Dawuh Gus Reza: Keutamaan Husnudzon dan Niat Pembuka Pintu Rahmat
Melepaskan sang buah hati untuk menimba ilmu di pondok pesantren memang bukan perkara mudah bagi orang tua. Terlebih lagi untuk mencapai puncak keikhalasan, rasa rindu dan kecemasan tak pernah absen datang menyelimuti benak pikiran ayah dan bunda. Nah, dari sinilah asal muasal orang tua salah niat memondokan anak. Meski hanya masalah sepele tapi akibatnya bisa bertele-tele. Sebab apa?
Sebab niat adalah kunci utama untuk membuka pintu menuju rahmat atau malah menuju laknat. Sebagaimana hadist Rasulullah,
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Semua perkara bergantung pada niat awalnya.
Dan hal ini, juga pernah disinggung oleh Gus Reza Ahmad Zahid, dalam mauidzoh hasanahnya beliau dawuh, “Orang itu terkadang kalo memondokan anak itu salah pada niat awalnya. Menurut saya yang paling tidak beresiko pada psikologisnya orang tua, ketika memondokan anak itu jangan niat menitipkan anak di pondok, tapi niatnya membuang anak di pondok,” tutur beliau tat kala mengisi mauidzoh hasanah.
Kemudian beliau memaparkan alasannya, ”Karena semisal panjenengan (anda) niat menitipkan anak di pondok itu berarti panjenengan nanti suatu saat akan meminta pertanggung jawaban orang yang dititipi,” jelas beliau mentaukidi.
Selanjutnya beliau memberikan perumpamaan, “Misalnya, panjenengan menitipkan sandal di kotak masjid, ada panitia atau pengurus masjid bagian menjaga sendal. Ketika panjenengan setelah selesai sholat Jum’at lalu pulang mengambil sendal, dan sendalnya kurang satu kira-kira panjenengan meminta pertanggung jawaban pada pengurus masjid itu tidak? Jawabannya pasti iya. Atau panjenengan ingin pulang kemudian sendalnya panjenengan beranak menjadi tiga biji. Kira-kira tambahan sendal ini panjenengan pakai bersamaan atau njenengan kembaikan. Pasti njenengan kembalikan,” tutur beliau.
Perumpamaan kisah yang dituturkan Gus Reza di atas seperti halnya cerminan niat orang tua ketika ingin memberangkatkan anaknya mondok. Semisal niatnya menitipkan, jika ada suatu tambahan pada sang anak menjadi lebih baik ilmunya, sudah semestinya orangtua mengembalikan ilmu sang anak kepada pihak yang dititipi. Karena akad atau niat awal orang tua hanyalah menitip, semisal ada suatu kelebihan pada barang yang kita titipakan sudah semestinya untuk kita kembalikan. Benar bukan?
Maka dari itu, niat itu penting, jika orang tua sampai salah niat memondokan anak endingnya akan berimbas pada ilmu yang telah diperoleh sang anak ketika di pondok.
Seperti sebuah kisah seorang santrinya Syekh Andul Qodir Jilani. Dikisahkan bahwa santri Syekh Abdul Qodir tersebut rajin dan istiqomah mengaji. Ketika awal mondok santri tersebut gemuk dan sehat. Namun, suatu ketika santri tersebut menjadi kurus dan kabarnya sampai pada telinga orang tuanya. Akhirnya bapak dan ibu dari santri tersebut tidak terima dan mendatangi Syekh Abdul Qodir untuk meminta pertanggung jawaban. Singakat cerita santri tersebut diboyong orang tuanya.
Ketika sampai di rumah ayah santri tersebut ingin mengetahui kemampuan yang diperoleh putranya selama mondok. Setelah di uji dengan berbagai macam permasalahan, ternyata si anak dapat menjawab secara rinci dan disertai dalil-dalil hukumnya.
Dari situlah sang ayah sadar bahwa telah su’udzon terhadap guru anaknya. Tanpa menunggu lama, si anak dikembalikan lagi ke pondok pesantren. Tapi, apa yang terjadi? Syekh Abdul Qodir menjawab, “Mohon maaf, sudah ditutup,” orang tua si anak pun bertanya, “Lah kenapa pondok kok ditutup?” Syekh Abdul Qodir kebali menjawab, “Bukan saya yang menutup, bukan pondok yang ditutup. Artinya Allah telah menutup hati anak anda karena anda telah su’sudzon terhadap guru anak anda,” tutur Syekh Abdul Qodir menjelaskan.
Naudzubillah, semoga kita bukan termasuk orang-orang yang tertutup dari pintu rahmat Allah, amin. Hikmah yang dapat kita petik dari kisah diatas, niat dan husnudzon itu penting. Gus Reza ngendikan, “Orang itu kalo sering khusnudzon ‘man ahabba ayyaqdiyallahu khoiron falyuhsi ridhonna alal abdi’, artinya barang siapa yang ingin mendapatkan kebaikan dari Allah, barang siapa yang ingin mendapatkan kebajikan dari Allah maka kedepankanlah untuk selalu khusnudzon kepada siapa saja.”
Oleh sebab itu, jangan sampai dihati kita memiliki rasa su’udzon alias negative thinking terhadap sesama, terlebih lagi kepada guru yang memberi ilmu dan membimbing jiwa kita. Karena, sebagaimana yang didawuhkan Gus Reza, “Barang siapa yang pernah berguru pada seorang guru kemudian setelah itu dia punya rasa su’udzon pada gurunya maka rusak hubungan persahabatan, rusak hubungan satu majlis antara dia dengan gurunya, dan wajib atasnya untuk bertaubat. Walaupun guru-gurunya telah wafat jangan sampai punya rasa su’udzon kepada guru-guru kita ataupun yang masih sugeng itu juga sama saja,” pesan beliau pada audience dalam pertengahan mauidzoh hasanahnya.Wallahu a’lam