web analytics

Gus Nabil; Cerita Kesan dan Pesan KH Imam Yahya Mahrus.

Gus Nabil; Cerita Kesan dan Pesan KH Imam Yahya Mahrus.
0 0
Read Time:2 Minute, 29 Second

Bertepatan dengan Haul Almarhum Almagfurlah KH. Imam Yahya Mahrus yang ke-11, Pondok Pesantren Lirboyo HM Al-Mahrusiyah mengadakan pembacaan Manaqib Syekh Abdul Qodir Al-Jilani. Pada kesempatan kali ini, Gus Nabil memberikan sambutannya tentang semua hal yang berkaitan dengan KH. Imam Yahya Mahrus. Termasuk dengan cerita kesan dan pesan di dalamnya.

“Mbah Yai Imam itu adalah orang yang pemberani.” Ucap Gus Nabil saat menjelaskan sifat dan teladan Yai Imam. Lalu, putra ke empat Yai Imam ini mulai bercerita;

“Waktu saya (Gus Nabil) masih kecil, sekitar kelas 5 atau 6 SD. Saya diajak beliau (Yai Imam) ke suatu pengajian di Nganjuk. Bertepatan saat beliau sedang menjelaskan sifat-sifat Nabi, beliau dawuh, ‘Aku paling nggak seneng duwe anak sing jereh!’ (Saya paling tidak suka punya anak yang penakut!) Saya merasa tersindir. Karena anak yang ikut beliau hanya saya saja.” Ucap beliau dengan ekspresi selidik.

“Akhirnya mulai saat itu saya memberanikan diri, seperti mencoba mengetok pintu pada saat bertamu yang mana pada masa itu adalah suatu hal yang manakutkan, suatu hal yang terasa malu bagi anak seusia SD. Dan saya selalu cerita kepada beliau di setiap saya melakukan hal berani. Tapi, semakin hari sifat berani saya malah makin kebablasan (kelewatan). Saat SD, saya jadi sering berantem. Teman-teman saya ajakin berantem. Hingga, saya sering masuk kantor karena ulah itu.” Kenang Gus Nabil sedikit tersenyum.

“Saya juga pernah berdiri tiga jam menghadap bendera karena sampai memukul kepala teman saya dengan batu dan saya masih ingat nama orangnya. Tapi, jangan. Bukan hanya itu, saya nggak pernah diantar saat ke jeding malam-malam. Saya juga berani lewat kuburan sendiri. Bahkan, berani saya juga mulai ke ranah gaib. Jin-jin itu saya ajak kenalan, nggak jarang juga saya ajak berantem.” Terang Gus Nabil.

“Pernah suatu hari saya itu berkelahi dengan jin dempul (entah umur berapa, beliau tak menyebutkannya) dan saya ceritakan pada beliau. Semuanya. Dari awal sampai akhir. Tapi, apa tanggapan beliau? Beliau hanya diam. Lalu, sampai suatu hari, saya kembali diajak oleh beliau untuk mengisi pengajian di Mojokerto. Di sela-sela penjelasan, beliau dawuh; ‘Memang di awal aku pernah ngomong kalo aku nggak seneng duwe anak sing jereh. Tapi, aku lebih nggak seneng duwe anak sing kekendelen’ (tapi, saya lebih nggak suka punya anak yang terlalu berani).” Terang beliau dengan senyum yang lebih lebar.

“Setelah itu, saya sowan kepada beliau, ‘Saya harus bagaimana? Dulu bilang nggak senang punya anak yang penakut, tapi saat udah berani malah bilang nggak senang punya anak yang terlalu berani, maksudnya bagaimana?’ Lalu beliau jawab, ‘Bukan semacam itu. Berani tidak hanya sekedar itu. Juga kalau ada jin jangan diajak berantem, diajak kenalan aja. ’ Dan saya mengerti maksud beliau. Jadi saya cukup sewajarnya saja.”

Para santri menyimak dengan seksama cerita Gus Nabil yang dibawakan dengan intonasi dan ekspresi wajah yang mampu membawa suasana. Cerita yang mengajarkan bagi para pendengarnya untuk berani yang sebenarnya. Berani yang baik dan benar. Semua telah dijelaskan dalam cerita.

“Pemberani itu bukan hanya dilihat dari penampilan!” Tukas beliau di akhir cerita.

 

***

 

***

About Post Author

Aqna Mumtaz Ilmi Ahbati

Penulis Baik Hati, Tidak Sombong, dan Rajin Menabung*
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like