Gadis itu mengerjapkan matanya pelan.
Dia mencoba mengingat kembali apa yang sebenarnya terjadi. Kali ini dia merasa baru terbangun dari tidur pannjangnya. Dia membuka kelopak matanya perlahan, kemudian menatap langit-langit kamarnya, dan…
”Ya ampun, Serra! Kau ini… Hari ini kan hari Serra harus kembali ke pesantren.” Gumam gadis itu merutuki dirinya sendiri.
**
Dia adalah Serra Paradiba, seorang gadis yang baru terbangun dari komanya selama 6 bulan terakhir ini. Setelah dokter mendiagnosa Serra mengidap penyakit Leokimia, Serra jadi sering mengalami kekurangan darah yang membuatnya harus bolak-balik rumah sakit untuk mentranfusi darah pada tubuhnya.
Sehingga pada hari itu, Serra mengalami kecelakaan saat setelah Serra melakukan kontrol bersama salah satu pengurus asramanya. Serra kehilangan darah sangat banyak, sedangkan kebutuhan darah Serra yang langka berupa sel darah A+. Memang dari awal dokter sudah menjelaskan tentang jenis sel darah tersebut, sampai-sampai dokter selalu memberi waspada kepada Serra untuk selalu menjaga dirinya agar tidak menghabiskan banyak darah pada dirinya. Dan ketidaksengajaan itulah yang membuat Serra seperti ini.
**
Serra menginjakkan kaki sembari menatap bangunan sekelilingnya yang masih sama, seperti terakhir kali Serra melihatnya. Begitu pula degan lorong dan juga tangga yang merupakan tempat ternyaman Serra bersama teman-temannnya dalam melakukan rutinitas ghibah ria ataupun sekedar melalar hafalannya. Serra dapat mengingat betul semua kejadian itu. Bahkan, Serra sangat meridukan mereka, terlebih pada Shofia, salah satu sahabat yang menemaninya dari awal Serra menjadi santri baru di sini. Serra dan Shofia sam-sama telah monndok di pesantren ini sedari lulus sekolah dasar. Sampai sekarang, hingga mereka duduk di kelas 12 SMA. Jadi tidak heran jika mereka sudah seperti adik kakak saja.
Namun sayangnya, asrama mereka dipisah. Semenjak mereka sama-sam lulus dari SMP. Memang di pondok pesantren ini hanya memiliki 3 unit asrama yang jaraknya tidak cukup jauh. Namun ketika sekolah formal, mereka masih ssatu gedung.
”Eh, itu Serra bukan sih?” Teriak salah satu orang di ujung lorong.
Seketika, semua orang mengalihkan atensinya pada Serra.
”Iya, itu Serra, guys!” Timpal seorang gadis yang terlihat sedikit rempong. Ia adalah Nida, salah satu teman Serra. Nida yang terlebih dahulu menyadari akan kehadiran Serra langsung berlari dengan riangnya dan sedetik kemudian ia mendekap tubuh kecil Serra, sangat erat. Mereka meruahkan segala keriduan.
”Aduh Nida, lepas gih! Sesak nih.” Protes Serra sambal melepaskan pelukan Nida. Namun Nida tak memperdulikannya. Teman-teman yang lain pun ikut menyusul mereka kedua.
”Serra, selama ini kemana aja sih?”
”Huhu, rindu banget sama Serra.”
”Jadi sakit apa, Ser?”
”Serra ih habis pulang, mana oleh-olehnya?”
Seketika Serra diborong pertanyaan oleh teman-teman menyebalkannya.
”Huft.” Serra menghembuskan nafas, malas menanggapi semua pertanyaan tersebut.
Tiba-tiba angin kencang berlalu begitu saja besertaan dengan hawa dingin yang terasa menusuk tubuh mungil Serra. Namun aneh, hanya Serra yang merasakannya. Karena teman-temannya terlihat biasa saja. Serra kembali mengedipkan matanya cepat. Merasa aneh dan tidak benar dengan suasana seperti ini. ”Tunggu sebentar.” Lirih Serra.
Sedetik kemudian, hawa dingin kembali menusuk tubuh mungil Serra. Membuatnya, benar-benar merinding.
”Eh, Shofia kok kamu di situ?” Teriak Serra histeriis karena merasa sangat rindu dengan sahabatnya itu.
”Shofia, sini dong. Nggak mau peluk aku?” Ucap Serra lagi dan lagi tanpa memperdulikan suasana sekitarnya yang sangat kacau.
”Shof, kok diam aja sih?”
Namun yang dipanggil tetap saja tidak memberikan respon. Membuat Serra menjadi jengkel sendiri. Serra melangkahkan kaki ingin meraih tubuh sahabatnya itu.
“Eh, Serra. Mau kemana?” Tanya Nida sambil mengusap lembut pundak Serra. Membuat Serra tersadar dan membalikan tubuh menghadap Nida.
“Kamu kenapa sih, Ser? Bengong mulu dari tadi.” Omel Nida.
”Aku tadi lihat Shofia di sana.” Tunjuk Serra ke ujung lorong. Nida pun melihat ke ujung lorong sesuai yang diinstruksikan Serra. Namun nihil, Nida tidak menemukan keberadaan Shofia di sana.
”Mana sih, Ser? Kamu ngehalu ya? Orang nggak ada apa-apa.”
”Tapi, aku lihat Shofia di sana!” Bantah Serra merasa tak terima.
”Kamu lupa ya, Ser, kalau Shofia nggakk seasrama sama kita?” Ujar temannya yang lain.
”Udah-udah, mungkin sekarang kamu lagi capek. Besok kita ketemu dengan Shofia di sekolah, ya?” Ucap Nida lembut.”
”Yaudah deh.”
**
Serra merebahkan tubuhnya bersiap-siap untuk mengistirahatkan tubuh mungilnya.
”Huh, capek banget hari ini.” Keluh Serra.
Serra menggulingkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri merasa tak nyaman dengan posisi tidurnya. Dan pada akhirnya, Serra menyerah dan memilih duduk saja. Serra melihat teman-temannya telah melalang buana ke Negeri Kapuk. Begitu pula dengan Si Rusuh, Nida. Saat ini hanya Serra seorang diri.
”Hm, tadi itu Shofia bukan, ya?”
”kalau semisal Shofia beneran, kenapa ia nggak jawab aku, ya? Apa ia marah? Tapi hari ini ia aneh banget. Hm, nggak-nggak, kayaknya gejala sakitku kambuh lagi deh. Jadi nggak fokus kayak gini.”
Sebaik mungkin Serra menepis pikiran buruknya. Dan meyakinkan dirinya sendiri, bahwa kali ini tidak akan terjadi apa-apa.
**
”Shofiaaa! Jangan di situ nanti kamu jatuh!” Bentak Serra pada sahabatnya yang sekarang sudah berdiri di tepi jurang.
”Shofia, ih bandel banget. Capat minggir sini!”
“Ngapain di situ? Bahaya loh!” Teriak Serra lagi.
Serra begitu tak habis pikir dengan sahabatnya satu itu. tapi bagaimana pun, ia begitu khawatir: Shofia di tepi jurang!
”Ser, jangan ke sini! Jangan kejar aku.” Ucap Shofia yang yang melihat langkkah Serra menuju padanya.
“Apaan sih, Shof. Bercandanya nggak lucu.”
“Shof, wajah kamu pucat banget. Kamu sakit? Kok nggak bilang aku.” Ceracau Serra membuatnya terlihat begitu kacau, lagi dan lagi.
“Serra jangan ke sini.”
“Kamu apa-apaan sih, Shof!”
”Serra, aku nggak bercanda, kamu jangan kesini kumohon.”
”Hah?!” Serra pura-pura tidak mendengar karena merasa aneh dengan sifat Shofia.
”Sini, Shof. Raih tanganku!” Perintah Serra sembari mengulurkan tangannya, berharap Shofia membalas ulurannya. Namun Shofia semakin melangkahkan kakinya mundur.
”Bye Serra… Aku senang menjaddi sahabatmu!”
Itulah perkataan terakhir yang dapat Serra tangkap, sebelum Shofiamerentangkan tangan dan menjatuhkan dirinya ke jurang tinggi itu.
”Shofia…!” Teriak Serra histeris. Merasa ini semua tak nyata.
”Eh, Serra! Bangun! Jadi sekolah nggak?” Bentak Nida tak sabaran.
”Nida, bisa pelan-pelan nggak? Bikin kaget orang aja.”
”Lagian, dibangunin dari tadi susah banget.”
”Perasaan baru sekali.” Ucap Serra sembari mengggaruk tengkuknya yang tak gatal.
”Emang dasar kebo!” Kesal Nida meninggalkan Serra seorang diri. Serra kembali mengatur nafasnya yang sempat memburu.
”Huft, ternyata tadi hanya mimpi.” Batin Serra.
**
Di sekolah, Serra terus mencari keberadaan Shofia. Kemana gadis ittu pergi? Namun, kemanapun Serra mencari, ia tak kunjung menemukan Shofia. Ingatannya terus berputar pada mimpi semalam yang ia alami. Serasa nyata ataupun tidak, entahlah, Serra juga bingung. Belakangan ini ia selalu merasakan hal aneh.
”Shofia, kamu kemana sih? Jangan bikin aku bingung gini dong!” Lirih Serra.
Tiba-tiba Serra merasakan ada yang meraih bahunya pelan. Refleks, Serra membalikkan badan cepat. Dan mendapati Nida dibelakangnya.
“Kamu kenapa, Ser?”
“Aku bingung, Nid. Mau cari Shofia kemana lagi. Semua tempat dari biasa kita daatangi bareng sampai tempat yang biasa dijadikan Shofia menyendiri, semua nggak ada. Apa ia nggak tau aku udah balik ke sini?”” Jelas Serra.
Matanya kini begitu sayup, wajahnya pucat, bahkan tubuhnya melemas. Karena memang keadaan Serra saat ini belum stabil, bahkan ia harus melaksanakan kontrol dengan rutin untuk kesehatannya itu.
”Udah, Ser, nanti kita cari lagi. Sekarang kita balik ke kelas, kamu biar istirahat dulu.” Ucap Nida yang menyadari keadaan Serra semakin mengkhawatirkan.
”Hm, oke.”
**
Mereka berdua kembali ke kelas yang bernuansa midnight green dan putih salju yang melengkapi. Terkesan begitu menenangkan, namun suara riuh para siswi membuyarkan suasana tenang yang berusaha ditunjukkan oleh tema kelas ini.
”Ser!” Panggil Nida yang sedikit berteriak karena, mencoba menembus segala bising kalut.
“Kenapa, Nid?”
“Ke kantin, yuk? Aku traktir deh, janji!”
”Hah, kamu kenapa sih, Nid? Tumben-tembenan.”
”Nggak apa-apa, cuma buat rayain kamu udah balik kesini.”
”Hahaha, ada-adaa aja kamu ini, Nid.”
”Janji oke, nanti ke kantin sama aku.”
”Iya, Nida.”
**
Saat ini kantin begitu ramai oleh siswi-siswi yang mencoba mencari pasukan untuk perut mereka. Bahkan tingkat keramaiannya melebihi suasana di kelas tadi.
”Beneran Nid, mau makan di sini? Ramai banget loh! Makan di kelas aja yuk.”
”Lagi pula di kelas juga ramai kan, Ser?”
”Nggaklah kan ramainya pindah ke sini, hehe.”
”Haha, benar juga kamu, Ser. Oke kita bungkus aja pesanannya.”
”Oke, gitu dong dari tadi.” Kekeh Serra pelan. Mereka pun ke temppat dapur, di mana orang-orang pasti akan memesan makanan di sana.
”Mak, pesan nasi goreng 2 ya, sama ini ngambil es teh 2 cup, gorengannya 4.” Ujar Nida pada Si Penjual yang akrab dipanggil ”Mak Kos” itu.
”22 ribu, Mbak.” Jawab Mak Kos.
“Oke, dibungkus ya, Mak!”
Benar memang, suasana kelas saat ini begitu sepi dan nyaman. Serra sangat menyukai keadaan seperti ini.
”Ser!”Panggil Nida.
”Kenapa?”
”Eh, nggak.”
Hening sejenak.
”Sebenarnya aku ngajak kamuu kayak gini mau ngomong suatu hal penting, Ser.” Tutur Nida gemetar.
”Kamu drama ya, Nid?” Canda Serra.
”Beneran ini, Ser. Aku nggak bercanda, ini tentang Shofia.”
Deg!
Seketika detak jantunng Serra berpacu dengan cepat. Segala hal yang tak mengenakkan seketika menyelimutinya. Pikiran Serra kembali mengingat akan hal aneh yang belakangan ini ia alami.
”Ini ada kalung liontin buat kamu, Ser!” Tututr Nida sembari mengambil kalung dari saku seragamnya.
”Apa ini?” Tanya Serra kembali bergetar, mencoba untuk tak menerka apapun. Namun nanar matanya tak bisa dibohongi untuk kata penasaran dan khawatir.
Hening masih menahan segala gebu dan deru.
“Serra.” Panggil Nida memberanikan bicara. Serra akhirnya mengalah, ia harus jujur, bahwa ia benar-benar tak bakik-baik saja.
“Sebenarnya, 2 bulan yang lalu Shofia dipanggil oleh pihak kepengurusan, memintanya untuk pulang kkarena ada urusan di rumah” Nida tampak tak percaya diri dari apa yang diucapkan, sesekali mencuri pandang ke Serra yang ekspresinya nggak bisa dilukiskan.
“Kemudian Shofia dijemput oleh kedua orang tuanya sendiri, namun pada saat itu tidak sengaja aku di depan gerbang asrama melihat Shofia yang sedang bersalam dengan kedua orang tuanya. Tak hanya itu, aku juga mendengar percakapan mereka tentang Shofia yang akan diboyongkan oleh kedua orang tuanya dengan alasan ayahnya harus melakukan dinas di luar kota. Akhirnya, tanpa piker Panjang Shhofia mengiyakan permintaan ayah dan ibunya. Mungkin itu bentuk ta’zhim Shofia pada orang tuanya. Aku pun mendatangi Shofia untuk mengucapkan salam perpisahan padanya. Namun, Shofia meemberikanku kalung ini dengan permintaan untuk diberikan kepadamu, Serra. Mungkin ia telah merasa tidak enak dengan apa yang akan terjadi padanya.”
Nida menarik nafas sejenak.
”I minggu berlalu, kami diberi kabar menyedihkan tentang tragedy kecelakaan yang dialami Shofia bersama keluarganya. Salah satu ustadzah menjelaskan kepada kami kronologi terjadinya kecelakaan mengenaskan yang menimpa Shofia dan keluarganya.” Kini suara Nida terdengar serak, diikuti dengan beberapa butir air yang menetes di pelupuk mata.
”Nid, kamu nggak apa-apa, kan?” Tany Serra memastikan.
”Mobil Shofia masuk ke Sungai, Ser. Semua yang ada di dalam mobil tak dapat ditemukan, baik ayah, ibu, Shofia, dan kedua adiknya.” Jelas Nida sambal terisak. Ledak sudah. Tak ada yang Serra bisa katakan. Kelu dan getar bibirnya hanya bisa ia tutup dengan tangan kanannya.
“Kemudian, selama 2 hari jasad ayah, ibu, dan kedua adik Shofia baru bisa ditemukan. Tapi, jasad Shofia baru ditemukan di 4 hari selanjutnya. Tapi, dari keseluruhan jasad ditemukan sudah dalam keadaan hancur, sehingga sulit untuk dikenal identitasnya. Anehnya, meski lebih lama ditemukan, jasad Shofia ditemukan dengan jasad yang masih utuh, juga dengan lengkungan senyum yang masih sempat terlukis di sungging bibirnyanya yang membiru.
Serra hanya terdiam. Ia hanya memandangi liontin bertuliskan abjad “S” di sana dengan beberapa mutiara yang menghiasinya.
“Cantik.” Gumam Serra.
Kali ini rasa sesak perlahan masuk ke relung hatinya. Serra tak dapat menahan lagi, ia merengkuh liontin itu dan memeluknya erat: menumpahkan segala asa dan rasa yang selama ini ia simpan.
”Secepat itu kau, Shofia.”
***
Oleh: Azkia Amelia Zahra