Santri dan Asmara
Rintik hujan mendatangi area yang penuh akan keberkahan bagi yang mempercayainya. Rintikan itu lama kelamaan menjadi aliran air yang mengisi retakan-retakan tanah. Angin datang berhembus menusuk bersamaan dengan air hujan yang mendera. Ranting-ranting pohon bergesek satu sama lain menghasilkan bunyi-bunyian. Tangan seseorang menjulur ke arah air yang mengalir jatuh dari atap yang menaunginya. Dilema yang dirasakannya kuat bersamaan dengan semakin banyaknya air yang menggenang di telapak tangannya.
“Perasaan macam apa ini?”. Gumamnya pelan.
Gadis itu menampakan wajah datarnya yang tengah menatap lurus kearah air hujan.
“Meresahkan sekali”. Tambahnya kemudian menarik tangannya yang berisi air dan membuangnya asal. Kakinya kembali memasuki bangunan yang biasanya ia tinggali.
Kini masa tetap berjalan dengan semestinya hingga tertera pukul 13.30 pada alat penunjuk waktu. Bel menggema diseluruh ruangan yang disusul dengan pengumuman persiapan masuk kelas Madrasah Diniyah. Semua yang mendengarnya langsung bersiap. Kegiatan wajib yang tidak boleh dilewatkan itu berlangsung. Terus menerus. Dan tak terhindarkan.
Namun dibalik kegiatan yang seperti itu, ada saja pemikiran dan perasaan terkait seseorang menelisik di otak. Gadis bernama Tsana itu sempat kesal dengan dirinya sendiri. Padahal dirinya ingin sekali membuangnya. Namun kerap kali ia gagal untuk melakukannya. Saat buku kecil dengan kertas berwarna kuning yang biasa disebut dengan nadzom, yang olehnya ingin ia sematkan dipikirannya saja sempat tergeser oleh adanya bayangan seseorang tersebut.
“Padahal dia bukan siapa-siapa. Tapi dengan lancangnya dia membuatku kepikiran”. Keluhnya lagi.
Kini Tsana memutuskan untuk menyibukkan diri dengan berbagai hal. Dari menulis kewajibannya di Madrasah Diniyah, menghafal apa yang menjadikan hukum wajib nadzom. Hingga kali ini kelas Madrasah Diniyah dimulai. Rutinitas dari membaca sholawat, tawasul, dan do’a yang wajib dirapalkan ketika kegiatan Madrasah Diniyah telah masukpun bergema disetiap ruang kelas.
Untuk hari ini mata pelajaran yang dikaji dikelas 1 Aliyah ini adalah kitab Alfiyah karangan Imam Ibnu Malik yang terkenal dan masyhur di kalangan pesantren dibidang Ilmu Nahwu. Dan pembelajaranpun tengah berlangsung dengan memaknai Debur para siswi yang mana Alfiyah dan Murod-nya telah ditulis sebelum kelas berlangsung.
“Nah, sekarang saya akan menjelaskan Bab Tanazu’, semuanya perhatikan”. Ucap Mustahiq di kelas tersebut.
Mustahiq tersebut menerangkan bahwasanya dalam Bab Tanazu’ menjelaskan tentang perebutan amal. Yang mana disini apabila ada dua amil dan satu ma’mul, maka yang akan beramal hanya satu, dan yang satunya akan dihukumi muhmal.
“Singkatnya gini, ada 2 orang laki-laki yang merebutkan 1 perempuan. Maka yang akan mendapatkan perempuan ini salah satu dari laki-laki tersebut. Tidak bisa keduanya memiliki perempuan tersebut”. Jelas mustahiq tersebut.
“Dan kalian sebagai perempuan yang sudah saya anggap sebagai anak-anak saya, jangan sekali-kali berpikir ingin memiliki 2 orang sekaligus. Kalian harus memilih salah satunya. Saya berbicara seperti ini karena saya tau kalau kalian sudah pada besar”. Jeda mustahiq yang biasa dipanggil Pak Fadli tersebut.
“Kalau dari saya pribadi. Perihal hati ataupun hubungan antar lawan jenis, saya tidak mempermasalahkan. Namun kalian harus bisa menempatkannya dengan baik dan menjalani hubungan yang sewajarnya, jangan sampai melampaui batas. Apalagi kalian sudah ngaji. Mondok. Pasti kalian sudah tau batasan. Dan satu lagi, kalau bisa jangan sampai mengganggu ngaji dan mondok sampean semuanya”. Sambung Mustahiq tersebut.
Kata-kata tersebut menghujam di pikiran dan hati siswi yang mendengarnya. Terlebih lagi bagi Tsana, kata-kata tersebut telah tersematkan di akal sehat dan hatinya. Kini ia bertekad tidak menjalin hubungan sebelum tamat.
“Stay jomblo aja kepikiran mbuh-mbuh. Apalagi nggak jomblo, nadzom e opo ora rubuh?”.
-SELESAI-