Kepul asap kopi masih tetap setia menemani siang kala itu, pondok pesantren Al-Rihlah mesti melayani santrinya dengan suasana tenang ala perdesaan, tepat saat Ilham duduk-duduk sendiri di teras depan kamar asramanya ditemani segelas kopi dan beberapa buah kacang yang sebagian telah tinggal kulit. Mata Ilham tidak bisa menolak pemandangan Suryo yang tidur dari pagi dan entah kapan bangunnya. Pikirannya pun melayang menerka “Suur.. Suur.. tidur aja kerjaanmu, sia-sia siangmu terbuang tidak berguna.” Ilham merasa kalau meleknya siang itu lebih bermanfaat hidupnya dari Suryo yang tidur sepanjang siang. Rasa bangga kepada dirinya sendiri menjadi alasan senyumnya mengembang.
Sebelum senyum itu hilang, Ilham langsung menyambutnya dengan seruputan kopi yang masih panas itu lengkap dengan kepulan asap yang terbawa tiupan angin sepoy-sepoy. Pikirannya kembali berkreasi, “Daripada tidur, self health kayak gini lebih penting,” batinnya terus memuji-muji kegiatan ngopi sendirinya ini.
“Lagi apa kamu Ham?” Tanya Ulum yang sedang sibuk mengangkut tong sampah kecil untuk dikumpulkan di tempat pembuangan akhir dan dibakar, setidaknya itulah yang dilakukan Ulum untuk menghabiskan setiap siang harinya.
“Biasa Lum, ngopi. Sini ngopi nggak capek berih-bersih terus?” Sekali lagi Ilham berpikir kalau yang dilakukan dalam hidupnya kali ini lebih bermanfaat dari yang lain.
“Bersih-bersih terus, lalu belajarnya kapan? Katanya mondok biar paham agama, kalau bersih-bersih paham agamnya kapan?” Geming batin Ilham, rasa bangga akan dirinya sendiri belum luntur. Senyum itu kembali mengembang sambil memandang punggung Ulum, meninggalkannya berdua bersama kopi yang tinggal setengah.
Kopi mulai mendingin, kepulan asap yang sedari tadi menemaninya menghabiskan waktu pun tidak terlihat lagi, habis dimakan angin juga waktu. Menandakan jika sudah lama Ilham duduk sendiri menikmati suasana yang ditawarkan pondok pesantren Al-Rihlah. Untuk kesekian kalinya Ilham membatin dalam hatinya,
“Tapi… dari tadi kok aku ngerasa kalau yang aku lakukan ini sia-sia ya.” Ilham mulai tersadar bahwa kopinya yang pahit bisa jadi gambaran hidupnya masa depan pahit, hitam, penuh kegelapan kalau terus-terusan begini, tidak melakukan apa-apa selain menikmati suasana.
“Harusnya aku ngapal dari tadi, pasti sudah dapat banyak, lumayan buat jaga-jaga kalau Yai menyuruh setoran mendadak, waduh kebobolan!” Lanjutnya, setelah beberapa waktu tersungkur tidak berdaya tanpa tenaga, kesadaran Ilham perlahan bangkit tergopoh-gopoh menuju kesadaran, pikirannya sudah mulai kembali waras.
“Suryo tidur gara-gara tadi malam habis bahtsu, Ulum bersih-bersih memang itu tugas dia langsung dari Yai, barokah semua itu isinya, aku? Ngapain? Tadi malam tidur, sekarang ngopi sendirian, ngapal nggak, mutholaah juga nggak, pahiiit… pahiiit…”
Lamunan terakhirnya ini berhasil mempersembahkan thropy paling berharga yaitu kesadaran untuk dirinya sendiri yang hilang bersama ampas kopi, Ilham pun tersadar bahwa dia, ngapain?
“Udahlah mandi dulu, baru mutholaah, ternyata dari tadi aku yang hidupnya sia-sia, sadar Ham, kalau begini terus, ngoman-ngomen hidup orang, ngomen hidup sendirinya kapan? Emang harus nunggu ditampar tong sampah sama Ulum buat sadar?”
Rasa penyesalan yang sudah terlanjur diaduk bersama kopi itu pun segera dibenahinya dengan bangkit dari duduk dan melangkah menuju kamar mandi, menyiram otak yang panas dengan keangkuhan, membersihkan diri dari kotornya pikiran yang merasa paling baik sendiri. “Ternyata sadar itu mahal, ya?!”
Kopi yang tinggal setengah masih setia, kini beda forum kalau tadi duduk-duduk sendiri sekarang bertambah teman dengan kitab yang baru diambil Ilham setelah mandi.
Setelah kopi dingin teman muthola’ah tinggal seperapat gelas, Suryo bangun dari lelap tidur nyenyaknya, melihat Ilham dengan mata yang masih buram jika digunakan untuk melihat dengan seksama itu.
“Belajar apa kamu, Ham?”
Didekatinya Ilham sambil mengusap wajah yang sudah seperti ogah melihat dunia yang menjelang sore itu.
“Oh ini toh Ham, tadi malam sudah aku bahas, mudah ini, ya sudah aku sholat dulu Ham, dari pagi tidur terus sampai lupa kalau masih hidup di dunia.” Sambil tidak lupa menyeruput kopi dingin milik Ilham, Suryo pergi meninggalkan Ilham yang kelihatan kaget dengan jawaban Suryo kalau dia bilang ini mudah, padahal sudah dipikirnya dengan keras maksud teks kitab itu, belum juga Ilham dianugerahi paham dari Tuhan.
“Tuh kan benar, hidupku ngapain saja selama ini, coba tadi malam aku ikut belajar sama Suryo, pasti lebih manfa’at, pahiiiit… pahiiiit…”
kerenn sekalii
semangat bid