web analytics

Cerpen: Kau Tetaplah Ibu

Cerpen: Kau Tetaplah Ibu
Ilustrasi hubungan kasih antara Ibu dan anak
0 0
Read Time:7 Minute, 39 Second

Oleh : Mufrodatul Hidayah

 

Praaangg..

Seseorang sengaja menjatuhkan gelas yang berada ditangannya.

“Mama selalu seperti itu, nggak pernah ngertiin Ratih, sebenarnya Ratih itu anak mama atau bukan si?”. Ucap seseorang dengan nada tinggi.

“Kamu itu tidak tau apa-apa, jangan ikut campur urusan mama!”. Bentak ibu kepada anak semata wayangnya itu.

Baca Juga: Biru

“Ratih udah muak, Ratih punya mama tapi kayak nggak punya mama, selama ini Cuma bibi yang ngurusin aku, perhatiin aku, ngertiin aku, sedangkan mama?”. Ucap Ratih emosi. Rasa sesak didalam dadanya semkin membuncah, pandangannya mulai memburam akibat air mata yang memaksa untuk keluar. Dan…

Tes..

Setetes air mata yang ditahannya berhasil lolos.

“Dan air mataku sangat sia-sia jika harus menangisi mama”. Ucap ratih mengakhiri perdebatan dengan ibunya, Ratih berjalan cepat menuju kamarnya dan menutup pintu dengan keras. Sementara ibu Ratih hanya bisa mengusap wajah frustasi.

Didalam kamar Ratih menangis sesenggukan, terlihat pundaknya naik turun tak beraturan. Sebenarnya Ratih tidak ingin menangis dihadapan mamanya seperti tadi. Namun mata dan hatinya tidak bisa berkompromi dengan otaknya. Ratih benci menangisi hal-hal yang tidak berguna.

Baca Juga: Redup

“Sudah non jangan nangis, bibi sedih kalo liat non seperti ini”. Ucap Bibi seraya mengusap lembut kepala Ratih yang terbalut dengan jilbab.

“Sebenarnya nyonya itu sayang sama non, cum non nggak tau”. Lanjut Bibi.

Ratih berpikir, mungkin Bibi berbicara seperti itu padanya hanya untuk menenangkan dirinya. Ratih sudah malas untuk memikirkan sosok seorang ibu yang tak peduli pada anaknya. Karena terlalu lelah menangis mata Ratih pun perlahan tertutup dan beralih ke alam mimpi.

Keesokan harinya, Ratih berangkat sekolah dengan diantar oleh supir. Bukan sekali dua kali Ratih diantar oleh supir, namun hampir setiap hari. Karena memang ibunya tak pernah sempat, setiap hari berangkat pagi buta dan pulang larut malam. Selalu seperti itu semenjak ayah Ratih meninggal, dan itulah salah satu alasan Ratih membenci ibunya.

Disekolah Ratih tergolong siswi berprestasi, ia selalu mendapat juara satu dikelasnya. Awalnya tujuan meraih juara satu hanya untuk menarik perhatian ibunya, namun pada kenyataannya sampai sekarang kelas 12 pun tak kunjung ada reaksi dari ibunya.

Kini Ratih tengah berjalan dilorong sekolah bersama teman sebangkunya, Kinan. Dari kejauhan, didepan papan pengumuman terlihat kerumunan yang sangat ramai, karena penasaran Ratih dan Kinan mendekati kerumunan. Ternyata akan diadakan tes seleksi untuk perwakilan lomba kimia antar sekolah.

“Rat, ikutan gih. Kamu kan jago kimia”. Ucap Kinan pada Ratih.

Karena merasa tertarik, Ratih pun meraih tangan Kinan dan menariknya untuk menemani keruang pendaftaran.

“Pokoknya kamu harus lolos Rat”. Ucap kinan memberi Ratih semangat untuk tes seleksi yang akan dilaksanakan besok.

Dan hari tes seleksipun tiba, dimana terdapat sekitar 35 peserta yang banyak diantaranya merupakan siswa-siswi berprestasi, tak terkecuali Ratih. Kini semua peserta tengah serius mengerjakan soal masing-masing dengan serius, hingga satu jam berlalu dan semua jawaban telah terkumpul. Jam telah menunjukan pukul 1 siang dan pengumuman hasil tes seleksi telah terpasang indah di papan pengumuman. Setelah Ratih melihat hasil tes seleksi, raut wajahnya  langsung berubah saat melihat namanya berada diurutan kedua. Secara tidak langsung bukan ratih yang menjadi perwakilan sekolah.

“Eh, bentar deh Rat. Skor kamu loh lebih tinggi dari farah, tapi kenapa dia yang peringkat satu”. Ucap kinan heran. Ratih baru sadar kalau skornyalah yang tertinggi.

Tanpa ba-bi-bu ratih langsung bergegas menuju keruang Bu Dwi, selaku guru pembimbing.

“Bu, sepertinya ada kesalahan pada hasil tes seleksi deh, Bu”. Ucap Ratih.

Namun yang diajak bicara hanya diam, nampaknya Bu Dwi sudah tau situasinya.

“Emm ibu sudah tau, dan kami memutuskan ini bukan tanpa alasan, Ratih”. ucap Bu Dwi.

“Terus apa alasannya Bu?”. Dengan nada sedikit meninggi.

“Karena kamu sebulan lagi akan ujian, sedangkan lomba 2 minggu lagi. Kami lebih memilih nilaimu diujian nanti dari pada di lomba ini”. Jelas Bu Dwi.

“Tapi saya mampu kok bu, saya yakin”. Ucap Ratih untuk meyakinkan Bu Dwi.

“Tapi itu sudah menjadi keputusan kami, tidakbisa diganggu gugat”.

Mendengar penuturan Bu Dwi, rasanya Ratih ingin menangis, ia keluar ruangan dalam keadaan air mata yang siap menghujani pipinya.

Baca Juga: Banjir Darah

“Nan aku mau pulang.Tolong izinin, aku sakit”. Ucap Ratih dan cepat-cepat memasuki ruang kelas untuk mengambil tas kemudian bergegas pulang.

Sesampainya dirumah, Ratih menumpahkan semua rasa kecewanya dengan menangis sejadi-jadinya. Bibi yang melihatnya tidak tega, yang bisa dilakukan oleh Bibi hanya menenangkan dan meredakan tangisan anak majikannya yang sudah dianggap anak olehnya.

Keesokan harinya, Ratih berangkat sekolah dengan suasana hati yang kacau dan mood yang buruk. Jalannya gontai seperti manusia yang tak punya semangat hidup sama sekali. Mungkin karena menurut seorang Ratih, prestasi adalah segalanya. Mungkin bisa dibilang Ratih adalah seorang yang berambisi besar.

Sesampainya dikelas, tiba-tiba seseorang berjalan menghampiri Ratih.

“Rat, kamu dipanggil Bu Dwi diruangannya”. Ucapnya.

Baca Juga: Fanatik

Ratih pun bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ruangan Bu Dwi. Sesampainya diruangan..

“Ratih, siapkan dirimu, 2 minggu lagi kamu akan mewakili sekolah untuk perlombaan kimia antar sekolah”. ucap Bu Dwi seraya tersenyum kecil pada ratih.

Mendengar ucapan Bu Dwi suasana hati Ratih berubah. Ternyata betul adanya, setelah hujan terkadang muncul pelangi. Dan itu terjadi pada Ratih. Mungkin ini semua karena Bu Dwi melihat usahanya kemarin. Ratih pun semakin bersemangat belajar untuk memperebutkan juara.

Waktu bagai berlari, sangat cepat. Dan kini perlombaan sudah didepan mata. Pagi-pagi sekali Ratih sudah bersiap-siap untuk berangkat. Dipikiran Ratih saat ini adalah dirinya harus menjadi the winner.Kaki yang terbalut rok seragam sekolah itu pun berlari kecil untuk keluar dari rumah.

“Ratih, ayo mama antar”. Ucap Ibu Ratih yang tiba-tiba muncul dari jendela kemudi mobil yang terparkir rapih dihalaman rumahnya.

Ucapan ibunya tadi membuat Ratih sedikit tidak percaya, Ratih mencoba berpikir positif tentang ibunya, mungkin jadwal ibunya tidak padat.

“Mama juga pengen liat Ratih lomba”.

Kedua kalinya Ratih terkejut dengan apa yang dituturkan ibunya. Sosok ibu yang gila akan pekerjaan kini sudah ingat jika ia memiliki anak? Mungkinkah ibunya kini sudah berubah? Kini mobil hitam itu menembus padatnya jalanan kota dan beberapa menit kemudian sampai disebuah gedung tempat perlombaan diselenggarakan.

Ratih pun memasuki ruangan lomba dengan suasana hati yang berbeda dari sebelumnya. Terlihat diluar ruangan ibu Ratih berdiri dan tersenyum kearah Ratih. bolehkah Ratih berbahagia untuk hari ini? Semoga saja tak hanya untuk hari ini, tapi juga seterusnya.

Tahap demi tahap dilalui oleh Ratih, dan kini adalah puncak. Dimana seorang Ratih menyandang sebagai juara satu lomba kimia antar sekolah. Ratih sangat bahagia. Pandang Ratih kini menyapu seluruh penjuru, namun seseorang yang dicari tak kunjung ditemuinya. Dimana ibunya?

“Mama kemana sih? Kok nggak ada. Jangan-jangan mama kekantor”. Wajah bahagia Ratih berganti muram. Mungkin perkiraan Ratih salah mengenai ibunya yang Ratih kira sudah berubah.

Tiba-tiba ponsel ratih bergetar panjang, ternyata sebuah panggilan masuk. Dilayar ponsel tertulis ‘Mama’. Ratih bergegas mengangkat panggilan, ia sudah bersiap mengeluarkan semua rasa kesal pada ibunya.

“Halo ma. Mama kerja lagi?”. Tanya ratih dengan nada tinggi tanpa salam. “Bisa nggak sih ma, aku jadi nomer satu di mata mama, selama ini yang ada dimata mama hanya kerja. Kerja. Dan kerja”. Lanjut Ratih.

Namun sang penelfon tak kunjung memberi jawaban.

“Hiks..hiks..”. Suara dari seberang telfon.

Baca Juga: Keringat Surga

Kini dahi Ratih berkerut, dalam benaknya bertanya-tanya.

“Non.. non kerumah sakit sekarang, hiks..hiks..”. Suara Bibi serak. Dan kemudian panggilan dimatikan sepihak oleh Bibi.

Kini berbagai pertanyaan menguasai pikirannya. Bingung bercampur aduk dengan rasa penasaran. Ratih pun bergegas menaiki taksi dan pergi ke rumah sakit.

Sesampainya dirumah sakit, Ratih langsung berlari masuk kedalam rumah sakit. Ratih berlarian kecil dilorong rumah sakit sampai pandangannya bertemu seseorang yang tidak asing dinetranya, dia bibi. Ratih menemukan bibi dalam kondisi menangis didepan sebuah ruangan. Raut wajah ratih semakin cemas.

“Bibi, ada apa Bi?”. Tanya ratih.

“Hiks..hiks.. nyonya, Non”. Jawab bibi menggantung.

“Iya Bi, mama kenapa?”.

“Nyonya.. nyonya.. koma..”. Ucap Bibi sambil menangis. “Nyonya koma, Non”. Lanjut Bibi sambil menangis sesenggukan.

Namun yang diajak bicara hanya melongo tak percaya. Tadi ibu yang mengantarnya lomba kini tak sadarkan diri.

“Mamaaaa”. Panggil Ratih seraya berlari masuk ruangan yang ia yakini ruangan ibunya.

Baca Juga: Tembok Pemisah

Kini rasa sedih menguasai dirinya, satu-satunya orang yang Ratih punya kini terbaring koma.

“Sebenarnya mama kenapa Bi?”. Tanya ratih pada Bibi.

“Sebenarnya nyonya terkena kanker rahim stadium akhir, Non”. Ucap Bibi lirih.

Mendengar penuturan Bibi sontak mata Ratih membulat.

“Apa? Kanker? Sejak kapan Bi? Kenapa Ratih nggak tau?”.

 “Sebenarnya, nyonya menderita kanker sejak tuan meninggal, dan sebenarnya selama ini nyonya tidak sepenuhnya bekerja, tapi juga berobat. Dan Bibi nggak boleh ngasih tau non”. Ratih terkejut akan apa yang dituturkan oleh bibi. Jadi selama ini ibunya tidak sepenuhnya bekerja?

“Dan satu lagi yang harus non tau”. Ucap bibi menggantung. “Sebenarnya nyonya sangat menyayangi non. Setiap pulang malam, nyonyalah yang menyiapkan seragam non, nyetrika seragam-seragam non. Bukan Bibi”.

Tiba-tiba rasa bersalah itu muncul. Selama ini Ratih hanya menuntut tanpa tau fakta sebenarnya.

“Nyonya selalu membangga-banggakan non didepan teman-teman nyonya karena prestasi non. Dan waktu nyonya mendengar permasalahan non pada lomba kimia, nyonya langsung kesekolah menemui pihak sekolah, nyonya berusaha meyakinkan pihak sekolah bahwa non mampu”.

Air mata ratih keluar tanpa diminta. Ternyata kasih sayang ibunya lebih besar dari yang dibayangkan. Ratih menangis sejadi-jadinya didepan seorang wanita yang terbaring lemah diranjang rumah sakit.

Baca Juga: Asin Air Mata

Kini ratih sadar, tanpa perlu ratih mengemis kasih sayang, kasih sayang itu sudah sejak awal menaungi dirinya. Karena cinta ibu adalah kedamaian, kita tidak perlu berjuang untuk mendapatkannya, dan  kita juga tidak perlu melayakkan diri untuk memperolehnya.

Tamat

About Post Author

elmahrusy16

Elmahrusy Media Merupakan Wadah literasi dan jurnalistik bagi santri, alumni dan pemerhati Pondok Pesantren Lirboyo HM Al-Mahrusiyah
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like