Apakah Berpolitik Itu Baik?
Negara Demokratis seperti Indonesia, selalu seru ketika datang pesta perpolitikan, mulai dari pemilihan kepala desa, Bupati, Gubernur, Anggota Legislatif, sampai yang sering membuat geger-gegeran seperti pemilihan hierarki kekuasaan tertinggi eksekutif di Indonesia, seorang presiden.
Di balik itu semua, unsur politik menjadi hal yang sangat fundamental, perannya sebagai jalur atau bahkan jalan mulus seseorang untuk mencapai posisi sebagai pemimpin, walaupun jalur independen tersedia, tetapi hanya sedikit orang yang bersedia.
Lalu, bagaimana peran kita sebagai santri memandang politik itu sendiri? Sebelum kenal politik sebagai suatu hal yang mengundang intrik, kita perlu mengenal politik dari sudut pandang yang menyejukan dan menenangkan. Lalu menjadikannya sebagai sahabat yang selalu memberi kita pelajaran bermanfaat, apakah itu bisa? Tentu bisa!
Berkaca dari dawuh yang diutarakan oleh Imam Al-Ghozali
والملك والدّين توأمان فاالدّين أصل والسّلطان حارس وما لا أصل له فمهدوم وما لاحارس له فضا ئع
“Negara (Ilmu Politik) dan Agama adalah saudara kembar, Agama merupakan dasar, sedangkan negara (Ilmu Politik) adalah penjaganya, sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh dan dasar tanpa penjaganya akan hilang.”
Itu berarti selain mengetahui ilmu-ilmu agama yang kaitannya dengan syariat kuat, sains nan penuh jiwa-jiwa modernis, ataupu sosial yang mendidik jiwa-jiwa intelektual, perlu juga mengetahui ilmu politik. Karena tidak bisa dipungkiri, orang-orang yang menjadi pemimpin di negeri ini tak lepas dari ilmu politik dan kita secara tak langsung dilindungi oleh beliau-beliau semua.
Sebab kebijakan para tentara, polisi, badan intelijen dan alat utama sistem pertahanan di Indonesia di bawah langsung oleh komando presiden sebagai posisi tertinggi di lembaga eksekutif, belum lagi peraturan negara yang disepakati para anggota legislatif, MPR, DPR maupun DPD, ataupun orang-orang pengadil di lingkungan yudikatif, semuanya tak terlepas dari ilmu politik.
Masalahnya, bagaimana jika sampai orang-orang zholim terjun mengusai itu semua? Tentu, yang didapat kebobrokan, kesewenang-wenangan, suara rakyat hanya dianggap sebagai angin yang lewat, dengan begitu kita perlu lebih selektif lagi dalam memilih pemimpin dan para politikus di negeri ini. Imam Ghozali memberikan sebuah gambaran mengenai kriteria pas untuk seseorang yang mengemban amanat itu,
وقال أبوالأسود: ليس شيئ أعز من العلم الملوك حكام على الناس والعلماء حكام على الملوك
“Abu Aswad berkata: “Tidak ada sesuatu yang lebih utama daripada ilmu. Para raja memerintah manusia (publik), sedangkan para ahli ilmu itu memerintah para raja.”
Berarti carilah pemimpin ataupun anggota dewan yang selalu mendengar nasihat maupun tutur kata ulama dan selalu menghormatinya, karena secara hakikat, posisi ulama sebagai gurunya umaro.
Bahkan, Saking vitalnya seorang umaro, ia dianggap sebagai pondasi agama, di mana jika sampai tumbang, maka berantakan sudah negeri yang ia pimpin,
واعلم أن السلطان به قوام الدّين فلا ينبغي أن يستحقر وإن كان ظالما فاسقا
“Ketahuilah bahwa penguasa sebagai pondasi agama, maka jangan menghinanya.”
Dengan begitu, marilah kita ubah mengenai politik sebagai akar dari suatu masalah, karena politik bisa juga menjadi media dakwah, jalan untuk membenarkan orang-orang yang salah. Maka dari itu, menghadapi pesta perpolitikan di tahun 2024 nanti, jangan golput, pilihlah pemimpin dan para anggota legislatif yang bersikap amar ma’ruf nahi munkar bukan hanya jago mengambil perhatian dengan cara senang berbuat onar.
Wallahu A’lam
.
.