Fotosfer Pelik Panggung Al Andalusy
Keabstrakan warna langit mulai menghilang tinggal gelap dan beberapa taburan cahaya bintang, hanya menunggu detik jarum jam malam ini akan menjadi hari esok. “Hey Sany, ente gak tidur ?” tanya lntan, yang terbangun dari tidurnya. “Aku gelisah Tan, bukankah besok pengumuman wisuda Alfiyah?” jawabku cemas. “Kenapa gelisah?, gak ada yang meragukan ente Sany, aku yakin kamu wisuda, ente rajin, ente cerdas, dan semua orang tau itu” Jawab lntan yang berusaha menenangkanku dalam kantuknya. Aku hanya terdiam, tak meresponnya hingga dia tertidur lagi. “Makasih Tan, tapi mungkin ada sesuatu yang ente gak tau” Gerutuku dalam hati. Di sepertiga malam, Aula Masjidil Haram telah dipenuhi teman-temanku yang tak berhenti bersujud dan berdo’a. suara gemuruh ayat suci AI-Qur’an dan jeritan pengaduan diri pada Tuhan Yang Maha Esa. Air mata itu kembali menetes, tak ada kalimat lain yang terucap kecuali kata dan bayangan ibuku. Saat ini tiada harapan lain selain bertemu dengan ibu dan berada dalam pelukannya.
“07:59” tepat satu menit lagi, seluruh santri akan berebutan melihat Namanya yang tertempel di papan pengumuman, dan aku hanya akan melihat dari kejauhan. Detik ini, saat itu juga mataku menjadi saksi, melihat ribuan air mata keluar dari kelopaknya masing-masing dengan arti yang berbeda-beda. Ada air mata kebahagiaan yang merayakan kemenangan dan air mata kesedihan karena penyesalan atas harapan yang sirna, dan ada air mata ku yang tidak memiliki arti dari keduanya. “Sany !” tiba tiba ada seseorang yang memanggilku dari belakang dengan suaranya yang paruh, aku pun menyeka air mataku dan tersenyum getir melihatnya.
“Eh lntan, kamu wisuda kan? Congratulation!!” Kataku dengan menahan air mata dan sedikit tersenyum palsu. Dia hanya terus menatapku dengan tatapan kebencian dan bendungan air mata, kemudian dia berlari kearahku, memelukku dengan erat membawa suara sesegukan tangisnya yang nyata terdengar di telingaku. “Sany, !!! bukankan dulu ente janji bakalan berjuang dan kita bisa wisuda menaiki panggung bareng, mengenakan toga kebanggaan, berkalung medali dan foto bersamaku. Tapi mana janji itu Sany? aku yakin ente bisa melakukan semua itu. Tapi kenapa nama ente ga ada? Tatap mataku Sany, apa yang sebenarnya terjadi? Bilang sama aku!!”. Tangkasnya sebal. Aku yang mendengar celotehnya semakin tak kuat.. air matraku yang sedari tadi kubendung terhempas lepas. Tanpa melontarkan satu kata pun, aku lari dari hadapanya, dengan pikiran yang berkecamuk penuh sesak “titik pelik yang mana lagi ini Ya Allah”
30 Desember 2017
Beberapa hari setelah ditempelkannya pengumuman wisudawan wisudawati Al Andalusy. Kini tepat waktu dimana seluruh kelas XII Madrasah Aliyah merayakan kelulusannya. Hanya saja ada yang sebagian di wisuda dan sebagian duduk melihat teman-temanya di wisuda, dan itu lebih dari sakit. Kita hanya bisa duduk melihat yang lainnya menaiki panggung, katanya sih balasan buat mereka yang tidak mau berjuang menghafal dan memahami Alfiyah lbn Malik Al Andalusy. Biar merasa malu dan menyesal, tapi ku kira balasan itu bukan alasan untukku yang tak diwisuda. Aku hanya sedih melihat seluruh wali santri yang dengan semangat menunggu nama anak anaknya dipanggil, dan apabila ada yang tidak terpanggil, entah bagaimana hati bapak ibu mereka sedihkah? Malukah? Dan begitu pula dengan ibuku, apa yang mereka rasakan dan apa yang akan dirasakan ibuku. Acara demi acara telah dilewati hingga diujung acara.
Acara ini ditujukan kepada wali santri yang ingin memberikan sambutannya. Sepuluh menit berlalu, tapi belum ada satu wali santri pun yang menaiki panggung. Beberapa menit hening, yang membuatku bosan memperhatikannya.
NAMUN,, “Assalamualaikum Wr.Wb saya perwakilan wali santri alas nama Sunny, yang mungkin ibu bapak tak mendengarkan nama anak saya dipanggil menaiki panggung penghormatan ini atau katakan saja dia tidak termasuk wisudawati Alandalusy.” Sontak !!! aku pun terkejut mendengarkan kata-kata ibuku yang menaiki panggung penghormatan. Entah apa yang akan dilakukan olehnya.”sebelum saya melanjutkan omongan saya, saya ingin bertanya kepada bapak ibu sekalian ! dari ratusan wisudawan wisudawati, tinggal Sembilan belas anak yang masih berdiri di panggung ini, katakanlah mereka The Best Ten dari masing masing wisudawan dan wisudawati, tapi kenapa bapak ibu tidak merasa ganjal dengan jumlah The Best Ten pada wisudawati disini. Kenapa hanya Sembilan orang ? terus siapa yang memiliki satu nama namun tak terpanggil, apakah ibu bapak tidak penasaran, siapa yang memiliki kedudukan mulia ini, putri bapak ibukah? Atau putri saya?”. Sejenak ibuku berhenti dari kata-katanya.
Mungkin lagi mengambil nafas panjang, kulihat para wali santri berbisik satu sama lain, sepertinya lagi menyadari dengan apa yang diomongkan oleh ibuku. “andaikan ibuku tau, siapa pemilik posisi mulia itu” bisiku dalam hati. “Atas izin Yang Maha Esa, saya berani berdiri di panggung yang megah ini dengan secarik kertas undangan yang mungkin undangan ini dimiliki oleh seluruh wali santri yang anak-anaknya masih berdiri di panggung ini Bersama saya! Pada undangan itu tertera dengan jelas nama-nama wisudawan wisudawati the best ten, diurutan yang keenam itu adalah”. lbu berhenti sejenak dan mengambil nafas panjang yang terdengar diseluruh telinga audience. “Pada urutan keenam disitu tertera nama yang sangat saya cintai, yaitu Sunny! Matahariku! Sesungguhnya dia berhak berdiri dipanggung ini, tetapi gara-gara ibu seperti saya dia rela menutupi semua ksedihannya dan rela duduk di jauh sana.Mungkin,kalian semua tidak pernah tau apa sebenarnya yang terjadi pada anak saya bahkan teman dekatnya. Kami hidup hanya berdua tanpa keluarga yang utuh, hanya berdua, tanpa harta yang layak, namun anak saya memiliki mimpi untuk mondok di pesantren ini dengan niat dan tekad yang kuat hingga bisa bertahan sampai sekarang
Dia yang disetiap harinya dipanggil kekantor dan di tagih uang bulanan, rela puasa setiap harinya karena menghindari ajakan temannya ke koperasi, semua itu tak pernah dia keluhkan, tak pernah memberi tau siapa pun. Namun saya yang ingin mencari tau sendiri. Apa yang anda rasakan menjadi seorang ibu yang melihat anaknya sekuat itu. Dan hari ini dia rela tidak menaiki panggung gara-gara tidak bisa melunasi administrasi dan menebus toga kebanggaan. ltu karena saya, karena saya belum bisa menjadi orang tua yang sempurna, karena saya dia harus menanggung semua ini, maafkan ibu nak.” Aku tak bisa memendam rasa sedih ini, air mataku bercucuran, teman-temanku mengikuti irama isak tangis ibuku, semua bergantian memelukku dan aku hanya memejamkan mata yang tak kuasa melihat ibuku. Tiada kata-kata yang terucap lagi dari ibukku, yang terdengar hanya suara isak tangis bersaut-sautan.
Syaikhuna yang sepuh sedari tadi hanya duduk menyimak acara, namun kali ini beliau berdiri Bersama tongkatnya dan menaiki panggung, mengambil mic dan berucap “Sesungguhnya kesabaran itu terjadi pada saat awal benturan” “Wahai Binti Sunny kemarilah, peluklah ibumu, kau layak Bahagia” ucap Syaikhuna sambil tersenyum, tanpa rasa sabar akupun lari melintasi ribuan orang-orang yang hadir di acara wisuda ini seraya berlari dengan tangisan dan rasa rindu memeluk ibukku.
Hari ini, hari terbahagiaku, berada di panggung penghormatan Bersama ibukku dan disematkan langsung oleh Syaikhuna, hanya aku seorang. Semua mata tertuju padauk dan ribuan tepuk tangan terdengar berirama merdu ditelingaku, aku Bahagia. “Makasih lbu, aku mencintaimu” Kataku dari hati paling dalam.
Aku selalu ingat kata-kata Beliau Sayyidina Ali lbn Abi Thalib “Sesungguhnya, banyak permasalahan pelik yang berhasil diselesaikan dengan kemurahan hati.” Dan ketahuilah teman, sesungguhnya tidak ada janji yang pasti kecuali menunggu terbitnya cahaya matahari Kembali.[]