Asin Air Mata
Tak terbayangkan akan Pondok Pesantren, tempat yang membutuhkan mental yang kuat bagi orang memutuskan untuk menjadikan dirinya termasuk dari bagian di dalamnya. Pikiran dan mental benar-benar diuji oleh kerinduan dan air mata. Hanya orang terpilih yang dapat bertahan di sana. Orang yang bertekad kuat.
Namanya Bahrul. Ia penuh kekhawatiran jika telah menjadikan Pondok Pesantren menghiasi pikirannya. Hal-hal baru dan asing itulah penyebabnya. Pikirannya aneh-aneh. Merambat ke hatinya yang tak tenang.
Mau tak mau inilah yang harus ia hadapi. Sebisa mungkin menjadikan Pondok Pesantren sebagai bagian dari hidupnya. Ia tahu, zaman sudah keruh oleh ulah manusia yang mengesampingkan moral dan budi pekerti. Kemana lagi ia dapat mengenal cahaya agama? Selain Pondok Pesantren, jawabannya.
Pagi itu adalah saat yang paling berat baginya. Mengemas barang-barang dan bersiap. Ia puaskan matanya memandang setiap sudut rumah dan apapun yang berkenang. Mesin motor sudah menyala. Seenak apapun masakan Ibunya pagi itu, tetap saja lidah tak memancarkan selera makan. Ia dan Ayahnya akan menuju Pondok.
Sebelum itu, sanak saudara dan tetangga ikut meramaikan dengan rapalan do’a dan kalimat ketabahan. Bahwa semua harus ditabahkan. Tak ada yang perlu dirisaukan. Semua tak seperti yang dipikirkan. Waktu terus berjalan. Mereka harus berangkat.
Di perjalanan, tatapannya tampak menunduk. Sesekali melirik spion untuk mencari ketenangan dari melihat wajah Ayahnya. Tetap tak ia temukan. Hatinya tak tenang. Pikirannya semakin tak karuan.
***
Bahrul.
Di depan gerbang yang bertuliskan Pondok Pesantren Darul Ilmi itu langkahku terhenti. Berat sekali rasanya kaki ini untuk melangkah. Banyak hal yang tak bisa untuk diajak kompromi akan hal perasaan.
“Ayo!” Ucap Ayah dengan nada berat. Lalu, memaksakan senyumnya.
Kulangkah kaki dengan barang-barang yang tak lupa aku dan Ayahku bawa. Kardus dan tas itu. Langkahku langsung disambut dengan suasana yang cukup asing. Nuansa keislaman begitu kental. Di sana, aku melihat berbagai macam kegiatan yang dilakukan orang yang bernama santri itu; ada yang sedang mengaji, sholat, makan, tidur, main bola, menjemur baju, atau juga masak. Disana begitu ramai.
Kami disambut oleh seorang lelaki berkopeah hitam. Ia memperkenalkan namanya dan mengaku sebagai Jamal. Ustadz Jamal. Kami diajak ke Kantor Pondok Pesantren untuk mengurusi semua administrasi dan persyaratan. Di sana, kami memenuhi semua berkas dari persyaratan yang di minta, tak lupa juga dengan biayanya. Kami banyak bertanya mengenai kegiatan sehari-hari di Pondok Pesantren. Kegiatan daru bangun tidur sampai tidur lagi. Semua ditanya. Meskipun kenyataannya hanya Ayahku saja yang bertanya. Aku hanya diam saja.
Setelah menyelesaikan itu semua. Aku dan Ayahku pergi ke Masjid, karena adzan ashar sudah berkumandang. Masjid ini adalah Masjid yang sama dipakai kami Sholat Dzuhur tadi. Pada saat wudhu, sengaja kubasuh wajah lebih lama. Entah kenapa wajahku menjadi butuh kesegaran lebih. Mataku berat. Lalu, kami sholat ashar berjama’ah.
Selesai sholat, aku dan ayah menyempatkan untuk makan terlebih dahulu. Di warung dekat Pesantren yang menjual nasi dan lauk pauk ala kadarnya. Ada banyak santri di sana. Mereka makan dengan penuh lahap. Aku heran. Lauk Ayam Goreng dan sambel tak berhasil membangkitkan selera makanku. Bahkan, meskipun telah dibantu dengan segar Es Teh Manis. Berbeda dengan Tempe Goreng dan Kangkung para santri itu yang sangat berhasil menjalankan misinya untuk melawan rong-rongan dari lapar perutnya.
Aku dan ayah juga mampir ke Toko Kitab untuk membeli kitab-kitab pelajaran yang pakai di Pondok Pesantren. Aku cukup terkagum-kagum dengan banyaknya koleksi kitab pada rak yang berbaris rapi. Aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Sama sekali.
“Kang, ada Kitab Alala?”
“Ada, Pak.” Ucap Pelayan Toko itu ramah. Lalu, tak lama menyodorkan sebuah kitab yang bertuliskan Alala dengan huruf arab.
Entah kenapa dengan diriku. Rasanya semua serba berat. Kaki dan perasaanku seperti ada seseuatu yang mengganjal. Bahkan, mataku terasa begitu berat. Makin lama, makin berat. Lalu, air mata itu turun. Makin lama, makin deras. Suara isak juga mengiringi dari setiap derai air mataku. Aku menangis. Menangis sejadi-jadinya.
Aku tahu setelah ini, aku dan ayah akan berpisah. Ini momen tarakhir pertemuan. Aku tak peduli dengan keadaan sekitar. Ayah sepertinya malu karenaku. Apalagi saat semua mata memandang kami, juga mata pelayan tokoh itu yang menyimpan makna lebih.
“Sudah, Nak. Tak apa. Ini semua tak perlu ditangisi. Anak ayah hebat!” Ucap ayah menenangkan, lalu memelukku.
Setelah tangisku mereda, ayah mengajakku duduk seraya meminum Es Tebu. Di bawah rindang Pohon mangga, Ayah memberi masukan banyak padaku. Memberi nasihat dan motivasi tentang perjalanan kita dalam mengarungi hidup.
“Kalau di hadapan hidup terus kita tampakkan kelemahan lewat air mata, maka hidup akan terus menekan kita agar air mata yang keluar semakin deras. Jalan satu-satunya, kita hapus air mata dan bangkit untuk melawan. Jadi laki-laki jangan lemah! Anak ayah pasti bisa. Sudah tak usah menangis lagi.”
Hatiku mulai tenang mendengar tutur kata ayah. Langit telah menampakkan sinar senjanya yang menandakan ini saatnya kami harus berpisah. Dari nurani yang terdalam, aku kembali menangis.
“Sudah jangan menangis! Anak Ayah jangan menangis! Kuat-kuat. Ayah pamit dulu. Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.”
Ayah mencium keningku, lalu mengangkat kardus dan tas itu seraya memasuki gerbang Pondok Pesantren. Ayah akan mondok. Aku pulang ke rumah. Semoga betah, Ayah!
***