web analytics

Banjir Darah

Banjir Darah
0 0
Read Time:9 Minute, 34 Second

Suatu malam.

Seorang lelaki membelah rerimbunan hutan dengan tergesa-gesa. Nyala api obor tak terarah mengikuti deru angin, juga tapak kaki itu.

“Akhirnya!”

Ia terus menyusuri ke dalam hutan. Pada suatu tempat yang ia tuju. Sesekali timpal suara burung hantu dan lolongan serigala seakan mengusik suasana kesunyian hutan tersebut. keringat terus menetes dari keningnya sambil terkadang melihat ke arah langit lepas.

“Sebentar lagi purnama, aku harus cepat.”

Kobaran obor melawan cahaya hutan yang semakin gelap. Ini adalah malam yang ia tunggu-tunggu. Tepat saat bulan purnama genap, maka apa yang ia bawa di tangan kirinya akan membalaskan dendamnya selama ini.

“Arrrgh.”

Setiap orang punya bencinya masing-masing. Ketidakadilan, perendahan, hinaan, dan apapun yang menyangkut dengan nilai harga diri akan dianggap serius. Benci sudah lama menetap di hatinya yang menghitam oleh dendamnya yang membara. Luka di hatinya itu telah menghilangkan akal sehatnya. Perilaku mereka tak bisa diterima. Tak bisa dimaafkan. Dan malam ini akan dilakukan ritual SANTET RONGGOT NYOWO!

Ritual santet ronggot nyowo adalah ritual santet pembalasan dendam dengan menggunakan darah kambing hitam bertanduk tujuh yang hanya ada di puncak Gunung Siboro. Ritual itu harus dilakukan di tengah malam bulan purnama. Dengan usaha dan kerja kerasnya bertapa 40 hari di puncak Gunung Siboro, kambing hitam bertanduk tujuh itu telah didapatkan di tangan kirinya. Terikat.

Semakin malam mengantarkan langkahnya untuk lebih cepat bergerak. Gejolak dendam di hatinya tak sabar untuk meminta terlampiaskan. Tali kekang kambing hitam bertanduk tujuh itu pun digenggamnya kuat. Tangan satunya juga kuat menggenggam obor. Nyala apinya yang menjilat-jilat kegelapan. Arah langkah terus membawanya ke ujung hutan paling dalam. Hingga, sampailah ia di sebuah rumah.

Rumah itu kumuh, berdinding kayu dengan jalar tumbuhan merambat tebal. Pepohonan tinggi menjulang, terlihat mengitari rumah tersebut dengan rapat. Bau amis darah juga tercium kuat menusuk hidung dari sekitar bagian rumah yang cukup untuk disebut tua. Berbagai kepala hewan terlihat menghiasi sebagian dinding luar rumah itu. Horor!

Tali kekang itu ia ikat pada pohon. Ia masuk ke rumah itu untuk mempersiapkan semuanya. Bulan purnama menuju bulat sempurna.

“Aku harus cepat!”

Semua alat dan bahan ia persiapkan tanpa terlewat. Ritual ini sudah ia tunggu sejak lama. Sejak dirinya mengenal benci. Hanya semesta baru mewujudkannya dengan kambing tanduk 7 hasil susah payahnya. Malam ini dendamnya akan terbalas. Semua penduduk kampung itu dalam bahaya. Akan ada banjir darah malam ini!

Ritual santet siap dimulai. Semua alat dan bahan sudah ada di tangannya dan bergegas pada kambing itu. Ia terkaget-kaget.

“KEMANA KAMBING ITU?” Teriaknya Menggelegar.

 

***

 

“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. La Ilaha Illahu Allahu Akbar. Allahu Akbar Walillahil Hamd.”

Gema takbir menghiasi langit malam yang tentram dari pengeras-pengeras suara Masjid ke telinga-telinga, lalu pada setiap hati yang berbahagia. Besok adalah Hari Raya Idhul Adha.

Baca Juga: Bendera Lusuh

Tak sedikit dari Umat Muslim untuk menyemarakkan di malam takbiran Hari Raya Idhul Adha dengan berbagai kegiatan. Ada yang semalaman suntuk bertakbir di Masjid, ada yang menabuh beduk, tadarus Al-Qur’an, ikut Majelis Ta’lim, main petasan, perang sarung, balapan, dan ada yang hanya rebahan saja di kasur, lalu terlelap. Bahkan juga ada yang terbangun di tengah malam, bukan untuk takbiran, tadarus, ataupun amalan hari raya lainnya. Ia hanya lapar, lalu masak 2 bungkus Indomie soto, pake telur, potongan sawi dan tomat, 3 sachet saus, irisan cabe, dan suwiran ayam sisa acara hajatan Pak Bambang yang nikah lagi. Dan kebetulan itu Ayahnya.

Apapun dari mereka, kebahagiaan tetap terpancar di setiap hati Umat Muslim. Apalagi bagi mereka yang telah melaksanakan puasa sunah tarwiyah dan arofah. Mereka bergelimpangan ampunan.

“Mak, emang besok hari raya potong daging, ya?”

Terdengar tanya lugu seorang anak pada ibunya dari rumah yang dipeluk hangat keluarga, suara jangkrik, juga kodok-kodok sawah itu.

“Iya, Nak. Emang kamu mau makan daging?”

Baca Juga: Pulangku Hijrah

“Emang bisa, Mak? Kan, kita miskin!”

Sang Ibu terdiam sesaat sambil mengelus dadanya yang cukup kaget mendengar ucap anaknya.

“Ya, bisalah. Ini kan Hari Raya Umat Islam.”

“Terus apa hubungannya?” Tanya Sang Anak yang terlihat bingung.

“Kita kan juga Islam.”

“Islam? Tadi kok Emak nggak sholat subuh?”

Memang, tadi subuh Sang Ibu tidak sholat subuh. Tau sendiri kalau perempuan punya halangan sholat dan nggak mungkin juga ia ceritakan pada anaknya. Takut tambah aneh pertanyaan anaknya.

“Hm, lupa. Emak lupa tadi.”

“Emang kalo lupa boleh nggak sholat, ya, Mak?” Tanya Sang Anak lagi dan lagi. Kesabaran seorang Ibu benar-benar diuji. Harus menata hati dan lisan. Takut keceplosan ngutuk jadi kecebong. Perasaan ia juga tak pernah ngidam dora waktu hamil. Ini anak siapa?

“Boleh, kan lupa.”

Baca Juga: Redup

“Kalo gitu aku mau lupa aja ah biar nggak sholat.”

Astaghfirullah. Kukutuk kau menjadi…” Segera ia tutup mulutnya kuat-kuat. Hampir saja.

“Jadi nggak makan daging?” Lanjut Sang Ibu mengalihkan pembicaraan. Mencoba menahan.

“Iya, Mak. Aku mau makan daging besar. Aku mau makan daging Tirex!”

“Nggak bisalah, Ganteng. Sekarang kan bukan Zaman Paleozoikum. Lagian Pak Rt-nya juga udah ganti. Bukan Meganthropus Paleojavanicus lagi. Kalah 2 suara dia dari Pak Kardi.”

Baca Juga: Daster

“Nggak peduli. Aku mau makan daging Tirex sekarang juga. Sepuluh. Makan hidup-hidup dan nggak dikunyah.”

“Nak?”

“Arrrgh!”

Anak itu menunjukkan giginya dan sedikit melotot ke arah ibunya.

“Ibu seperti Tirex. Aku mau makan ibu!” Lanjutnya sungguh-sungguh.

“Pak…Pak…anak kita kesurupan!” Jerit histeris Sang Ibu memanggil Sang Suami. Lalu, lari ketakutan. Ia tak menyangka anaknya bisa seperti itu. Perasaan waktu hamil cuma ngidam tempe orek. Kok, yang keluar malah Tirex. Aneh.

Bukan hanya tentang bahagia, Hari Raya Idhul Adha juga tak lepas dari keberkahan. Semua orang merasakannya, termasuk para tukang hewan qurban. Pak Karso ada salah satu di antara mereka dan ia perternak yang ulung. Kambing, domba, sapi, dan kerbau tersedia di lapaknya. Ini momen yang tepat.

“Pak, ada Tirex?” Tanya seorang Ibu dengan anak laki-lakinya. Anak itu melotot.

“Wah, nggak ada, Bu! Saya adanya korek.” Ucap Pak Karso seraya menawarkan korek api.

“Arrrgh.”

Suara anak itu keras.

“Eh, anaknya kenapa, Bu?” Kaget Pak Karso. Anak itu tambah melotot.

“Bukan, bukan anak saya.”

Ibu itu mengelak. Lalu, pergi menjauh secepat-cepatnya.

Memang seperti itu permintaan dari konsumen yang aneh-aneh. Dirinya sebagai peternak, sudah biasa dengan hal itu. Bahkan, ada yang meminta untuk dinikahi. Padahal Pak Karso sudah berkeluarga. Sudah hidup rukun. Tapi, malah masih ada aja yang menggoda. Ngajak nikah. Dan yang lebih anu lagi, yang ngajak nikah ternyata sama-sama cowok. Idih. Mana mau Pak Karso. Gila aja!

Baca Juga: Onthel

Pada Idhul Adha kali ini adalah momen yang tepat baginya untuk pemasaran hewan-hewan ternaknya untuk dijual. Hewannya laku banyak. Untungnya lumayan. Bisalah buat naik haji. Tukang kambing naik haji. Naik haji pakai kambing. Haji Karso. Haji Karso mirip kambing. Embe.

“Pak, kambingnya berapaan?” Tanya seorang Bapak.

“3 juta, Pak.”

“Nggak bisa kurang?”

Setelah terjadi tawar menawar panjang, akhirnya disepakati di harga 3 juta dan langsung diantar ke lokasi Sang Pembeli untuk diqurban besok.

Baca Juga: Luka

Sesampainya di rumah, kambing itu disambut suka cita oleh penghuni rumah. Mereka teriak-teriak, sujud syukur, goyang dombret, dan ekspresi senang lainnya. Kambing itu dielus-elus. Difoto-foto. Pada norak. Idih. Pak Kusman yang kesehariannya menarik becak membutuhkan puluhan tahun untuk bisa mewujudkan mimpinya berqurban. Dan kini terwujudkan, seekor kambing sehat, gemuk, berwarna hitam, dan bertanduk tujuh. Kecil-kecil. Seharga 3 juta.

“Kok, kambingnya diam aja, ya? Nggak ada embe-embenya?” Bingungnya saat memperhatikan kambing itu lama-lama.

“Sariawan kali, Pak?” Celetuk Sang Istri.

“Nggak mungkinlah.”

“Mungkin lapar?” Timpalnya lagi.

Baca Juga: Temaram

“Kan tadi udah dikasih makan.”

“Atau mungkin mules. Bapak aja kalo mules pasti diam!”

“Iya juga kali, ya?”

Pak Kasman mengiyakan pendapat Istrinya. Ia cek kambing itu, terutama pada pantatnya. Bol. Dilihat-lihat. Diendus-endus. Dan,

“Brooot.”

Bol-nya meledak. Mencret. Muka Pak Kasman On Target.

“Idiiih.” Bu Kasman terjijik-jijik, juga terpingkal-pingkal.

Pak Kasman pun pergi membersihkan dirinya, terutama wajahnya. Kambing sialan!

Saat Pak Kasman beranjak, Bu Kasman yang mengambil alih kambing itu. Ia lihat-lihat.  Ia endus-endus.

“Iya ya, kok kambingnya diam aja. Hai kambing, mengembiklah!” Perintahnya seraya mendorong kambing tersebut.

“Arrrgh.”

“Weh! Pak…Pak…Kambing kita kesurupan!”

 

***

 

Baca Juga: Teras

“Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. La Ilaha Illahu Allahu Akbar. Allahu Akbar Walillahil Hamd.”

Pagi yang cerah. Pelaksanaan sholat Ied telah selesai. Para jama’ah mengikuti dengan tertib.  Mulai dari wudhu, sholat, dan mendengarkan khutbah. Semua berjalan dengan tertib. Pada saat keluar Masjid untuk pulang,

“Woi, sendal saya mana?”

“Siapa yang nemu New Era no.41?”

Swallow ijo hilang sebelah, Nih!”

Baca Juga: Evolusi

“Kaki gua malah hilang!”

“Lu, kan, emang buntung!” Timpal sebelahnya.

“Oh, iya, lupa.”

Begitulah kira-kira, ramai dan seru. Mirip-mirip pasar dadakan. Bahkan, juga Smack Down dadakan. Si Buntung cuma nonton seraya berdo’a, semoga ada temannya. Ada yang seperti dirinya. Ikut buntung. Parah, Si Buntung!

Kegiatan qurban pun dilaksanakan. Dari Masjid ke Masjid, Rt ke Rt, hingga rumah ke rumah mengadakan qurban. Begitu juga dengan rumah Pak Kasman dan Bu Kasman. Mereka nggak sabar. Nggak sabar terlepas dari bahaya yang mengintai. Terlepas dari kutukan. Lalu, matilah kambing itu.

“Alhamdulillah.”

            Kambing itu dikuliti, dipotong, dan dibagi-bagi.

Di Hari Idhul Adha, semarak akan kebahagiaan dan kebersamaan. Semua daging qurban terbagi rata untuk yang berhak. Kambing, domba, sapi, kerbau. Kampung itu mabok daging.

“Kita nggak dapat daging tirex, Bu?”

“Nak, jangan mulai-mulai!” Ucap Sang Ibu seraya ancang-ancang.

Para warga kampung itu mulai merancang macam-macam agenda dengan melimpahnya daging qurban. Seperti nyate, contohnya. Memang, hikmah berqurban salah satunya adalah agar semua orang bisa merasakan makan daging. Meskipun dari daging kambing sial Keluarga Kasman. Habis. Tak tersisa.

Pagi, siang, sore, dan malam kampung itu ngebul. Asap dari bakaran sate ataupun masakan daging lainnya memenuhi angkasa. Aroma harum menyapa bulu-bulu hidung sebesar jarum. Lalu, memaksa perut untuk lapar. Berbeda dengan warga yang lain, rumah Pak Bakri sangat ngebul. Bagaimana tidak, ia bakar sate se-rumahnya. Satenya matang. Rumanya jadi arang.

Esoknya.

50 dari 52 rumah di kampung itu mengalami kesurupan. Semua penyebab kesurupan itu disinyalir karena daging qurban Keluarga Kasman. Mereka bisa berpendapat seperti itu karena hanya keluarganya dan keluarga pojok sawah yang tidak kesurupan. Keluarga Kasman memang tidak boleh makan daging qurbannya sendiri.  Untuk keluarga pojok sawah, memang tidak suka daging kambing. Terutama Sang Anak. Hanya suka daging tirex.

Kampung menjadi heboh. Semua warga menjadi zombie. 2 keluarga itu dalam bahaya. Hingga, dengan penuh kebencian dan amarah, para zombie itu mengepung rumah Keluarga Kasman. Benar-benar diluar kendali. Benar-benar diluar nalar. Rumah Keluarga Kasman rubuh. Hancur berkeping-keping. Lalu, mereka makan. Juga pintu, kulkas, tv, mesin cuci, dinamo mobil, kandang ayam, kompor, tabung gas, bahkan juga WC. Saking amarahnya.

Keluarga Kasman melarikan diri dan menetap di rumah pojok sawah. 2 keluarga itu dalam satu atap. 2 keluarga itu dalam bahaya. Dan sekejap saja rumah itu dikepung para zombie ganas, juga lapar. Mereka menutup mata. Membaca do’a-do’a yang dibisa. Entah sekencang apa degup jantung mereka.

Apakah mereka akan mati? Takdir berkata lain. Anak laki-laki rumah pojok sawah itu tergugah. Badannya bergetar. Ia berubah. The Power Full of Tirex. Pintu ia dobrak keluar.

“Arrrgh.”

Ia benar-benar menjadi tirex.

Ratusan zombie haus dendam itu ia lawan tanpa ampun. Ia bantai, banting, tendang, pukul, smack down, fatality, dan baku hantam lainnya. Ia tergigit. Ia gigit balik. Ia tidak takut sama sekali. Mereka semua tidak berdaya. Meskipun mereka ratusan, ya tetap saja kambing. Tidak ada apa-apanya dengan tirex. Matilah mereka.

Keluarga itu terselamatkan.

Dengan bergelinang air mata, di tengah hamparan mayat-mayat, Sang Ibu memeluk anaknya dengan haru.

“Ibu bangga, Nak.” Seraya mencium kening anaknya. Sang Ayah ikut memeluk. Keluarga itu berpelukan. Keluarga Kasman juga berterimakasih. Semua ini tak bisa disalahkan pada Keluarga Kasman. Ia tidak tau menau. Lalu, siapa yang berhak disalahkan?

 

***

 

About Post Author

Aqna Mumtaz Ilmi Ahbati

Penulis Baik Hati, Tidak Sombong, dan Rajin Menabung*
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
100 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

One thought on “Banjir Darah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like