Antara Khadijah Dan Fatimah
Hawa dingin menggeleyar keseluruh penjuru pesantren. Air wudhu terasa meresap ketulang-tulang manusia yang bergelut dengan air. Kumandang Adzan Subuh sudah dikumandangkan setengah jam yang lalu kemudian disusul alunan iqomat yang menandakan setiap manusia dimasjid akan berdialog indah dengan tuhan mereka secara berjamaah. Sholat subuh telah berlalu, santri-santri berbondong-bondong mengikuti pengajian Ustadz Rahman setiap sehabis subuhnya. Hukum fardhu ain pun menancap pada kegiatan pengajian ini, sehingga meskipun mata seperti hendak terjatuh karena mengantuk pun tidak boleh melewatkan pengajian rutin ini.
“Ning. Ning. Bangun Ning!!”. Suara Farah membangunkan Ning Zahra. Yang dibangunkan tak bergerak sama sekali layaknya seperti orang yang tengah simulasi meninggal. Tak putus asa, Farah tak goyah untuk tetap menggerak-gerakkan tubuh Ning Zahra berharap ia bangun meskipun hanya membuka matanya.
“Ningggg!! Masyaallah kok susah banget buat dibanguniiiiinnyaaa”. Rintihnyaa pada sosok yang tak bisa bangun itu. Posisi tidur Ning Zahra kini dengan mukenanya yang membelit tubuhnya yang terkapar dilantai beralaskan sajadah sholat subuhnya.
“Ningggg kalo sampean nggak bangun kita bakal ketinggalan pengajian wajib Ustadz Rahmaann”. Suara farah putus asa.
Mendengar nama yang sedari kemarin didambakannya. Matanya tiba-tiba seperti terkena aliran listrik entah dari mana. Matanya terbuka lebar secara sempurna. Dan posisi badan yang tiba-tiba terduduk membuat Farah terkejut.
“Kenapa nggak bilang dari kemarin sih Farah?”. Protesnya yang kemudian dengan kilat melepas atribut sholatnya dan memakai jilbabnya. “Kemarin?”. Farah hanya bisa membatin. Kemudian secepat Super Dede mereka berdua berlari kearah Masjid berharap dapat shaf terdepan. Bukan Ning Zahra kalau tidak dapat posisi terdepan. Siapa yang tidak mengenal putri dari pemilik pesantren ini, Kyai Fauzan. Ning Zahra sejak kecil sudah tinggal di Pondok Pesantren berbaur dengan mbak-mbak santri yang lain. Kyai Fauzan memiliki alasan mengenai tempat tinggal putri keduanya ini. Namun, hanya santriwati yang mengetahui identitas asli dari Ning Zahra. Pada awalnya tidak ada yang berani berteman dengan Ning Zahra dengan alasan ke-Tawadhu’-annya terhadap putri Kyai. Hingga akhirnya Farah menjadi teman kemanapun Ning Zahra menginjakan tanah di lingkup Pondok Pesantren ini.
Kini keduanya duduk diantara mbak-mbak santri lainnya sembari mendengarkan pengajian dengan Ustadz Rahman sebagai pembicarannya.
“Zaman sekarang kesetaraan gender sangat dijunjung tinggi. Hak wanita sedang didorong dan diangkat agar dapat setara dengan kaum laki-laki. Dengan proses tersebut hendaknya para wanita Wa Bil Khusus santriwati harus memiliki moral dan berakhlak yang baik. Jangan khawatir apabila perempuan tak kunjung memiliki dada lelaki untuk bersandar. Yang penting akhlak dan ilmunya tidak dibawah standar. Tidak apa-apa jika memiliki paras kurang cantik, namun memiliki kepribadian yang menarik. Jadi kalian sebagai perempuan jangan berkecil hati dan berlarut-larut sedih dengan kekurangan kalian, justru dengan kekurangan tersebut kalian santriwati bisa menumbuhkan kelebihan yang luar biasa. Jadilah wanita luar biasa yang mana anak-anak kalian akan merasa bangga memiliki ibu yang hebat seperti kalian”. Tutur Ustadz Rahman.
Mendengar penuturan Ustadz Rahman, terdapat banyak kondisi jiwa santriwati yang berubah, banyak diantaranya yang tiba-tiba berkobar-kobar ingin menjadi wanita sejati yang hebat dalam waktu sekejap. Ada yang tiba-tiba bertekad ingin menambah komposisi semangatnya dalam menimba ilmu. Ada yang tetap dengan tekadnya yakni tertidur sembari merajut mimpi yang tadi sempat terjeda oleh jama’ah sholat subuh. Namun ada yang lebih unik diantara banyaknya santriwati, yakni Ning zahra.
“Kira-kira kalo aku ngelamar Ustadz Rahman biar bisa nikah sama aku bisa nggak, Far?”. Celetuk Ning Zahra tanpa pikir panjang itu membuat mata Farah melotot seperti hampir jatuh dari tempatnya.
“Edan sampean Ninnnggg!!”. Lirih namun penuh penekanan. Hanya farah yang berani mengucapkan hal seperti itu pada putri Kyai nya itu karena terlampau akrabnya.
Ternyata selain ingin menjadi wanita yang lebih baik, Ning Zahra ingin menjadi wanita pemilik Ustadz Rahman.
Seusai pengajian di Masjid, Ning Zahra pamit ke Farah akan pergi ke Ndalem. Kini kepala Ning Zahra mendekat ke telinga Farah hendak membisikkan sesuatu.
“Aku pengen minta Ustadz Rahman ke Abah”. Ucapnya singkat, padat, jelas, namun juga beresiko. Setelah mengucapkan itu Ning Zahra berjalan cepat kearah Ndalem.
“Ya Allah. Ning-ku mulai gendeng”. Ucapnya bermonolog dengan suara yang hampir tak terdengar.
Di lain tempat, kini Ning Zahra sudah berada dihadapan abahnya, Kyai Fauzan. Awal mula yang lidahnya terasa kelu untuk mengucapkan permintaannya, kini sudah bisa digerakkan.
“Abah. Mendengar pengajian tadi, Zahra berjanji akan menjadi wanita hebat”. Ucapnya dengan semangat 45 didepan abahnya. Kyai Fauzan tersenyum mendengar ucapan putrinya ini.
“Abah, Zahra pengen Abah meminta Ustadz Rahman buat jadi calon mantu keluarga Ndalem”. Mendengar ucapan putrinya, dahi Kyai Fauzan berkerut sekaligus terkkejut mendengar penuturan Ning Zahra. Kyai Fauzan dengan cepat menangkap maksud putrinya yang berusia 21 tahun ini.
“Bisakan, Bah?”. Tanya Ning Zahra.
Kyai Fauzan terkejut dengan permintaan putrinya ini. Bagaimana bisa Ning Zahra menyuruh abahnya melamarkan Ustadz Rahman untuk putrinya.
“Masak wanita yang melamar laki-laki tho, Nduk?”. Ucap Kyai Fauzan.
“Zahra ingin menjadi wanita hebat seperti Khadijah yang melamar Muhammad, Bah”. Ucap Ning Zahra mantap. Mendengarnya membuat Kyai Fauzan menarik napas dalam dan menghembuskannya secara perlahan.
“Tapi Zahra, abah sedari dulu ingin sekali kamu menjadi wanita hebat. Namun selain menjadi wanita hebat yang seperti Khadijah, abah juga ingin putri abah sehebat dan seanggun Fatimah yang menyimpan cintanya pada Ali, hingga Ali-lah yang datang melamar”. Ucap abah dengan penuturan yang halus.
Apakah ini pertanda bahwa cinta Ning Zahra hanya sampai dititik ini dengan ending sebagaimana adat perjodohan keluarga Kyai-Kyai lainya?
-Selesai-