Bapak H. Taufiq Hidayat, S. Ag.: Sepenggal Kisah Dari Kepala Madrasah.
Dalam rangka menyemarakan Haul ke-12 Almarhum Almaghfurlah KH Imam Yahya Mahrus, Tim Redaksi Elmahrusy mendatangi narasumber dan melakukan wawancara dengan para santri terdahulu itu guna mengulik sepenggal kisah pengalamannya dengan Yai Imam. Dari sekian banyaknya narasumber yang kami datangi, salah satunya adalah Bapak H. Taufiq Hidayat, S.Ag. selaku Kepala Madrasah Aliyah HM Al-Mahrusiyah.
Berikut wawancaranya:
- Sejak kapan panjenengan masuk di Al-Mahrusiyah?
Kalau pertanyaannya Al-Mahrusiyah, Al-Mahrusiyah kan dulu namanya HM Tri Bakti. Saya mulai masuk itu di Mts HM Tri Bakti di tahun 1994. Gedung sekolahnya masih jadi satu dengan kampus yang sekarang Universitas Islam Tri Bakti. Kalau nama Al-Mahrusiyah itu ada kan baru di tahun 2003. Sebenarnya hanya pergantian nama saja, dari HM Tri Bakti menjadi Al-mahrusiyah
- Yai Imam di mata panjenengan?
Mbah Yai tuh orang hebat menurut saya. Hebat luar biasa, baik luar maupun dalam. Jasmaniahnya itu kuat, kalau orang jawa bilang itu roso. Hatinya pun juga kuat, terutama dalam istiqomah membimbing istighotsah. Jadi bagi saya, Yai Imam itu bukan hanya sebagai guru, tapi juga sebagai bapak. Seringkali membimbing saya dalam mengarungi kehidupan ini, sehingga sampai saat ini saya masih bisa berkiprah di Kota Kediri. Itu merupakan sababiyah beliau, beliau yang selalu membimbing, beliau yang selalu mengingatkan saya sampai hal-hal yang berkaitan dengan keluarga saja beliau selalu mengingatkan: cara membimbing istri, cara mendidik anak, beliau selalu mengingatkan.
Dan beliau itu juga termasuk figure yang menyenangkan. Senang bercanda. Satu contoh begini, waktu itu beliau pernah punya Buah Zaitun yang ditaruh di toples. “Hei Pik, ma’em.” Kata Beliau. Dan yang namanya santri kan pasti ada rasa sungkan. Akhirnya beliau buka toples itu, beliau makan buahnya. Dengan ekspresi yang menggugah selara, beliau bilang, “hm, enak. Enak.” Saya kan belum tau rasanya karena memang belum pernah makan. Pas saya coba makan, Ya Allah rasanya sepet, kecut, nggak enak. Beliau sangat suka bercanda, dan ketika pulang saya masih sempat tertawa-tawa karena itu.
Juga dulu, di kampus, saya pernah punya mobil sedan ford besar. Dan sedangkan kalau saya nyetir kan nggak kelihatan karena memang mobilnya yang besar. Hingga saya dikatain oleh teman saya, “ada mobil berjalan sendiri.” Dan Mbah Yai sambil tertawa, bilang, “kurang gede iku mobile!”
Ya itulah beliau, sampai saat ini saya masih suka terkesan dengan beliau.
- Bagaimana perhatian Yai Imam terhadap pendidikan?
Ya Allah, beliau nih sangat luar biasa. Kalau bahasa kampusnya, seorang visioner, punya pemikiran jauh ke depan. Jadi beliau menginginkan adanya lembaga pendidikan, tidak hanya Madrasah Tsanawiyah ataupun Aliyah, kalau bisa sampai perguruan tinggi. Itu salah satu contoh yang formal. Beliau tidak hanya menginginkan santri-santrinya itu pintar agama, tapi juga seorang intelektual. Beliau benar-benar visioner, bagaimana caranya mencetak santri yang luar biasa, santri yang sempurna. Agamanya, iya. Umumnya, iya. Organisasinya, iya. Istighotsahnya juga, iya.
- Hal yang paling berkesan dengan Yai Imam?
Paling berkesan itu disaat beliau mendidik saya akidah. Saya kan dulu juga mengajar di SMK Brawijaya dan beberapa sekolah lainnya, jadi guru agama. tapi oleh beliau saya disuruh keluar dan cukup mengajar di Mts (Al-Mahrusiyah) saja, ikut saya (Yai Imam). Dan beliau mengajaknya dengan bahasa yang enak, “mangan-mangan! Urip-urip!” (Ungkapan agar tidak perlu khawatir rezeki). Sampai saat ini saya terkesan bahwasanya hidup di dunia ini memohon pertolongan Allah, terutama juga bimbingan dari seorang guru. Karena beliau itu, akhirnya saya yakin, saya keluar. Saya hanya mengajar di Mts, dari 1994 sampai 2002. Kantornya di timur, yang sekarang jadi perpustakaan. Dulu masih berupak gedek, masih pakai triplek. Dan saya masih menjabat sebagai WaKa Kesiswaan dan ketika itu kepalanya adalah Almarhum Bapak Nurhadi.
Itu yang menurut saya paling berkesan, bagaimana beliau membimbing saya dalam kehidupan.
Kedua, beliau itu mudah memaafkan. Tidak pernah dendam pada orang. Walaupun marahnya bukan main, tapi beliau mudah memaafkan. Satu contoh, jangan kira saya tidak pernah dimarahi. Beliau kalau marah, ya benar-benar marah. Tapi besoknya saya dipanggil, ya sudah. Seperti tidak terjadi apa-apa. Malahan saya dikasih rokok. Beliau sering kali seperti itu (memberi rokok), kalau beliau sedang ada rezeki kadang saya disangoni, ya 50 yang pada saat itu merupakan nominal sudah cukup besar. Yai tuh seperi itu, mudah memaafkan. Sedangkan kita sangat berbeda dengan beliau, kalau sudah marah bisa nggak hilang-hilang. Maka dari itu saya berusaha meniru Mbah Yai, meniru agar mudah memaafkan orang lain.
Contoh lain juga, saya pernah dipanggil Yai saat saya masih menjadi mahasiswa. Waktu itu saya aktif di organisasi PMII. Beliau memarahi saya, “pilih PMII atau Tri Bakti?” Saya nggak jawab, saya diam saja. Besoknya saya dipanggil dan biasa kembali, saya teringat waktu itu diberi rokok satu batang. Itulah Mbah Yai, sangat mudah memaafkan. Dan dengan begitu, lupa saja, seperti tidak terjadi apa-apa. Walau marah bagaimanapun, besoknya ya sudah biasa lagi. Ngobrol lagi. Kadang beliau datang ke madrasah ngobrol sama beliau tentang pendidikan, bagaimana yang terbaik. Padahal kemarin habis dimarahi habis-habisan. Masya Allah Yai, sangat mudah memaafkan.
- Pesan Yai Imam yang paling teringat sampai sekarang?
Sampai sekarang, hanya satu pesan yang paling dan masih saya ingat, “urip kadang-kadang enak, kadang-kadang nggak enak. Kadang-kadang susah, kadang-kadang mudah.” Ya, kita maknai sendirilah. Itu yang paling teringat, bagaimana beliau selalu menasehati saya tentang kehidupan.
Juga tentang Yai dalam mengajarkan keberanian pada santrinya. “Ojo wedi urip!” Beliau tidak mengedepankan materi, tapi langsung praktek. Kerap kali saya diutus untuk menghadiri acara, seperti menjadi sekretaris cabang PWNU. Beliau seperti itu, yang penting tandang dulu. Tidak perlu takut.
- Bagaimana sejarah Yai Imam dalam mendirikan lembaga formal dan cerita panjenengan sampai bisa menjadi kepala sekolah MA?
Untuk sejarah berdirinya lembaga ini, saya tidak begitu tau. Saya kan tidak pernah mondok di sini dan datang ke sini langsung mengajar. Sehingga saya tidak mengetahui dengan pasti. Saya dulu itu di pondok induk, kamar P 10 dekat kamar Pekalongan. Lalu, lanjut kuliah. Mungkin untuk lebih tau jelas sejarahnya bisa tanya Pak Halim ataupun Pak Bustanul Arifin, karena memang beliau adalah orang-orang yang mengiringi perkembangan berdirinya.
Sedangkan untuk menjadi Kepala Sekolah MA, awalnya itu di tahun 2003. Pokoknya saya dipanggil dan didawuhi oleh beliau, “sesok awakmu jadi Kepala MA.” Saya nggeh saja. Dan di tahun 2003, saya menjadi kepala sekolah. Lalu, setelah saya itu diteruskan oleh Pak Bustanul Arifin dan kembali diteruskan saya, sampai sekarang.