Anak Singkong
Kepul asap tinggi membumbung dari tungku batu berwarna debu. Tiupan penuh tulus terbungkus tekad bertahan hidup. Menciptakan aroma sangit dari macam kayu kering hutan yang ditemu. Berulang kali mulut itu mengembung. Mengambil udara, menahan, dan melepasnya dengan tekanan. Berulang kali angin itu menerpa enggan api tak terhitung. Kobar yang dipuja lama tak kunjung.
Inilah perbedaannya. Tungku akan mau termanfaati dengan melihat segenap usaha yang telah diberi. Lalu, saat wajah dipeluk hitam asap, api itu siap.
“Huh, akhirnya!”
Keringat perlahan keluar dan mulai menetes tanpa dipinta. Sapaan Sang Api padanya cukup membuat hatinya senang. Walaupun tetes keringat tetap menetes tanpa penghalang
Melihat api berkobar, segera ia mempersiapkan air dalam panci ala kadar. Penyok dan banyaknya tambel membuat sulit mengenali jenis panci apa. Meskipun begitu ia tetap menjaga, merawat, dan menyayangi panci itu demi Sang Suami yang telah pergi. Selama nafas Sang Suami berhembus di rumah beranyam bambu tersebut hanya kenang dan panci itu yang ditinggalkan. Tak apa. Ia terlalu menyayanginya.
Panci diisi air. Lalu, singkong hasil tanah dan keringat sendiri, dicuci, dikupas, dipotong, dan siap direbus. Pohon-pohon singkong di belakang rumah telah tumbuh besar. Setidaknya, ia bisa fokus bersyukur dan bersabar tanpa harus memikirkan lapar.
“Sini, Bu. Aku bantu!” Ucap Zaed, Si Bungsu.
Potongan singkong yang telah matang itu diangkat Zaed dengan hati-hati dan diletakan di wadah nampan anyaman bambu. Lalu diletakan di atas meja makan
“Panggil kakak-kakakmu. Kita sarapan bersama.”
“Baik, Bu.”
Si kecil Zaed memanggil kakak-kakaknya yang lain untuk sarapan bersama. Pekerjaan; kebun, membersihkan rumah, menjemur baju dihentikan. Kakak-kakak itu memenuhi panggilan Sang Ibu.
Dari enam kursi dan satu yang kosong, mereka berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama.
“Bu, aku yang pimpin do’a!” Pinta Si kecil Zaed.
“Allahumma Bariklana Fima Razaktana Waqina Azabannar. Amin.”
Dengan nada yang menggemaskan, Zaed lancar membaca do’a sebelum makan.
“Wah, pintar! Siapa yang ajarin?”
“Aku diajarin Pak Ustadz Fahmi di pengajian.”
Ada senyum yang berbeda dari Sang Ibu. Begitu tulus. Begitu dalam. Sangat bangga melihat anaknya telah bisa hafal do’a sebelum makan. Begitu juga dengan senyum kakak-kakaknya. Bahagia mereka sederhana.
Mereka mulai mengambil singkong rebus dan menyantapnya. Bersyukur sekali mereka bisa makan dari hasil keringat sendiri, juga dengan anak-anakanya.
“Kita harus bersyukur meskipun hanya dengan singkong. Di luar sana masih banyak orang yang tidak dapat makan seperti kita. Jadi, habiskan singkongnya. Mubazir.”
Yakhfi, Abdul, Hasyim, dan Zaed menyimak tutur kata pencerahan yang biasa diberikan oleh ibunya disela-sela sarapan pagi. Mereka semua laki-laki dan hanya berjarak 2 tahun dari Yakhfi yang berumur 12 tahun.
“Sukses itu tidak melihat dari mana kita berasal. Sukses bukan hanya untuk mereka yang kaya. Tapi, sukses diperuntukan bagi mereka yang memiliki tekad dan semangat yang gigih.”
Setiap pagi, anak laki-laki itu selalu memandang ibunya lekat. Meskipun kunyahan singkong di mulut mereka tidak berhenti.
“Jadi, habis ini kalian harus segera bersiap untuk berangkat sekolah dan buktikan pada ibu, bahwa kalian juga pantas menjadi anak yang cerdas dan sukses. Ibu yakin, ayah pasti bangga di sana!”
***
“Sebelumnya ke Tafsir, kita harus mengetahui apa itu Ulummul Qur’an dan apa saja ruang lingkup pembahsannya!”
Pagi itu adalah Matkul Studi Al-Qur’an. Pemateri presentasi maupun peserta diskusi di kelas itu menyimak dengan seksama arahan dosen mereka. Lalu, sesi pertanyaan tiba. Setiap peserta menanyai sesuatu yang kurang mereka pahami mengenai materi yang disampaikan.
Pemateri menjawab pertanyaan. Mereka menyimak. Diskusi berkembang. Pendapat satu bertukar dengan pendapat yang lain. pembahasan melebar dan merinci. Tampak dari wajah mereka semangat bergebu-gebu kukuh bahwa jawaban mereka adalah yang paling benar. Paling relevan. Saat pembahasan tak ada ujungnya, maka dosen menengahi dan menjelaskan, juga mengarahkan.
Ia, Ahmad Yakhfi Hunaini, M.Pd.
***
“Tentara harus hitam!” Teriak seorang lelaki tegap di hadapan mereka.
“Siap.”
“Lelaki adalah benteng dan penyangga dunia. Dan Tentara adalah benteng dan penyangga suatu bangsa dan negara. Jika Tentaranya saja lemah, banyak alasan, dan mudah mengeluh. Bagaimana nasib bangsa dan negaranya?”
Siang itu dilaksanakan apel pagi yang dihadiri ratusan para tantara di berbagai Angkatan Darat. Apel kali ini jelas berbeda, karena Letjen TNI datang menghadiri kegiatan pagi itu. Tentu itu adalah hal yang sangat langka. Apalagi bagi para TNI setingkat Perwira, Bintara, dan Tamtama.
Tak lama Yel-Yel semangat pun dinyanyikan.
Di tengah hutan rimba
Tempat kami di tempa
Prajurit Tni selalu siap sedia
Acara hari ini selalu silih berganti
Prajurit Tni selalu berseri-seri
Dengarlah sayup-sayup
Suara yang merdu memecah malam
Jauhlah dari kampong
Tunai bakti ibu pertiwi
Angkat senjatamu di tangan kanan
Ikat pinggang penuh peluru granat tangan
Ayo kita serbu setiap lawan sampai titik darah penghabisan
Hancur lebur perintah kemerdekaan
Angkat senjatamu di tangan kanan
Ikat pinggang penuh peluru granat tangan
Ayo kita serbu setiap lawan sampai titik darah penghabisan
Hancur lebur perintah kemerdekaan
Dengarlah sayup-sayup
Suara yang merdu memecah malam
Jauhlah dari kampung
Tunai bakti ibu pertiwi
Angkat senjatamu di tangan kanan
Ikat pinggang penuh peluru granat tangan
Ayo kita serbu setiap lawan sampai titik darah penghabisan
“Siap menjaga kesatuan NKRI?” Tanya lelaki gagah itu penuh gelegar.
“SIAP!”
Teriakan itu menggema di angkasa.
Ia, Letjen TNI. Abdul Aziz S.H, M.H.
***
“Hm, ini gejala demam.”
Stetoskop itu berkali-kali di gunakan. Dokter itu begitu cekatan memeriksa setiap kondisi pasien yang sedang ditanganinya. Tentu dengan Teknik kedokteran.
“Ini pasti adiknya sering minum es, ya?” Tanya ramah dokter itu.
Adik perempuan itu hanya senyum tersipu. Tanda bahwa benar apa yang disangkakan oleh Sang Dokter.
“Iya nih, Dok. Suka banget minum es.”
Sang Ibu malah yang banyak menjawab. Anaknya kembali tersenyum.
“Biasalah, Bu. Namanya juga anak-anak. Tadi setelah saya lihat tenggorokannya, amandelnya merah. Pertanda radang. Ada sedikit batuk dan flunya.” Ucap Sang Dokter teratur.
“Ini saya kasihkan obat. Diminum yang teratur. Minum es, juga makan pedesnya ditahan dulu. Libur dulu, yah. Semoga cepat sembuh!” Ucap Sang Dokter seraya mengusap rambut Sang Adik
Sang Dokter memberikan resep obat untuk dibawa ke meja Apoteker pada Sang Ibu yang menuntun anaknya turun. Senyuman mengakhiri pertemuan mereka. Lalu, Pasien silih berganti.
Ia, dr. Muhammad Hasyim al-Khatiri, Sp.A
***
“Selain harga dan rasa, kita juga mementingkan kebersihan dan keramahan pelayanan. Terkadang yang lain lupa dengan hal itu.”
Sosialisasi pagi rutin dilaksanakan sebelum buka tempat usaha bakso mereka yang telah membuka 36 cabang di seluruh nusantara. Kebetulan CEO mereka sedang berada di cabang itu.
Para karyawan lelaki dan perempuan serasi dan rapih dengan kaos seragam dari tempat usaha tersebut. Harum kaldu kuah bakso menyeruak dan menyelimuti ruang yang dipakai sosialisasi pagi itu. Semua karyawan di berbagai bidang menyimak apa yang disampaikan CEO, pemilik usaha bakso sukses itu.
“Bakso Mami!”
“KEPUASAN ANDA PRIORITAS KAMI!” Jawab karyawan itu serempak.
Ia, Raihan Zaid, M.E.
***
“Assalamualaikum.”
“Waalaikmussalam, sebentar.”
Ramai suara salam, membuat pemilik ramah itu keluar.
“Ya, ampun. Bu..Bu Wati!”
Histeris seorang perempuan menyambut kedatangan tamu. Mereka bersalaman pada perempuan itu.
“Ibu ada, Bi?” Tanya seseorang diantara mereka.
“Ada sebentar.”
Perempuan yang sudah telihat garis di wajahnya itu bergegas masuk ke dalam rumah. Tak lama kemudian, ia kembali Bersama dengan seorang perempuan yang lebih tua dan masih menggunakan mukena. Perempuan bermukena itu menemui tamunya. Dipandangi satu per satu. Empat orang pemuda berseragam Dosen, Tentara, Dokter, dan jas rapih Pengusaha, Lalu, histeris.
“Ya, Allah. Anak-anakku! Kenapa kalian lama tak datang? Kenapa kalian tak menghubungi ibu terlebih dahulu?”
“Minal Aidzin Wal Faidzin, Bu. Maafkan kami.”
Mereka bersalaman dan berhambur dalam pelukan hangat kerinduan Ibu pada anak-anaknya. Air mata tak kuasa untuk dibendung. Empat pemuda gagah dan tampan itu menitikkan air mata. Sedih juga bahagia.
“Aldi, ayo salaman sama Nenek!”
“Ya, Allah Yakhfi. Anak kamu sudah besar.”
“Kelas 6, Bu.” Balas Yakhfi yang disusul salam hangat Aldi, anaknya. Salam cucu pada Neneknya.
“Yang ini siapa?”
“Ini Fatimah, adiknya Aldi, Bu.”
Gadis kecil berwajah imut itu pun bergantian bersalaman.
Mereka larut dalam hangat maaf dan kekeluargaan. Dari 4 anaknya itu, juga dengan pasangannya masing-masing; Yakhfi dengan istri dan 2 anaknya, Abdul dengan istri dan 1 anaknya yang masih kelas 2 SD, Hasyim dengan istri dan 1 anaknya yang masih TK, dan Zaed dengan pacarnya. Menuju pelaminan.
“Ani, Diah, Rahma, Dan Silvi, ayo masuk! Kita makan Bersama.” Panggil Ibu Mertua pada para menantu dan satu calon.
“Kalian juga!” Lanjutnya pada anak-anaknya yang dibanggakan itu.
“Buat kalian, Cucu-Cucu Nenek, udah disiapin permen, es krim, dan amplop THR!”
Seketika itu Cucu-Cucunya berhamburan mengelilingi Neneknya. Munculah sifat manja mereka. Sang Nenek hanya tersenyum bahagia.
“Ayo masuk! Kita makan Bersama!”
Di rumah sederhana yang penuh kasih sayang dan kenang itu kembali ramai suara tawa dan canda. Tak ada dinding anyaman bamboo, ataupun tungku asap itu. Semua sudah diubah zaman dan digantikan dengan yang lebih baik. Cukup untuk hidup tenang seorang Nenek bersama Bi Warsih, saudara jauh keluarga. Meskipun letak rumah tak bergeser sedikitpun. Hanya, kini lebih tertata dan indah. Ada taman, gerbang, juga kebahagiaan yang menetap.
Kebun singkong di belakang rumah pun ikut bahagia menatap.
***