Dhomir I Sebuah Cerpen
Kringggg…
Suara bel itu pergantian kelas berdering nyaring di MA Al-Ihsan yang bertempat dikomplek Yayasan Pondok Pesantren Al-Ihsan. Nampak satu kelas di bagian pojok gedung menghela napas berjama’ah karena mata pelajaran yang diampu Gus Fikri telah usai. Namun suara bel tersebut tidak menghilangkan rasa gundah di hati dan pikiran siswa satu kelas. Mungkin bukanlah hal yang besar. Akan tetapi Gus Fikri sebelum mengakhiri kelas meninggalkan satu kalimat sakral yang membuat terngiang-ngiang seisi kelas.
“Besok kita adakan kuis Nahwu”
Dan Alhamdulillah dengan kata itu membuat siswa dan siswi yang mendengarnya berusaha keras untuk belajar.
Dem..
Suara meja yang dipukul keras oleh kepalan seorang gadis dengan sebelah tangan yang memegang buku. Raut yang tengah mencampur adukan kesal dan lelah itu menarik napasnya dalam kemudian kembali menatap buku dihadapannya. Otaknya kembali dipaksa berpikir agar menemukan solusi akan apa yang menjadi tanda tanya besar dikepalanya. Namun bukannya jawaban malah rasa kesal yang bertambah yang ia dapat.
“Ya Allah. Susah banget”. Rutuk gadis dengan tulisan Adiba di name tag yang terpasang diseragamnya. Dengan rasa kesal yang memuncaknya iya terbangkan pena ditangannya dengan asal dan mendarat tepat disepatu seseorang laki-laki yang memasuki kelas. Lelaki berpeci itu menunduk dan mengamit pena korban kekesalan gadis yang bernama Adiba itu.
“Allahummaghfirli dzanbi wa adzhib ghoidho qalbi wa ajirni minas syaithani”. Rapalan do’a lelaki itu menyindir halus Adiba. Karena itu adalah doa ketika sedang marah. Kemudian lelaki itu berjalan mendekat kemeja dimana gadis bernama Adiba itu terduduk.
“Ingat pelajaran Al-qur’an Hadits kemaren?”. Tanya lelaki itu dengan mengangkat satu alisnya. Namun pertanyaan tersebut nampaknya tak membutuhkan jawaban dari lawan bicaranya karena lelaki itu kembali membuka mulutnya.
“Sesungguhnya marah itu perbuatan setan, dan setan itu diciptakan dari api, dan sesungguhnya api itu hanya dapat dipadamkan dengan air. Karena itu, apabila seseorang di antara kalian marah, hendaklah ia berwudu”. Jedanya. “Jadi, sana wudhu dulu”. Perintahnya pada Adiba. Sedangkan gadis yang diajak bicara tetap menunjukan wajah Mbrengut tanpa ada niatan akan melakukan apa yang diperintahkan teman sejak kecilnya ini.
“Susah ini loh”. Adunya pada lelaki yang kini telah mendudukan diri dimeja seberang kanannya dengan posisi menghadap kedepan dan menyandarkan badannya pada kursi yang didudukinya.
“Makanya belajar itu nggak harus kalau pas butuh. Kalau bisa belajar itu tiap hari”. Nasehat singkat yang membuat Adiba tambah Bad Mood. “Bab apa?”. Tanyanya.
“Dhomir”. Jawab Adiba singkat.
Lelaki itu kini mulai meracau mengenai dhomir menurut pemahamannya. Ia menjelaskan panjang kali lebar sedangkan Adiba mendengarkan dan sesekali mencatat.
“Kalau diibaratkan, dhomir adalah hati. Barangsiapa yang tidak tahu kembalinya dhomir, maka dia tidak memiliki hati”. Ucapnya mengakhiri penjelasannya.
Wajah Adiba berubah menjadi bingung. “Maksudnya?”.
Lelaki itu menghembuskan napas kesal. Namun yang awalnya kesal langsung berubah. “Cepet tulis”. Perintahnya. Adiba memulai ancang-ancang hendak menulis.
“Barangsiapa yang tidak tau perlakuanku untukmu. Tandanya ia tidak peka”. Ucapnya dan kemudian nyelonong pergi meninggalkan ekspresi kebingungan diwajah Adiba.
-Selesai-