Ramadhan sebentar lagi, umat muslim pastinya akan disibukkan dengan berbagai kewajiban yang diberikan Allah Swt kepada hambanya, mulai dari yang hukumnya wajib, seperti puasa, shalat, maupun zakat. Maupun ibadah yang dihukumi sunah, seperti tarawih, tadarus, berbuka lebih awal, sahur diakhirkan, dan lain-lain.
Budaya masyarakat indonesia pun memiliki cara istimewa sendiri untuk menyambut bulan Ramadhan. Adakalanya seperti berbuka bersama, ngabuburit di sore hari, memeriahkan dengan petasan dan sebagainya. Tapi yang lebih sibuk lagi adalah orang tua, mereka harus banyak bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup yang dihitung lebih banyak dari bulan-bulan lainnya.
Apalagi nanti juga persiapan buat pakaian baru di hari raya sekaligus membuat dan membeli jajanan sebagai jamuan tamu ketika lebaran, walaupun ini tidak wajib dalam syari’at islam, namun adat yang sudah menjadi keidentikan untuk menyambut meriah bulan Ramadhan.
Alhasil, selain sibuk ibadah, bagi sebagian orang, bulan Ramadhan juga harus banyak kerja. Lantas bagaimana menyikapi hal seperti ini?
Puasa adalah kewajiban bagi setiap kaum muslim, dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqoroh ayat 183, Allah Swt berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Bukan hanya kewajiban, puasa adalah kegembiraan, melalui keterangan kitab Tanqihul Qoul, Syeikh Muhammad Nawawi bin Umar Al-Jawi mengutip Hadis Nabi Muhammad Saw, “Orang berpuasa itu mempunyai dua kegembiraan, ia akan merasa gembira dengan keduanya. Kegembiraan pertama ketika ia berbuka dan kegembiraan kedua ketika ia menghadap tuhannya.”
Maka dari puasa tak hanya melakukan kewajiban saja, tetapi harus disertai dengan kegembiraan.
Sedangkan bekerja ternyata juga bernilai ibadah, selama dengan usaha untuk mencari rezeki yang halal dan memiliki kemaslahatan untuk orang banyak. Imam Ghozali menyebutkan mengenai keutamaan bekerja secara jelas melalui masterpiece-nya, Ihya’ Ulumuddin. Beliau menyarikan dari beberapa riwayat hadis Nabi Muhammad Saw serta dawuh-dawuh dari ulama salafushalih,
Seperti perkataan Lukman Al-Hakim ketika menasihati anak-anaknya,
يا بني ! استغن بالكسب الحلال عن الفقر. فإنه ما افتقر أحد إلا أصابه ثلاث خصال: رقة في دينه، وضعف في عقله، وذهاب مروءته. وأعظم من هذه الثلاث: استخفاف الناس به
“Wahai Anakku! Cukupilah dirimu agar tidak faqir dengan pekerjaan yang halal, sebab jika sesorang fakir maka akan berdampak padanya 3 hal. Pertama, keyakinannya lemah. Kedua, akalnya lemah. Ketiga, harga dirinya direndahkan. 3 hal ini, yang paling parah adalah harga dirinya direndahkan.
Kemudian, hadis yang dikutip dari riwayat At-Tirmidizi,
التاجر الصدوق يحشر يوم القيامة مع الصديقين والشهداء
“Pedagang jujur kelak akan bersama para shidiqin (orang selalu berbuat baik) beserta syuhada’ di hari kiamat.”
Berarti, alangkah luar biasanya jika ia berpuasa serta melakukan pekerjaan, maka begitu banyak pahala yang akan diperoleh.
Namun, manusia pun memiliki kadar batasan tertentu, baik itu tenaga maupun pikiran. Seperti halnya orang yang berpuasa tetapi melakukan pekerjaan berat lantas berakibat pada lelahnya tubuh, kuli bangunan, pekerja kasar, sopir, nahkoda dan berbagai profesi pekerjaan yang lain. Apakah dalam kondisi tertentu pekerja berat ini boleh untuk membatalkan puasanya?
Syaikh Abu Bakr bin Muhammad Syatha’, pengarang kitab I’anatut Thalibin memberikan sebuah solusi melalui sebuah keterangan,
وأفتى الأذرعي بأنه يلزم الحصادين – أي ونحوهم – تبييت النية كل ليلة، ثم من لحقه منهم مشقة شديدة – أفطر، وإلا فلا.
“Imam al-Adzhra’i berfatwa mengenai kewajiban petani dan sesamanya, begitu pula para pekerja berat agar melaksanakan niat puasa di setiap malam, jika bila di siang hari saat berpuasa mengalami kesulitan yang berat, diperbolehkan untuk tidak puasa. Tetapi apabila tidak mengalami kesulitan, maka wajib puasa.”
Dari keterangan ini, dapat kita tarik kesimpulan, jika selama kita berpuasa itu tidak membahayakan bagi diri kita, maka wajib puasa. Apabila dengan puasa justru dapat membahayakan bagi tubuh, maka diperbolehkan untuk tidak berpuasa serta mengqadha’nya nanti setelah bulan Ramadhan.
Wallahu a’lam.