamin. Ia hanya bisa menangis. Menangisi semua salah dan dosa yang pernah diperbuat. Kerap kali terlambat sholat, tidak bersyukur, suka iri dengki, ataupun lisannya yang kerap kali menyakiti perasaan orang lain. Baik sengaja ataupun tidak sengaja.
Air mata itu kembali keluar. Tak hanya mengalir membasahi pipi, tapi telah menetes dan membasahi lembar Al-Qur’an itu. Ia begitu takut. Takut mendapat murka Tuhan dan menjadi Ashabus Syimal dengan segala siksanya. Tak bisa berkumpul dengan Baginda Nabi bersama Ashabul Yamin lainnya di surga kelak. Tak ada yang mendengar tangisnya. Semua orang sibuk dalam lelapnya masing-masing. Hanya hening malam dan suara jangkrik yang masih terjaga. Menjadi saksi dan tak tega.
Ia hanya bisa beristighfar. Meratapi semua dosa dan kesalahan yang telah diperbuat. Ia memohon ampun. Ia berharap Tuhan sudi kiranya untuk menerima maafnya. Taubatnya.
“Astaghfirullah Al-A’zhim!” Ucapnya lirih penuh sesal.
Berulang kali ia mengucapkan kalimat itu. Bahkan, sampai Adzan Subuh berkumandang merdu menyambut umat manusia untuk terbangun dan bersiap mengawali aktivitas. Ia jawab panggilan adzan itu. Ia penuhi panggilan itu. Ia berdiri melakukan sholat subuh dua rokaat. Lillahi ta’ala.
Rasa bersalahnya tak sampai di situ. Ia kembali beristighfar, memohon ampun. Masih ada 15 menit menuju bel tanda bangun. Entah sudah berapa jam ia habiskan untuk bertafakur dan bermunajat. Seolah tak ada kata lelah. Ia terus beristighfar.
“Astaghfirullah Al-A’zhim!”
Kali ini suaranya lebih keras. Berbeda. Tersentak.
“Aku belum wudhu!”
Belum wudhu. Selama itu. Sedari awal. Is is is.
***