Dimensi Salafi Spesial Santriversary
Berbincang mengenai santri, tentu tidak jauh dari kata salaf. Secara etimologi salaf memiliki arti terdahulu, yang lebih tua, dan lebih utama. Sedangkan menurut terminologi istilah salaf didefinisikan sebagai generasi pertama dan terbaik dari ummat Islam yang terdiri dari para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para imam pembawa petunjuk pada tiga kurun generasi pertama yang dimuliakan oleh Allah.
Akan tetapi, seiring adanya pengaruh globalisasi yang semakin membumi, menumbuhkan istilah baru yang disebut santri khalaf. Santri khalaf adalah sebutan untuk kaum santri yang menerima masuknya arus globalisiasi, baik dalam bentuk pola pikir maupun modernisasi teknologi. Meski demikian, hakikat santri tetaplah salafi yang tidak akan hanyut terbawa arus globalisasi. Sandang pangan dan pola pikiran boleh khalafi, tapi jati diri dan hati nurani santri tetaplah salafi yakni berpegang teguh pada Al-Quran dan hadist serta ijtihad para ulama terdahulu.
Pendidikan budaya salaf sampai saat ini masih banyak diterapkan pada masyarakat pesantren, tidak hanya dalam ruang lingkup pendidikan saja, tapi juga dalam keseharian. Tak ayal jika beberapa pesantren yang berbasis salaf sampai saat ini masih identik dengan sarung dan peci, makan satu nampan sepuluh orang bahkan terkadang beralaskan daun pisang, mereka juga menulis menggunakan pena dan tinta celup. Para santri biasa menyebutnya pen tutul fenomena yang langka bukan?
Sistem pembelajaran pondok pesantren salaf menggunakan metode bandongan dan sorogan, bahkan kewajiban menghafal nadzoman sampai saat ini masih dilestarikan. Karena hal itu metode pembelajaran pondok pesantren salaf tidak menggunakan buku-buku penunjang karya profesor ataupun doktor, melainkan menggunakan kitab kuning yang mu’tabaroh karya ulama-ulama salafussoleh.
Pondok pesantren salaf sangat menekankan pembelajaran dalam bidang gramatika arab atau yang lebih dikenal dengan sebutan ilmu alat. Menurut ahli bahasa Syekh Mustofa Al-Ghulayani ilmu gramatika arab terbagi menjadi beberapa hal seperti nahwu, shorof, balaghoh, mantiq, qowafi, dan insya’, kemudian ada pula ilmu badi’, bayan’ dan ma’ani yang masuk dalam kategori ilmu balaghoh. Membahas ilmu gramatika atau tata bahasa tentu tidak asing dengan sebutan Mas Malik dan Mbak Alfi. Ya, Alfiyah Ibnu Malik, salah satu kitab mu’tabaroh fan nahwu yang sangat legendaris karya Syekh Muhammad Abdullah bin Malik Al-Andalusi. Kitab ini dikaji dari zaman nenek moyang hingga zaman milenial seperti sekarang ini.
Kembali kita mengenang sosok KH. Abdul Karim tokoh perintis berdirinya Pondok Pesantren Lirboyo. Beliau adalah sosok yang sangat sederhana dan mempeng dalam belajarnya. Saat berpakaian pun, hanya satu baju dan sarung yang melekat pada tubuhnya. Kalau baju satu-satunya itu dicuci terpaksa beliau harus berendam dalam air. Hebatnya, justru ketika berendam itulah beliau menghafal Alfiyah.
Beliau mondok tanpa bekal sepeserpun, ketika beliau membutuhkan kitab beliau mensiasatinya dengan sistem barter. Beliau menukar kitab yang telah selesai dipelajari dengan kitab baru milik temannya. Menyikapi hal ini, teman-teman beliau bukannya merasa dirugikan karena kitabnya ditukar dengan kitab usang. Mereka justru sangat gembira, bukan karena kitabnya yang usang, tapi karena kealiman pemiliknya. Mereka meniatkan hal ini untuk tabarrukan dengan Yai Abdul Karim.
Bukan hanya Kiai Abdul Karim, menantu beliau Kiai Mahrus Aly juga tak kalah hebatnya. Tekad yang kuat dan tak pernah kenyang akan ilmu pengetahuan, membuat beliau merenung sedih ketika kalah saat diadu dengan rivalnya sendiri dalam pemahaman Alfiyah. Kekalahan itu benar-benar menjadi beban mental bagi Kyai Mahrus, karena harus menanggung malu yang berkepanjangan. Beliau tidak menyalahkan siapapun, kebodohanlah yang membuatnya menangis.
Jika karena hal tersebut Yai Mahrus menyebut dirinya bodoh, lantas bagaimana dengan kita? Berangkat dari kata “bodoh” Yai Mahrus bangkit dan semakin semangat menimba ilmu. Berbeda dengan kita, tidak tahu bukannya mencari tahu malah berlari menjauhi ilmu dengan alasan terlanjur malu. Beliau dengan segala keterbatasan sarana prasarana, tanpa adanya fasilitas yang memadai, masih memiliki semangat belajar yang begitu tinggi dan sangat antusias dalam perjuangannya menuntut ilmu.
Kiai Mahrus sendiri disegani karena keberanian dan luasnya pengetahuan. Hal ini tercermin dari wujud partisipasi beliau dalam memperjuangkan kemerdekaan sebagai penasihat Pangdam V Brawijaya, juga menjadi Komandan Laskar Sabilillah saat agresi militer II dengan membawa ribuan santri Lirboyo. Begitu pula dengan Kiai Hasyim Asy’ari tokoh pendiri NU, Kiai Abdul Karim sang pahlawan pendidikan bagi kaum sarungan, Kiai Marzuqi menjaga NKRI dengan berbagai amalan yang dimiliki, Tak lupa Syaikhona Kholil Bangkalan guru dari semua guru.
Tidak hanya para kiai sepuh, dizaman milenial ini kita mengenal sosok KH. Reza Ahmad Zahid seorang dosen sekaligus kiai terkenal yang ilmunya diakui hingga ke negeri sebrang. KH. Ma’ruf Amin wakil presiden Indonesia, KH. Saifullah Yusuf wali kota Pasuruan, KH. Muhaimin Iskandar wakil ketua DPR kesejahteraan rakyat, dan masih banyak lagi. Mereka semua berasal dari kalangan santri yang hidup dengan satu misi yaitu mempertahankan NKRI dengan menanamkan jiwa Islami.
Sebagai santri kita berkewajiban untuk menyebarkan nilai moderasi beragama dan toleransi sesama manusia, untuk mengikis benih-benih Islamofobia yang sempat meraja lela. Dilansir dari laman Kompas.com Habib Jindan bin Novel pernah berkata “Bila keberagaman ada ditangan santri seperti saat ini, maka negeri ini akan meraih kedamaian. Karena cinta tanah air dan moderasi beragama telah sukses menjadi bagian dari identitas santri.”
Selain itu, santri sebagai benteng negeri juga bertugas untuk menjaga NKRI melalui tradisi salafi ala santri, dengan tetap menjaga almamater kaum berpeci, serta sami’na wa atho’na kepada dawuh Yai Mahrus, beliau utarakan “Kemerdekaan harus kita pertahankan sampai titik darah penghabisan”. Wallahu a’lam.
Oleh: Alifia Azzahra