Etika Mengkritik Pemerintah
Beragam pemberitaan mengenai kinerja pemerintah yang tidak maksimal disorot secara detail dan mendalam, coba anda buka di media online, cetak serta sumber informasi yang lain. Tanpa mencaripun sudah banyak muncul postingan-postingan berstatment negatif terhadap pemerintah. Bahkan, lingkup untuk mengintrik juga dibuat sebuah ruang diskusi untuk disaksikan banyak orang. Tapi, terkadang pernyataan yang diberikan ada yang benar sesuai fakta juga ada saja itu masih belum dibuktikan benar adanya dan malah menimbulkan fitnah belaka.
Masyarakat sebagai elemen dalam negara demokrasi memang diperbolehkan untuk mengkritik, berpendapat dan mengoreksi pemerintah dengan berbagai cara. Sebab ini juga menjadi salah satu cara untuk mengawal pembangunan serta kemajuan negara. Namun, kebebasan ini juga ada batasnya, merujuk pada Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) mengamanatkan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Kebebasan berpendapat di Indonesia sudah merupakan sebuah hak yang dilindungi oleh konstitusi.
Kemudian, ketika menyuarakan kritik perlu ada etika yang harus dipenuhi. Terlebih jika menggunakan media masa yang melibatkan banyak orang, Lebih jelasnya disebutkan dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang ITE. Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, hak dan kebebasan melalui penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain danuntuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Lalu, bagaimana agar ketika mengkritik pemerintah tidak sampai menimbulkan ujaran kebencian dan menimbulkan fitnah?
Hal yang paling utama adalah mengecek mengenai pemberitaan yang diedarkan, apalagi jika itu menyangkut pemberitaan miring mengenai seseorang, sebab jika sampai salah dengar kemudian jika sampai untuk memprovokasi banyak orang, jatuhnya adalah merebaknya keresahan di ruang publik, demontrasi berujung kericuhan dan naudzubilah menyebabkan timbulnya korban. Peristiwa ini bisa kita lihat pada saat pemilu 2019, berawal dari banyak berita hoaks hingga menimbulkan kericuhan dengan korban 76 luka berat, 462 luka ringan serta 8 orang meninggal dunia.
Melihat kejadian ini kita perlu mengambil ibrah agar nantinya tidak terulang kembali. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dalam Agama Islam telah dijelaskan dalam Q.S An-Nisa ayat 59.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul (Nya), serta ululamri (pemegang kekuasaan) diantara kamu.”
Ayat Al-Qur’an telah mengajarkan agar menghormati dan mematuhi peraturan maupun undang-undang yang telah ditetapkan pemerintah. Selama bukan dalam koridor maksiat. Kemudian terdapat juga dilema, dalam sebuah negara pastinya banyak kekurangan dan keteledoran pemerintah dalam menjalankan tugasnya atau bisa saja ditemui peraturan kurang pas, kita bisa menemukan solusi atas masalah ini dalam Hadis yang diriwiyatkan oleh Bukhori dan Muslim,
“Barang siapa melihat sesuatu yang tidak disukai dari pemimpinnya, hendaknya ia bersabar. Karena jika ada orang yang keluar dari suatu golongan, kemudian ia meninggal, maka ia meninggal dalam keadaan jahiliyah.”
Kritik pemerintah memang diperbolehkan, tapi jangan sampai melewati batas, etika dan kesopanan tetap dijaga. Menjadi catatan penting, jangan sampai kritik yang kita berikan bukannya memberi solusi dan koreksi, tapi malah memperkeruh suasana. Wujud metode kritik ini tertera dalam HR. Hakim,
“Barang siapa hendak menasihati pemerintah, janganlah terang-terangan di tempat terbuka. Namun, jabatlah tangannya, ajaklah bicara di tempat tertutup. Bila nasihat diterima, bersyukurlah. Bila tidak diterima, tidak mengapa, sebab sungguh ia telah melakukan kewajiban dan memenuhi hak.”
Melihat dari hadis yang disampaikan rasulullah, betapa beliau menghormati dan menjaga kewibawaan ulul amri (pemegang kekuasaan), bahkan untuk menyampaikan kritik pun jangan sampai diketahui banyak orang. Tujuannnya agar ulul amri tetap dihormati dan bisa mengoreksi kekurangan dan kelalaiannya ketika melaksanakan amanah.
Hal ini memang kurang pas jika diterapkan di Indonesia, sebab kebebasan menyampaikan pendapat di ruang publik, seperti demo, melalui media masa atau sifatnya diketahui banyak orang sudah menjadi budaya demokrasi indonesia yang melekat. Tetapi, kita tetap perlu memegang ajaran Rasulllah melalui konteks Hadis Riwayat Al-Hakim, jangan sampai menjatuhkan wibawa ululamri. apalagi dengan cara kotor, ujaran kebencian, fitnah dan hoaks.
Jika pemerintah sudah tidak mempunyai kewibawaan di mata masyarakat, takutnya akan banyak pemberontakan dan mustahil untuk mewujudkan negara yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (Sebuah negeri yang mengumpulkan kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya).