Pondok Pesantren Lirboyo merupakan salah satu dari sekian pondok pesantren yang berperan penting terhadap Pendidikan di Indonesia. Pondok yang berdiri sejak 1910 ini telah melahirkan banyak cendekiawan yang melanjutkan estafet dakwah dengan konsisten hingga kini. Dengan tetap berpegang teguh pada ajaran ahlussunah wal jama’ah dan dengan sistem salafnya berupa pengajaran kitab kuning karya ulama, Pondok Pesantren Lirboyo terus mengalami perkembangan yang berarti dengan hadirnya pondok-pondok unit di segala karakteristiknya, formal-non formal. Hingga, tidak heran jika sekarang Pondok Pesantren Lirboyo telah diisi oleh 50 ribu santri dari segala penjuru negeri, tidak mengecualiakan santri dari luar negeri.
Ini semua tidak terlepas dari peran Sang Muassis, KH. Abdul Karim. Dengan segala usaha dan kemanfaatan ilmu berserta barokah beliau, Pondok Pesantren Lirboyo bisa seperti sekarang. Untuk itu, inilah biografi singkat yang semoga dengan lantaran ini kita bisa mengambil ibrah darinya.
Lahir
Beliau bernama asli Manab, lahir di Magelang pada tahun 1856. Beliau putra ketiga dari empat bersaudara anak pasangan Abdur Rohim dan Salamah. Kedua kakaknya juga laki-laki. Yang pertama bernama Aliman yang kelak bermukim di Jatipelem, Diwek, Jombang. Yang kedua bernama Mu’min. setelah mengembara, dia tetap tinggal di Jagan, Magelang, bersama adik Manab yang bernama Armiyah. Adik manab tersebut di kemudian hari lebih dikenal dengan Mbok Miyo.
Terlahir dari keluarga seorang anak petani, membuat beliau hidup dalam kesederhanaan. Tapi bagaimanapun, menjadi seorang petani yang hidup di bawah terkaman penjajahan, penghasilan yang diperoleh tidak serta merta cukup dalam menghidupi keluarga yang diisi oleh 6 orang. Hingga akhirnya, selain menjadi petani, Abdur Rohim memilih menjadi seorang pedagang di Pasar Muntilan yang terletak 10 km arah tenggara Magelang. Sepulangnya dari pasar di tengah siang, Abdur Rahim menuju ke sawah untuk bertani. Hingga, wafatnya.
Dengan menimbang perlunya sosok kepala keluarga untuk anak-anaknya yang masih kecil, beberapa tahun kemudian Ny. Salamah menikah lagi yang melahirkan seorang putra yang Bernama Muji dan dua orang putri yang Bernama Isnaini dan Siyem.
Masa Belajar
Perjalanan pengembaraan Manab muda yang ketika itu baru berumur 14 tahun bermula dari ajakan kakaknya, Aliman, yang telah pulang merantau ke Magelang. Setelah membukan obrolan dan menyampaikan maksud, izin itu diberikan. Berangkatlah Manab dan kakaknya meninggalkan kampung halaman untuk tholabul ilmi ke Jawa Timur.
Sampailah mereka di sebuah dusun di Gurah Kediri. Namanya Babadan. Di dusun inilah, mereka menemukan surau yang diasuh oleh seorang kiai. Juga di tempat yang amat sederhana ini, Manab mulai nyantri, dengan memelajari ilmu-ilmu dasar, seperti ilmu amaliah sehari-hari.
Setelah dirasa cukup singggah di Babadan ini, mereka meneruskan pengembaraannya. Mereka pindah di sebuah pesantren yang terletak di Cempoko, 20 km sebelah selatan Nganjuk. Menurut sebuah riwayat, Manab cukup lama belajar sekaligus bekerja di pesantren ini. Kurang lebih 6 tahun. Kemudian, mereka pindah lagi ke Pesantren Trayang, Bangsri, Kertosono. Di pesantren ini, Manab memerdalam Al-Qur’an dengan baik.
Kian beranjak dewasa, mereka sampai di daerah Sidoarjo. Tepatnya Sono, sebuah pesantren yang terkenal ilmu sharafnya. Cukup lama Manab mondok di Pesantren Sono. Hampir tujuh tahun. Di sini, Manab sudah tidak bekerja lagi. Seluruh kebutuhannya ditanggung oleh kakaknya. Sang Kakak merasa sayang jika waktu Manab tersita untuk bekerja karena Manab cukup rajin mengaji. Dalam waktu singkat, kitab-kitab dasar nahwu Sharaf telah dikuasai dengan baik. Sebagai ungkapan terima kasihnya kepada sang kakak, Manab bertambah semangat dalam belajar.
Hingga, sampailah Manab di Madura, di pondok pesantrennya Syaikhona Kholil Bangkalan. Sesampainya di Madura yang panas dan gersang itu, semangat Manab kian terbakar. Udara Madura yang menyengat itu kian menambah hausnya ilmu Syaikhona Kholil yang sangat alim hampir dalam semua cabang ilmu, baik fiqih, tafsir, hadits, maupun tasawuf.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Manab beserta seorang sahabatnya, Abdulloh Faqih dari Cemara, Banyuwangi, berangkat ke daerah sekitar Banyuwangi dan Jember untuk ikut mengetam padi. Namun, setelah bersusah payah melakukan perjalanan yang cukup jauh, Syaikhona Kholil menghendaki padi hasil kerja Manab itu untuk makanan ternaknya. “Peneran Nab, tak nggone pakan pitikku,” kata Syaikhona Kholil. Rupanya, Syaikhona Kholil tidak mengizinkan Manab bekerja. Sebagai gantinya, ia disuruh memetik daun pace yang tumbuh di sekitar pondok untuk makanan sehari-hari. Tanpa sedikitpun ada gurat dan besit kecewa, Manab tetap menjalani memakan daun pace rebusnya itu dengan tabah.
Karena ketabahan Manab yang mengagumkan inilah pernah terjadi hal yang cukup tragis. Di bulan suci Ramadhan, kala Manab sedang mengikuti pengajian Tafsir Jalalain, dia jatuh pingsan. Mengapa itu sampai terjadi pada Manab? Semula dikira hanya kepanasan lantaran panas matahari waktu itu memang begitu menyengat Manab yang tidak mendapatkan tempat yang teduh karena sedikit terlambat.
Dalam berpakaian pun keprihatinan Manab yang membuat orang lain trenyuh. Dia hanya mempunyai sepotong pakaian yang melekat pada tubuhnya. Kalau pakaian satu-satunya itu dicuci, terpaksa ia harus menunggu kering dengan berendam dalam air. Anehnya, justru saat berendam itulah Manab menghafal Alfiyah.
Waktu terus bergulir, hari ke hari, bulan ke bulan, dan tahun ke tahun. Tidak terasa sudah hampir 23 tahun Manab bermukim di Madura. Figur seorang kiai sudah terlihat dari darinya yang begitu alim. Hingga, tak jarang Manab menjadi sumber rujukan bertanya, minta pendapat, bahkan tempat berguru. Sampai pada akhirnya, ucapan Syaikhona Kholil mengakhiri masa mondoknya di Madura: Manab harus pulang.
“Nab, baliya… Ilmuku wes entek.”
Ternyata kepatuhan dan keikhlasan itu berbuah juga. Sesampainya di Jawa, Kiai Manab mendengar bahwa salah seorang sahabatnya kala mondok di Madura, yakni Kiai Hasyim Asy’ari telah tiga tahun membina sebuah pesantren di Tebuireng, Jombang. Kiai Manab yang belum lama pulang dari Bangkalan rupanya tertarik untuk singgah di pesantren yang diasuh oleh rekan satu almamater yang ahli dalam ilmu hadist tersebut.
Menikah
Setelah kurang lebih 5 tahun Kiai Manab nyantri di Tebuireng, belum juga beliau berhasrat melepas masa lajangnya. Padahal, usia beliau sudah melebihi pantas untuk berkeluarga. Mungkin saking asyiknya menuntut ilmu. Tapi, tidak begitu lama dan tanpa diduga-duga, datanglah seorang kiai dari Pare, Kediri, mengajukan lamaran kepada Kiai Hasyim. Tapi, dengan halus, lamaran itu ditolak sebab diam-diam beliau ingin menjodohkan Kiai Manab dengan salah seorang putri kerabatnya, yakni Kiai Sholeh dari Banjarmlati, Kediri.
Mungkin karena khawatir didahului orang lain, Kiai Hasyim lantas segera mengutus Agus Ahmad, salah seorang santri yang juga ipar beliau dan masih keponaka Kiai Sholeh, untuk sowan ke Banjarmlati. Tujuannya, meminta keterangan apakah Kiai Sholeh masih mempunyai anak gadis yang belum menikah.
Ternyata jawaban dari Banjarmlati cukup memuaskan Kiai Hasyim. Dengan Kiai Sholeh yang malah berniat sowan ke Tebuireng untuk melihat langsung calon menantunya, 8 Shofar 1328 H/1908 pernikahan itu digelar. Istrinya, Khodijah binti Kiai Sholeh yang kala itu berumur 15 tahun bersanding dengan Kiai Manab yang telah menginjak umur 50 tahun. Sungguh pasangan yang jauh dari kata serasi. Namun, berkat restu orang tua dan guru, cinta suci bersemi kembali pula. Maka, berbahagialah mereka.
Tapi, kebahagiaan itu tidak pernah mengahadiri kemeriahan layaknya sebuah pesta pernikahan sebab pernikahan itu hanya dilangsungkan secara sederhana, ikhtifaan. Kiai Manab hanya diantar oleh rekan-rekannya yang berjumlah 12 orang. Di antaranya, ialah Kiai Abas dan kakaknya, Kiai Anas dari Buntet Cirebon, dan Gus Ahmad tentunya. Bahkan, begitu sederhananya pernikahan itu, keluarga Kiai Manab di Magelang tidak mengetahuinya.
Setelah satu tahun, rumah tangga Kiai Manab kian bertambah mesra dan hangat dengan kehadiran putri pertama beliau yang diberi nama Hannah pada tahun 1909. hingga, beliau membangun rumah di Kelurahan Lirboyo hasil membeli tanah dari salah seorang warga, berkat usul dan ’paksaan’ Ki Lurah karena bobroknya masyarakat serta seramnya daerah tersebut. Rumah gubuk itu berdiri di tanah seluas 1.785 m2 .
Sampai di Lirboyo, Kiai Manab ditinggal sendirian. Dibekali nasi satu bakul kecil, sayur satu mangkok, tikar, dan lampu. Baru dua hari berikutnya istri beliau, Nyai Khodijah, menyusul ke Lirboyo. Tidak lazimnya pindah rumah, beliau hanya membawa sedikit beras, kayu bakar, dan seekor ayam blorok.
Kehadiran Kiai Manab rupanya tidak disukai oleh penduduk sekitar. Waktu itu masih berjumlah 41 kepala keluarga. Mereka yang menjadi perusuh, maling, atau perampok merasa terusik dengan kehadiran beliau. Tak ayal, segala bentuk teror, baik pada siang maupun malam, sering beliau terima agar tidak beta di Lirboyo. Tapi, dengan tabah semua itu beliau hadapi satu per satu dengan terus bertabligh, amar ma’ruf nahi munkar. Bahkan, bukan hanya itu, Kiai Manab pun melakukan usaha batin, riyadhah (tirakat), berpuasa, memohon pertolongan Allah Swt. Sebab, bukan hanya mereka saja yang mengganggu beliau, tapi juga para makhluk seperti jin jahat. Maklum, Lirboyo memang terkenal wingit. Bahkan, sampai sekarang, keangkeran itu masih terasa.
Masa Mengajar
Upaya Kiai Manab menyadarkan masyarakat Lirboyo lambat laun menampakkan hasil. Banyak penduduk yang mulai insyaf setelah mendapat wejangan dari beliau. Bahkan selang tidak begitu lama, Kiai Manab mampu membangun sarana peribadatan sederhana, yaitu sebuah Langar Angkring. Tiga tahun kemudian bangunan itu disempurnakan menjadi masjid. Tepatnya pada tahun 1913 M.
Dengan terwujudnya masjid ini, keberhasilan dakwah Kiai Manab semakin nyata. Fungsi masjid pun kian berkembang. Bukan sekedar tempat ibadah, tapi juga sebagai sarana pendidikan, tempat memberi mau’idhah, dan pengajian. Waktu itu, mulai banyak masyarakat yang berguru kepada Kiai Manab. Bahkan, sudah ada juga santri yang datang ke Lirboyo untuk menuntut ilmu, yakni seorang santri dari Madiun bernama Umar. Inilah santri pertama yang menjadi cikal bakal keluarga Pondok Pesantren Lirboyo yang dirintis dari bawah oleh Kiai Manab sebagai pendirinya.
Satu dasawarsa lebih setelah Kiai Manab mengembangkan pesantrennya, banyak kemajuan yang dicapai. Jumlah santri semakin banyak. Berdatangan dari berbagai penjuru. Menurut sebuah Riwayat, setelah Kiai Manab merintis pesantren, Syaikhona Kholil Bangkalan tidak mau menerima santri lagi. Setiap santri yang datang kepada beliau dianjurkan untuk berguru kepada Kiai Manab.
Tentu saja, jumlah santri yang semakin membengkak membutuhkan pemukiman yang memadai. Dan dengan segalla keikhlasan, Kiai Manab merelakan sebagian tanahnya untuk dihuni para santri. Begitulah pemimpin sejati, selalu mendahulukan orang lain atas diri sendiri. Setelah kebutuhan santri terpenuhi, Kiai Manab berkeinginan menunaikan ibadah haji.
Sedari kabar yang mengejutkan, bahwa Pemda Kediri ingin memberi sebidang tanah di selatan masjid, uang itu dirundingkan dengan istrinya untuk digunakan berangkat haji. Lagi-lagi, dengan kabar yang menyebar bahwa Kiai Manab akan berangkat haji, para tamu berdatangan untuk hormat dan menghaturkan selamat uang-uang hibah pemberian tamu itu terkumpul. Sangat amat cukup untuk nominal uang hibah, dengan kenyataannya bahwa Pemda Kediri tidak jadi membeli dan tanah itu tidak jadi terjual. Beliau menunaikan ibadah haji. Sejak saat itu, sepulangnya dari tanah suci, nama beliau berubah menjadi KH. Abdul Karim.
Salah satu tugas kiai adalah harus mampu mempersiapkan alih generasi. Demikian pula dengan KH. Abdul Karim. Setelah berjama’ah subuh, beliau selalu memberikan pengajian khusus kepada anak cucu beliau. Pengajian yang tentunya lebih ketat, yakni dengan sistem sorogan, beliau sampaikan hingga sekitar pukul 07.30 WIB.
Berapa tahun kemudian, beliau bahkan menambah waktu hingga siang hari, KH. Abdul Karim sangat telaten dalam memberikan pelajaran. Beliau memberikan pelajarann dasar, misalnya membaca Al-Qur’an, tajwid, aqoid 50, tashrif, dan sebagainya. Itu semua diajarkan sebelum pelajaran yang lebih tinggi. Sebagai tuntunan hidup, beliau selalu memberikan mauidhoh hasanah yang beliau sampaikan dengan lemah lembut seperti layaknya dalam percakapan sehari-hari.
Hari-hari beliau pun tak lupa untuk mengajari para santri dalam mengaji, disertai dengan dzikiran-dzikiran, dan perjuangan dalam menumpas penjajahan yang masih berlaku saat itu. Semua itu beliau lakukan dengan sepenuh jiwa, hingga berbagai kejadian-kejadian tidak bisa dijelaskan secara utuh, begitu mengena.
Wafat
”Aku do’akno mati iman lan diakoni santrine Kiai Kholil sebab olehku golek ilmu awit durung baligh.”
Itulah salah satu permintaan KH. Abdul Karim, di ramadhan yang kesekian.
Hari-hari suci di bulan ramadhan 1374 H terlewati satu per satu penuh dengan curahan Rahmat dan maghfirah (ampunan) bagi umat manusia yang menyambutnya dengan keceriaan ibadah. Demikian pula dengan santri-santri Lirboyo. Di balik itu, tersimpan kedukaan yang dalam di benak mereka. Sudah setengah bulan lebih puasa berlalu, sakit KH. Abdul Karim tak kunjung sembuh, bahkan semakin berat. Walau kondisi KH. Abdul Karim tak kunjung sembuh, bahkan semakin berat. Walau kondisi KH. Abdul Karim sudah cukup kritis dan mendekati koma, beliau masih tetap sadar.
Beliau selalu menanyakan hari-hari yang terlewati kepada sanak keluarga yaang setia menunggui. Bila bukan hari senin, segera beliau panjatkan doa agar Allah SWT. tidak memanggil beliau pada hari itu. tapi, jika hari senin, sontak ada kebahagiaan yang terpancar dari wajah beliau. Dengan suara lirih, beliau berdoa semoga Allah SWT. memanggil beliau pada hari itu juga.
Begitulah saat-saat menjelang akhir hayat, KH. Abdul Karim sangat mendambakan bisa meninggalkan di hari senin seperti kematian Rasulullah Saw. Rupanya, Allah SWT. mengabulkan doa beliau. Inna lillahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Pada hari senin ketiga di bulan suci itu, bertepatan dengan tanggal 21 ramadhan 1374 H, sekitar pukul 13.30, beliau dipanggil Yang Maha Kuasa dalam suasana yang tenang di hadapan keluarga dan santri.
Awan kedukaan begitu kelabu menyelimuti senin itu. perlahan-lahan air mata pun menetes di bumi Lirboyo. Tamu-tamu berdatangan dari berbagai penjuru, bertakziah, dan memberikan penghormatan terakhir. Semakin sore pelayat semakin membanjir. Pemakaman terpaksa ditunda mengingat jumlah pelayat yang tak terkira.
Baru pukul 22.00 jenazah beliau dikebumikan di makam keluarga di sebelah barat masjid Lirboyo. Jenazah yang sedari siang disemayamkan di masjid dipindah dulu di kediaman beliau untuk memberikan kesempatan pada ahli bait menghaturkan penghormatan yang terakhir. Di liang lahat jenazah beliau disambut oleh kedua menantu beliau, Kiai Marzuqi Dahlan dan Kiai Mahrus Aly, dengan dibantu cucunda Agus Ahmad Hafidh.