Belajar Tawadhu’ dari Gus Sholeh Lirboyo
“Jadilah seperti padi, semakin berisi semakin membumi.”
Pepatah ini cocok untuk menggambarkan Gus Sholeh, seorang kiai dengan ilmu yang tinggi, tapi tetap rendah hati.
Suatu ketika di tahun 2022 Gus Sholeh Ngaji Kitab Fathul Wahab, kitab dua jilid yang hanya dikaji oleh santri-santri kelas tinggi. Nah ketika hendak khataman, sekirannya kurang satu paragraf, beliau berhenti membaca, kemudian beranjak dari serambi mushola HM dan menuju Ndalemnya Buya Kafa, ternyata Gus Sholeh ‘ngaturi’ Buya Kafa untuk menghatamkan Kitabnya. Maka sengaja tadi menyisakan satu paragraf. Hal itu tentu mengherankan kami, sebenarnya sah-sah saja dan tidak berdosa bila Gus Sholeh yang menghatamkan, apalagi begitu lama beliau ngaji. Tapi Gus sholeh malah meminta Buya Kafa yang menghatamkan sekaligus yang mengijazahkan.
Hal sama juga terjadi, Kemarin (09/04) Ketika teman-teman sudah semangat menunggu moment khataman Kitab Shohih Muslim, Gus Sholeh berhenti dan beranjak dari ndalem tanpa meninggalkan sepatah kata-kata kepada kami, lantas kami menunggu, karena ngajinya belum didoakan dan belum diijazahi. Benar saja, tidak lama berselang Gus Sholeh datang dan membonceng Buya Kafa, lalu Buya memberi do’a dan Ijazah kepada kami.
Dari dua kejadian di atas seolah memeberi kesan, sebagai menantu, Gus Sholeh menganggap bahwa santri-santri yang mengaji bersamanya sejatinya adalah santrinya Buya Kafa sebagai mertua. Gus Sholeh menganggap sebagai perantara, sebagai kepanjangan tangan bahwa lisensi yang beliau ngajikan sejatinya milik Buya Kafa. Buktinya ya ketika khataman di atas.
Jadi tidak serta merta menganggap apalagi merasa kalau santri-santri yang mengaji adalah santri Gus Sholeh sendiri. Meskipun boleh-boleh saja menganggap demikian. Lelaku Gus Sholeh ini juga menjadi alarm bagi santri-santri apabila kelak di ‘pek’ mantu Kiai dan dipasrahi ngaji oleh sang mertua, maka santri-santri itu lisensinya milik mertua.
Ketawadhu’an Gus Sholeh juga tercermin lagi, dalam keseharian baju beliau selalu berbaju putih dan berpeci hitam, meskipun sangat mampu membeli yang lebih mewah, atau kalau mau malah buka toko baju sendiri. Beliau meskipun punya usaha-usaha omset jutaan yang dikelola oleh kang-kang Ndalem, Gus Sholeh memblender juz buah sendiri untuk dijual, barangkali beliau mengamalkan hadits ketika sahabat bertanya apa pekerjaan terbaik dan Nabi Menjawab, “Amalu rojul biyadihi” (Pekerjaan seorang lelaki dengan tangannya sendiri).
Ndalem beliau itu terhitung mewah, namun beliau memiliki ruangan sendiri dari triplek dan kayu-kayuan reot untuk mutholaah. Padahal usaha loundry beliau terdesain kekinian. Mungkin selain Tawadhu’, gelar zuhud juga pantas disandang beliau, kaya tapi tak sampai cinta dunia, berilmu tinggi tapi tak lupa diri. Mengajari kepada santri untuk seperti bintang yang terlihat di dalam kolam, kelihatan rendah padahal tinggi. Bukan seperti asap di angkasa, kelihatan tinggi tapi tidak berisi.
Kalau Mbah Yai Anwar pernah mengatakan jika ingin melihat sosok Mbah Yai Abdul Karim bisa dilihat pada sosok Mbah Yai Habibullah Zaini, maka saya berasumsi, ‘Jika ingin melihat sosok Yai Habibullah Zaini maka bisa melihat dalam diri Gus Sholeh. Sekian semoga beliau-beliau diberikan umur panjang Aamiin.