Dari Jeruji Besi, Cinta Hadir Menghiasi
Kicauan burung menggema di langit Cordoba, sebuah provinsi di Negara Spanyol, lima tahun sudah Ziyad Bin Ahmad merantau dari lingkungan kecilnya, Losail, Qatar.
Berbekal modal nekat, ia tinggalkan negeri asal yang kaya minyak itu, meninggalkan semua kasih sayang orang tua, demi cita-cita terbesar, menjadi pakar ilmuwan sastra Arab.
Ditengah lamunannya, Ziyad memikirkan berbagai macam rasa rindu, bagaimana tentang keadaan kedua orang tuanya? Adik kecil yang masih belia, apakah sekarang sudah sanggu berbicara, atau pun saat ini dirimu sudah ditatih untuk belajar berjalan adik ku? Apalah daya, ongkos perjalanan pulang aku belum punya. Hmmm. Ziyad mendesah, mencoba meringankan rasa rindu yang menggebu
Saat Ziyad akan beranjak pergi, tiba-tiba ia dicegah oleh teriakan lembut seorang wanita anggun. Zia Al-Maziyah, wanita yang akhir-akhir ini dekat dengan Ziyad, sekedar untuk rembukan membahas ujian akhir yang akan mereka lalui,
“Ziyad, kok aku ditinggal?”
“Ha’ Maziyah? Ziyad sedikit meramang-ramang penglihatannya, karena terpaan sinar matahari.
“Katanya, mau ke perpustakann bareng!”
“Astaghfirullaah, hampir lupa.” Timpal Ziyad sambil menyesali diri.
“Kan, kebiasaan.” Ucap Maziyah agak kesal.
Mereka berdua berjalan masing-masing menuju ke perpustakaan……. Bagi Ziyad, Maziyah adalah teman karib yang luar biasa, terkadang Maziyah menjadi pelipur lara bagi kesedihan Ziyad, obrolan dan nasihat Maziyah memberikan aura positif untuk Ziyad.
Hingga, kadang kala keseringan mereka berdua menjadi perbincangan tidak sedap di antara teman-temannya, respon Ziyad agak berlebihan.
Terkadang ia menjauhi Maziyah beberapa hari, sedangkan Maziyah tak acuh menanggapi itu.
Saat Ziyad kembali ke kamar, ia dapati sebuah surat,
“Dari Ahmad bin Salman, Losail, Qatar.
Untuk Ziyad Bin Ahmad, Cordoba, Spanyol.
Nak, kapan kau pulang? Berkali-kali ayah mengirimu mu surat, tapi jawaban mu sama, ayah harap balasan dari surat ini berbeda, kami semua menunggumu Ziyad.”
Ayah, maafkan Ziyad, uang yang dikirim dari rumah, hanya cukup untuk biaya sekolah, makan pun terpontang-panting car kesana-kesini, Ziyad tak ingin ayah tahu, cukuplah Ziyad menyusahkan keluarga tempo waktu itu, memori itu kembali teringat.
Losail, Qatar 17 Desember 2010.
“Sejak kapan ayah mengajarimu seperti ini?” bentakan itu memenuhi seluruh sudut ruangan, sedangkan 2 orang dipenuhi rasa ketakutan, seorang ibu renta tua dan anak kecil mungil.
“Ayah tak tahu apa-apa, ayah terlalu sibuk dengan pekerjaan, kejadian Ziyad memukul orang itu, bukan tanpa alasan, karena orang itu benar-benar pencuri ayah.” Ziyad bersikeras menghadapi ayahnya, mengukuhkan argument yang dikeluarkannya.
“Jika kamu benar, kenapa keputusan pengadilan berbeda?” nada Ahmad sedikit menurun.
“Ziyad tidak ada pendukung ayah, kemungkinan saksi-saksi disana telah disuap.”
“Jika benar begitu, maka ketika aparat berwajib datang, kamu harus siap untuk rehabilitasi di sel tahanan beberapa bulan.”
7 bulan lamanya, Ziyad mendekam di tahanan, kesehariannya diisi dengan sholat, dzikir menenangkan hati .
“Ckrak.” Bunyi pintu penjara memecahkan kekhusyu’annya.
“Saudara Ziyad Bin Ahmad, anda dibebaskan, silahkan keluar, keluarga anda menunggu di depan.” Setelah melewati lobby ruang tahanan, Ziyad berjalan dengan keberatan, dirinya dipenuhi pertanyaan.
Apakah keluargaku tidak malu dengan dengan statusku sebagai mantan napi?
“Ziyad, ibu rindu nak!” pelukan hangat dari ibunya, membuat perasaan hatinya berubah bahagia.
“Akhirnya, kau keluar nak!” suara berat sang ayah sembari menepun pundaknya.
“Ayo kita kembali ke rumah.” Ajak sang ayah melindungi seluruh keluarganya.
Cordoba, Spanyol
16 Januari 2015.
Dan disini, tanah memulai hidup barunya, menjalani rutinitas kehidupan layaknya manusia, menenggelamkan masa kelamnya sebagai mantan narapidana. Hari itu, tepat pada pukul 7 malam, Maziyah mengajak Ziyad untuk bertemu denganya di resto makanan cepat saji. “Ada apa Maziyah, kenapa mendadak begini, “Raut wajah Ziyad seperti kebingungan.
“Oh, sudah datang, duduk dulu yang tenang, aku mau bicara penting.”
“Penting?” timpal Ziyad sembari membenarkan posisi duduk berhadapan dengan Maziyah.
“Emm….” Wajah Maziyah bersemu merah, malu untuk mengungkapkan keinginan hati seorang wanita berparas anggun. Sedangkan Ziyad hanya bingung mengamati tingkah aneh sahabat karibnya itu.
“Kita akan tunangan.” Jawab Maziyah sedemikian cepat dan riang.
“Ha” ucap Ziyad tak kalah kagetnya. Maziyah kemudian memperlihatkan video tentang pertemuan dua keluarga mereka, dan kesepakatan perjodohan di antar keduanya.
Dalam batin Ziyad berkata, apakah pantas seorang diriku yang seorang mantan napi, menyanding wanita bak permaisuri, anak dari duta besar Qatar untuk Spanyol.
“Maaf, Maziyah, sebenarnya aku mantan seorang nara pidana, apakah kamu ma-“ omongan Ziyad dicegah dengan acungan jari Maziyah di depan matanya.
“Setiap orang pasti punya masa lalu, dan hal itu tidak akan mempengaruhi kehidupan seseorang di masa depan, Ziyad harus percaya masih ada beribu-ribu cahaya kebaikan yang dapat kita gapai.” Dengan kedipan mata, dan wajah ceria, Maziyah terlihat manis.
Melihat hal itu, Ziyad Bin Ahmad hanya tersenyum simpul, mensyukuri keadaan hidupnya saat ini, ia percaya bahwa sang murabbi punya kejutan-kejutan tak terhingga, dibalik semua masalah-masalah seorang makhluq.
Tamat.