Tak… tak… tak…
Suara pensil yang secara sengaja diketuk-ketukan dikepala seseorang hingga memecah sunyi di ruangan tersebut. Dan disitu tampak seorang gadis berjilbab dan berseragam khas pondok pesantren tengah duduk dan berpikir keras dengan sebuah kitab dan buku kecil yang terbuka dihadapannya.
Greb…
Seseorang merangkul pundak Syabila dengan kuat dari arah belakang. Reflek Syabila langsung menoleh dan dibelakang Syabila terlihat Lisa dengan cengiran khas yang menampilkan deretan gigi rapihnya.
“Sumpah Sya, aku tadi lihat Gus Fadli keluar dari kelas sebelah. Keren bangeeeet”. Ucap Lisa dengan suara yang membuat sakit telinga. Melihat itu, Lisa hanya menampilkan seulas senyum kecil, karena menurutnya itu adalah hal yang biasa dilakukan oleh Lisa ketika melihat Gus Fadli. Bahkan bukan hanya Lisa, namun hampir semua penghuni Pondok Pesantren At-Taqwa putri terbius dan terpana akan pesona seorang pemuda berusia 25 tahun ini, Gus Fadli Ahmadi.
Syabila kembali fokus pada kitab dan buku dihadapannya.
“Jangan cuma mikirin Gus Fadli, ada soal tamrin yang besok harus dijawab”. Mendengar ucapan Syabila, mendadak Lisa teringat akan tamrin atau ulangan Madrasah Diniyah besok.
“Jangan dibuat pusing, kamukan udah pinter. Mendingan, kita cerita tentang Gus Fadli aja”. Selalu seperti itu. Namun yang dilakukan Syabila tetap fokus pada kitab dan bukunya.
“Sya”. Panggil lisa. “Masa kamu nggak suka sih sama Gus Fadli”. Ucapan Lisa yang membuat dahi Syabila berkerut.
“Kamu tau nggak urutan abjad setelah A?”. Tanya Syabila tidak jelas. Lisa Nampak berpikir.
“Ehm, B?”.
“Nah itu jawabanku, B aja”. Ucap Syabila tanpa melihat kearah Lisa.
“Tapi setelah B ada C”. balas Lisa, kini Syabila memutar kepalanya kearah lisa. “Maksudnya?”.
“Cinta”. Jeda Lisa. “Mungkin awalnya B aja tapi bisa aja jadi C, cinta”.
“Ada-ada aja”. Syabila menggeleng pelan.
Sebenarnya Lisa tahu kalau Syabila pernah mengagumi Gus Fadli. Namun itu dulu, sebelum seseorang datang mengaku mencintai Syabila, dan meninggalkannya begitu saja seolah menganggap cinta adalah suatu hal yang bercanda.
“Dari pada ngomong yang unfaedah, mendingan belajar”. Ucap Syabila seraya membuka kitab Alfiyah dihadapannya kehalaman berikutnya. Sedangkan Lisa yang mendengar penuturan Syabila hanya memanyunkan bibirnya malas. Karena belajar bukanlah keahlian seorang Lisa.
“Sya, besok kasih jawaban ya”. Ucap Lisa dengan wajah nelongso. Syabila menarik nafas dalam. “Untung sahabat sendiri”. Mendengar jawaban Syabila, Lisa tersenyum senang.
Sesuai jadwal, bahwa hari ini ada jam tambahan pelajaran Tafsir. Sudah 20 menit setelah bel berbunyi. Namun Pak Faqih tak kunjung memasuki kelas. Kondisi kelas saat ini sangat ramai hingga datangnya seseorang yang membuat seisi kelas tiba-tiba menunduk dan hening. Bukan Pak Faqihlah yang datang, melainkan Gus Fadli.
“Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh”. Salam Gus Fadli yang dijawab oleh seisi kelas secara serempak. Setelah salam tak lupa Gus Fadli bertawasul terlebih dahulu kepada para masyayikh-masyayikh Pondok Pesantren At-Taqwa, tujuannya tak lain adalah untuk lebih meningkatkan jalinan ruhaniyah kepada para masyayikh pondok.
Gus Fadli pun memulai pengajaran kitab Tafsir Jalalain, seisi kelas dengan tenang mendengarkan apa yang disampaikan Gus Fadli dengan baik, bukan karena apa. Tapi memang dalam segi penyampaian hingga penjelasan dengan mudah mampu menembus pikiran para santri yang mendengarkannya.
Meskipun kitab Tafsir Jalalain dianggap salah satu kitab yang mudah dipahami sebagai sumber rujukan, namun tak sedikit santri yang menganggapnya sulit.
“Sebenarnya, segala sesuatu yang dianggap rumit akan menjadi rumit apabila keyakinan itu sudah menancap diotak dan pikiran kita. Semuanya itu tergantung sugesti. Selain sugesti, sebagai seorang yang sedang menimba atau menuntut ilmu untuk lebih mencintai dan menyayangi gurunya. Seperti salah satu nasehat Imam Ghazali, bahwasanya seorang yang sedang belajar tidak boleh bersikap sombong dengan ilmunya dan tidak boleh menjerumuskan pengajarnya. Ia harus patuh kepada nasihatnya sebagaimana pasien yang mamatuhi dokter yang merawatnya dengan penuh kasih sayang, dan sangat mengharapkan kesembuhan dalam waktu yang singkat. Selain itu mencintai dan menyayangi guru dapat membantu ilmu yang disampaikan oleh guru tersebut dapat mudah meresap masuk”. Tambah Gus Fadli disela-sela penyampain penjelasan isi kitab tafsir. Semua santri yang awalnya menunduk, kini menatap kearah Gus Fadli dan mendengarkan dengan seksama.
“Maksudnya cinta dan sayang disini itu bukan cinta dan keterkaitan antar lawan jenis”. Penjelasan tersebut seakan-akan menjawab pertanyaan yang ada dibenak seisi kelas yang seluruhnya merupakan santriwati. ”Tetapi ta’dim yang hampir menyerupai cinta antara guru dan murid”. Lanjut Gus Fadli. “ Jika berbicara tentang cinta. Dan jika kalian merasakan cinta pada seseorang, dekatilah penciptanya, bukan orangnya”. Jeda Gus Fadli lalu tercetak seulas senyum tipis diwajah tampan Gus Fadli.
Seisi kelas terpana akan senyumannya, tak terkecuali Syabila. Namun dengan cepat Syabila menundukan pandangannya. “Astaghfirullahaladzim”. Batin Syabila.
“Nabi juga pernah berdoa dalam meminta cinta, adapun doa tersebut seperti ini, ‘Ya Allah aku mohon pada-Mu, cinta-Mu, dan cinta orang yang mencintai-Mu. Amalan yang mengantarkanku menggapai cinta-Mu. Ya Allah jadikanlah kecintaanku kepada-Mu lebih dari aku mencintai diri sendiri, keluargaku dan air dingin (yang menyegarkan)’. Nah doa ini juga selalu saya panjatkan ketika saya berdoa”. Jelas Gus Fadli yang membuat seisi kelas rasa kagumnya bertambah.
Bel berbunyi pertanda Gus Fadli harus mengakhiri pertemuannya kali ini. Seisi kelas berdoa al-asr dan membaca doa Kafaratul Majlis. Gus Fadli keluar dari kelas dan tak lama kemudian diikuti oleh seisi kelas. Gus Fadli melewati sebuah teras terbuka yang menghubungkan antara gedung madin dengan gedung selanjutnya, dipinggir-pinggiran teras tersebut disokong oleh beberapa tiang besar. Belum sampai di gedung selanjutnya, tiba-tiba Gus Fadli berhenti, dan memanggil salah satu santri putri yang berjalan lumayan jauh darinya. Tampak Gus Fadli memerintah sesuatu dan dibalas anggukan oleh santri putri tersebut.
Santri tersebut berjalan cepat menuju gedung madin. Tepatnya ruangan kelas yang baru saja ditinggalkan oleh Gus Fadli.
“Assalamualaikum”. Salam seseorang, membuat semua mata tertuju padanya.
“Ada Farhana Syabila?”. Tanyanya kemudian.
Karena namanya merasa dipanggil Syabila pun langsung menoleh. “Aku?”.
“Kamu dipanggil Gus Fadli”. Ucapnya yang membuat orang yang mendengarnya menoleh kearah Syabila.
“Ditunggu disana”. Lanjutnya sambil menunjuk satu tiang besar. Syabila mengangguk pelan.
“Aku? Kenapa ya?”. Batin Syabila. Syabila pun berjalan menuju tempat yang dimaksud santriwati tadi. Namun langkahnya sedikit ragu, takut, tapi penasaran. Langkahnya hampir sampai, namun tak terlihat satupun orang disana. Setelah sampai disamping tiang besar, pandangan syabila menyapu kesegala arah.
Jika bertanya kenapa Gus Fadli kenal dengan Syabila, karena Syabila memang kerab kali membantu di ndalem Bu Nyai Fatimah, sehingga hampir semua keluarga ndalem mengenal Syabila.
“Assalamualaikum”. Suara yang tiba-tiba muncul dari balik tiang, namun tidak menampakan wujud orang yang berbicara. Syabila tetap berada diposisinya. “Waalaikumsalam”. Ucapnya sambil menunduk.
“Mungkin ini adalah saatnya setelah saya lama berdoa”. Ucap Gus Fadli yang membuat lawan bicaranya bingung akan maksudnya. “ Langsung saja”. Lanjutnya.
“Salah atau tidak jika saya suka sama sampean?”. Pertanyaan yang tiba-tiba membuat jantung Syabila rasanya berhenti berdetak.
Apakah benar yang berbicara padanya ini adalah seorang Gus Fadli Ahmadi? Nampaknya mustahil. Dengan dahi yang mengernyit Syabila masih masih enggan untuk membuka mulutnya untuk membalas pertanyaan Gus Fadli.
“Bagaimana?”. Tanyanya lagi.
Syabila menarik nafas panjang. Kini diotaknya tengah bersarang pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal perasaan syabila. Apakah Gus Fadli bercandakah?
Dan rasa takut pun mulai menggerayangi perasaan Syabila.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya Syabila memberanikan diri untuk membuka mulutnya.
“Mengapa ketika dunia mengajak bercanda, justru njenengan menawarkan cinta?”. Tanya Syabila memberanikan diri. Syabila bertanya seperti itu bukan tanpa alasan. Ia pernah merasakan sakit hati dari seorang ikhwan yang menjajakan janji semata dan menganggap cinta seorang Farhana Syabila sebagai bercandaan belaka. Dan Syabila tidak ingin jatuh untuk kedua kalinya.
“Saya memang bagian dari dunia, namun bercanda bukan keahlian saya”. Ucap Gus Fadli dari balik tiang besar yang menghalangi jarak pandang antara Syabila dengan Gus Fadli. Syabila terdiam mendengar jawaban Gus Fadli yang terdengar serius.
“Lanjutkan saja doa njenengan. Jika memang jodoh, pasti akan dipertemukan”. Jawab Syabila seraya menghela nafas panjang.
“Baiklah jika itu mau sampean, saya akan berdoa, dengan siapapun kamu nanti pada akhirnya, semoga kamu bisa bahagia dan saya bisa ikhlas menerima”. Gus Fadli memutar badan dan berjalan meninggalkan Syabila yang masih tetap berdiri ditempatnya.
Selesai~
Oleh: Mufrodatul Hidayah
Seru👏Lanjutkan dong mba🙂
Oke, ditunggu ya kk 🙂