Malam begitu sunyi. Hening. Bulan, bintang, juga dengan dedaunan tebu yang bergerak seirama sapa dingin angin. Sunyi menyelinap dan menetap di kelas itu. Kelas yang tak lebih besar dari toko kelontong di pertigaan jalan. Sedang istighol bil ilmi. Tampak niat di wajah mereka yang mulai goyah digempur kantuk. Tak sedikit dari mereka yang tumbang tergelepak di meja.
Tetap saja. Guru berwajah sendu itu mengajar penuh tulus kasih. Semua pemahaman dari pelajaran yang dibahas berusaha disajikan sedemikian rupa agar mudah dinikmati oleh 20% manusia sadar, 30% berusaha sadar, dan 50% hilang konsentrasi. Hilang kesadaran. Tidur. Penjelasan tetap saja berjalan.
“Ada yang ditanyakan?” Ustadz itu memberi tawaran. Cuma-cuma. Lama ditunggu. Tak ada yang minat.
“Krik…Krik…” Jangkrik di luar sana menyahut, ‘Tidak ada, Pak!’ Namun sayang, Sang Ustadz tak paham.
“Jika tidak ada, maka akan saya cukupkan.”
Tak lama dari keluarnya Sang Ustadz, jam pulang Madrasah Diniyah tiba. Murid-murid yang sekaligus santri itu bernafas lega. Rafi melirik temannya, Amar yang tergelepar sejak dari awal pelajaran. Hasilnya, tidak ada tapak tinta di kitabnya. Malah ia gambar pulau-pulau. Entah pulau apa.
“Mar, ayo pulang!” Ucap Rafi membangunkan.
Kelopak mata itu perlahan mulai terbuka. Ia melihat sekeliling. Ternyata banyak juga yang terkelepar. Tak berdaya.
“Udah selesai?” Tanya-nya setengah sadar.
“Udah dari tadi. Lihat tuh kitab kamu banyak corak pulaunya. Ayo pulang! Tidur dari jam awal, dasar!”
Amar membereskan kitabnya. “Habisnya aku mengantuk banget, Fi. Lagian Ustadz Haris baik ini.” Jawab Amar enteng.
Jangan mentang-mentang Ustadz Haris baik, lalu kamu jakdikan kesempatan untuk leha-leha. Coba aja beliau killer seperti monster baru tau rasa kamu!”
“Deeerrrr!”
Gelegar petir terdengar keras di langit. Mereka terkaget-kaget. Entah mau turun hujan atau tanda datangnya ujian.
***
“Braak!”
Suara pintu digebrak begitu keras. Sangat keras. Sangat dan amat.
“Assalamualaikum!”
Seorang lelaki memasuki kelas dari pintu yang digebrak. Matanya merah padam. Menyala-nyala.
“Sekarang ujian hafalan, nama yang saya panggil harap maju ke depan!”
Para murid sekaligus santri terkaget bukan kepalang. Informasi tentang ujian hafalan pun tidak ada sebelumnya. Yang mereka tau, hari ini pelajaran fiqh, lalu tertidur.
Amar. Matanya melotot risau dengan degub jantung yang tak beraturan. Bukan karena apa, selain ia belum hafal, sebuah rotan panjang itu begitu mengusik tenang teratur nafasnya. Apalagi setelah melihat Husni yang tidak lancar saat dites. Suara rotan terdengar memecut meja, juga lancar hafalan itu. Tapi sayang, harapnya agar semakin keluar lafaz nadzom-nadzom itu, suara rotan malah menghilangkan suara hafalan Husni, juga keberaniannya.
“Tar…Tar…”
Suara rotan terdengar bersautan dengan hening malam. Suara jangkrik pun tidak menyahut malam itu. Entah.
Banyak sedikitnya kadar hafalan yang mereka hafal menjadi penentu cerah tidaknya wajah mereka. Apalagi Ustadz Haris memanggil kami secara acak. Tidak terpaku absen.
“Ustadz Haris kenapa, sih?” Bisik Edi.
“Putus cinta kali, kalau nggak paling belum kiriman.” Jawab Amar juga berbisik.
“Hush! Ngada-ngada kamu!” Timpal Rafi yang tak sengaja mendengar.
“AMAR!”
Suara Ustadz Haris sangat keras menusuk telinga.
“Mampus aku!” Batin Amar. Keringatnya mulai menetes.
Amar maju dengan setiap pasang mata yang tak lepas mengikuti arah langkahnya menuju lembah kehancuran. Bagai kambing di hadapan haramau yang lapar. Ia pasrah.
“Mulai!” Perintah Ustadz Haris. “Tar!” Rotan itu bersuara. Memberi semangat.
Amar berdiri menghadap kawan-kawannya. Ustadz Haris di sampingnya.
“Musholiyan alan nabiyil musthofa…”
Amar berhenti. Tiba-tiba hafalannya mendadak hilang. Dahi, wajah, leher, tangan, punggung, bahkan ketiaknya basah oleh keringat. Sangat basah.
Saat amar menoleh dan menatap ke arah kanan, tampak wajah Ustadz Haris yang menatapnya lekat, dalam, lalu menyeringai.
“Tar!” Rotan itu dipukulkan ke meja dengan begitu keras. Mirip-mirip bom Hiroshima-Nagasaki. Amar meraba jantungnya, apakah masih berdetak?
“JADI, KAMU NGGAK HAFAL!” Tanya Ustadz Haris hilang kesabaran. Menyeramkan.
Rotan itu dibuang ke sembarang tempat.
Tiba-tiba tubuh Ustadz Haris membesar. Kekar. Sampai-sampai baju yang ia kenakan sobek. Lalu, kuku-kuku tangannya pun memanjang tajam. Amar dalam bahaya.
“Kreeeet.”
Suara goresan kuku pada meja itu begitu menyeramkan. Benar-benar tajam.
Matanya memerah, lalu menjalar ke seluruh tubuh. Saat ini wajah Ustadz Haris begitu berbeda. Murid sekaligus santri yang ketakutan luar biasa itu bagaikan santapan empuk bagi Ustadz Haris yang menggarong. Monster.
Tumbuhlah ekor itu. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, dan panjang. Ustadz Haris yang memonster maju ke hadapan Amar, hingga ia bisa merasakan nafas monster itu. Panas. Rada bau seblak.
“Sing..Sing..Sing..Biju Dama!”
“Krak!”
Tamatlah.
***