Eksistensi Pesantren Dan Santri Di Era Modernisasi
Mendengar istilah pesantren pasti tak jauh-jauh dari pemaknaan tempat para santri belajar ilmu agama dengan sistem syawir, bandongan, sorogan, dan hafalan. Dikutip dari Republika.com dalam jurnal At-Ta’dib Sejarah Pesantren di Indonesia yang ditulis oleh Herman DM, adanya sebuah lembaga hingga bisa disebut menjadi pesantren itu ketika memenuhi tiga unsur yaitu adanya santri, kiai, dan asrama atau pondok.
Disisi lain pesantren juga dipandang sebagai lembaga dakwah penyebaran agama islam di Indonesia, mulai dari membentuk dan memelihara kehidupan social, kultural, hingga polotik dengan dasar hukum agama.
Karena istilah pesantren sendiri pada dasarnya merupakan sebuah tempat pendididkan islam tradisional yang di dalamnya terdapat asrma sebagai tempat tinggal bagi para santri. Cikal bakal lahirnya pondok pesantren diprediksi ketika Syekh Maulana Malik Ibrahim atau dikenal dengan Sunan Ampel, mendirikan sebuah padepokan di daerah Ampel, Surabaya, Jawa Timur sebagai tempat belajar ilmu agama. Dan dari sinilah padepokan yang dididrikan Sunan Ampel menjadi fondasi adanya pesantren di Indonesia.
Dari padepokan yang beliau dirikan banyak para santri yang berasal dari berbagai daerah bahkan dari luar Pulau Jawa yang datang untuk menuntut ilmu agama. Kemudian para santri yang telah selasai belajarnya satu persatu kembali pulang ke daerahnya masing-masing untuk menyebar luaskan ilmu agama yang telah diperoleh dari padepokan Sunan Ampel.
Hingga pada awal abad ke-19, Kiai Hasan Besari mengambil peran besar dalam dunia Islam, tepatnya pada tahun 1742 M Sultan Paku Buwono II mendirikan pesantren di Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur sebagai ucapan terima kasih kepada Kiai Hasan Besari. Dari pesantren inilah melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Pujangga Ronggowarsito.
Kemudian disusul Kiai Kholil Bangkalan, Madura, yang juga menempa para ulama besar, yang pertama yakni KH Hasyim Asy’ari, Tebu Ireng, Jombang yang mana beliau merupakan pencetus Nahdatul Ulama (NU) dan kini menjadi organisasi Islam terbesar di Indonesia, dan kedua KH Abdul Karim Lirboyo, Kediri, yang kini santrinya beribu-ribu jiwa dari berbagai pelosok negri hingga luar negri.
Apa filosofi santri yang menjadikannya istimewa dan mendunia?
Dalam sebuah Lembaga pondok pesantren pasti memiliki murid yang disebut sebagai santri dan guru yang disebut sebagai kiai. Lalu diari mana asal muasal kata santri itu sendiri?
Dari berbagai macam sumber yang penulis ketahui, pertama dikutip dari kumparan.com dalam Atlas Walisongo Agus Sunyoto, santri itu berasal dari istilah sashtri yang bermakna orang-orang yang mempelajari kitab suci atau sashtra. Sedangkan dari sumber yang lain mengatakan bahwa, santri itu berasal dari bahasa Jawa cantrik yang berarti orang yang mengikuti gurunya kemanapun ia pergi.
Kedua dikutip dari darunnajah.com, kata santri itu diambil dari perpaduan lima huruf hijaiyah yang memiliki keistimewaan pemaknaan berbeda dari setiap hurufnya. Huruf pertama Sin (س) yang merupakan kepanjangan dari سافق الخي, yang memiliki makna pelopor kebaikan. Karena sejatinya santri itu sebagai penerus dakwah para wali dan sudah seharunya santri itu menjadi pelopor kebaikan dengan bekal ilmu agama, akhlaq dan adab yang dimilikinya.
Kedua, Nun (ﻥ) kepanjangan dari kalimat ناسب العلماء yang memiliki arti penerus para ulama. Seperti yang telah di sebutkan diatas santri itu merupakan penerus perjuangan para wali dan ulama. Karena para ulama besarpun dahulunya juga pernah merasakan menjadi seorang murid hingga berhasil di tempa menjadi ulama-ulama besar yang nantinya juga melahirkan para ulama-ulama besar pula.
Ketiga, Ta (ﺕ) kepanjangan dari kalimat تارك المعاصي, yang memiliki arti orang yang meninggalkan maksiat. Sebab, dalam proses belajar selain diajarkan ilmu nahwu shorof dan tassawuf santri juga diajarkan ilmu akhlaq dan adab. Sudah sewajarnya seseorang yang menyandang gelar santri mengaplikasikan ilmu yang dimilikinya dalam reallife, bukan hanya pembelajaran semata yang masuk kuping kanan keluar kuping kiri.
Keempat, Ra (ﺭ) kepanjangan dari kalimat ﺭِﺿَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ yang memiliki makna Ridho Allah. Karena, seperti yang telah tertulis dalam kitab Bidayatul Hidayah orang mencari Ilmu itu memiliki tiga tujuan dan tujuan yang pertama yakni mencari Ridho Allah SWT.
Kelima, Ya (ﻱ) kepanjangan dari kalimat ﺍَﻟْﻴَﻘِﻴْﻦُ dengan makna Keyakinan. Untuk filosofi cocoklogi santri yang terakhir ini sudah jelas dalam bait muqodimah nadzom Imrithy yang artinya “kesuksesan seorang pemuda itu ada pada keyakinannya barang siapa yang tidak memiliki keyakinan maka tidak akan memperoleh kesuksesan”.
Kurang lebih seperti itu penafsiran makna santri yang diambil dari makna huruf perhurufnya, meskipun itu hanya cocoklogi atau goyonan belaka tapi jika di cermati ada benarnya juga.
Bagaimana Eksistensi Santri Di Era Modernisasi?
Santri dan modernisasi? Stigma yang masyarakat peroleh ketika mendengar kata santri pasti akan menjurus dalam ketradisionalannya. Namun, siapa sangka santri masa kini justru tak kalah hebat dan modern. Contohnya seperti jurnalis pesantren, dalam pondok pesantren selain diajarkan ilmu agama, gramatika arab, dan tata krama, para santri masa kini juga dikenalkan dan diajarkan teknologi.
Mereka sedikit demi sedikit diasah kemampuanya baik dalam bidang literasi, fotografi, hingga desain grafis. Meskipun dilaksanakan di tengah-tengah kepadatan belajar buktinya santri dapat maju mengikuti perkembangan arus globalisasi dengan mempertahankan ilmu dan adab kesalafiannya serta memodernkan mindsetnya.
Santri masa kini atau biasa disebut santri milenial sudah tak lagi dianggap gagap akan teknologi digital. Karena dalam pondok pesantrenpun juga memfasilitasi santrinya agar tak tertinggal pengetahuannya akan pesatnya arus globalisasi.
Conohnya seperti dalam pondok pesantren HM Al-Mahrusiyah, Lirboyo, Kediri, dibawah naungan departemen jami’yah yang bekerja sama dengan Lembaga Pers Mahrusy. Para santri di fasilitasi dalam ekstrakulikulernya ilmu pengetahuan seputar jurnalistik, fotografi, karikatur, dan desai grafis.
Melalui ekstrakulikuler ini para santri dikembangkan minat dan bakatnya. Dan banyak dari mereka yang tertarik lagi berbakat dalam jurnalistik. Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahawa santri itu bukan hanya tentang salafi tapi juga tentang modernisasi.
Karena sebagai penerus perjuangan dakwah para ulama, santri pun harus bisa memposisikan dirinya sesuai dengan zamannya. Semakin berkembangnya zaman, semakin canggihnya teknologi, semakin derasnya arus globalisasi. Para santri pun harus dapat mengikuti perkembangannya. Seperi dalam hal dakwah yang tak lagi harus repot-repot pergi kesana kemari dengan transportasi, karena cukup dengan teknologi kita bisa berdakwah secara virtual dengan cakupan jamaah yang lebih luas dan mendunia tentunya. Wallahu a’lam