“Ada 3 bekal dalam menuntut ilmu!” Ucap Gus Nabil mengawali pembicaraan.
Menuntut ilmu adalah perkara wajib. Umat Islam, laki-laki maupun perempuan, wajib hukumnya mencari ilmu. Bagaimana kita hidup untuk terus belajar, mencari dan hingga dapat apa yang dicari itu: ilmu.
Selain itu, dalam mencari ilmu, kita harus fokus dan serius. Ilmu merupakan anugrah dan dalam mendapatkannya itu tidak mudah. Kita harus menekan, mengeluarkan segalanya untuk ilmu: waktu, tenaga, usaha, juga do’a. Dan tentunya dalam konsep mendapatkan, kita harus fokus dan serius. Agar tepat sasaran, agar tidak terjadi kesalahpahaman. Apalagi ini soal ilmu yang baik buruknya dapat berdampak besar.
Dalam mencari ilmu tentu ada yang harus dipersiapkan. Tentu ada beberapa strategi dan cara, agar lebih efesien dan konsisten dalam menuntut ilmu. Apalagi bagi seorang santri yang hidup di lingkungan pondok pesantren yang memiliki makna luas. Baik dalam hal ilmu pengetahuan yang diajarkan, juga tentang hal pergaulan yang tidak bisa dielakan.
Ada hal-hal yang harus dijadikan bekal bagi santri dalam perjalanan pengembaraan menuntut ilmu. Dalam hal ini, Gus Nabil mengingatkan 3 hal yang harus dijadikan bekal bagi santri dalam menuntut ilmu.
Pertama, harus jelas gurunya. Harus serius. Dalam mencari ilmu kita harus memiliki guru yang jelas dan serius. Maksudnya, kita harus mengenal siapa guru kita. Beliau belajar di mana, beliau dapat ilmu dari siapa. Jadi dalam mencari ilmu, kita harus tau silsilah keilmuan kita. Hal ini penting dan kita harus mengetahuinya. Tujuannya apa? Karena nanti ketika di akhirat, saat kita mempertanggung jawabkan semua apa yang kita lakukan dan apa yang kita dapat, mau itu hal baik ataupun hal buruk, itu semua akan menjadi pertanyaan. Termasuk imu yang kita ketahui, itu semua akan ditanyakan dapat ilmu dari siapa, siapa gurunya.
Makanya kita di pondok pesantren itu sudah bisa dipastikan jelas siapa gurunya. Kiai kita jelas siapa gurunya, belajar di mana. Tidak seperti mereka yang tidak mondok, yang belajar dari mbah google. Iya, meskipun mbah google maha tau, tapi belum tentu maha benar, -mirip seperti netizen yang maha benar tapi belum tentu maha tau. Maka bersyukurnya kita sebagai santri yang belajar di pondok, belajar pada kiai yang sudah jelas silsilah dan keilmuannya.
Kedua, santrinya harus serius. Kita sendiri sebagai santri harus memiliki optimis dan sungguh-sungguh dalam mencari ilmu. Bukan saat mondok dijadikan sebagai tempat pindah tidur. Mondok bukan dijadikan tempat untuk mencari banyak teman. Dalam mencari ilmu, kita memang harus sungguh-sungguh. Bahkan, Gus Nabil sempat didawuhi oleh abah beliau, Yai Imam, saat di awal berangkat mondok ke Yaman, “niatno tirakat! Niatno tirakat! Niatno tirakat!” Lalu beliau (Yai Imam) membaca niat, “nawaitu guak awakmu!” (saya niat buang kamu!, jawa-red).
Selain kita serius dalam belajar. Kita sebagai pencari ilmu juga serius dalam berniat tirakat. Biasakan hidup sederhana dan qona’ah. Entah dalam hal keseharian, tidurnya, makannya. Diniati tirakat. Maka dengan kita bersungguh-sungguh dalam belajar dengan tetap melakukan tirakat selama mondok maka bisa dipastikan kita itu termasuk serius dalam mondok.
Ketiga, orang tuanya harus serius. Serius di sini, namanya orang memondokkan itu perlu banyak yang dikorbankan. Orang tua harus serius dan berkorban dengan membiayai Sang Anak dan tentunya do’a. Orang tua mesti ingat, jangan yang pernah pelit-pelit untuk membiayai anak. Karena dari itu adalah demi belajar sang Anak. Demi kemudahan belajarnya Sang Anak.
Selain itu, bisa dinamakan serius, jika orang tua juga melakukan tirakat. Untuk apa? Karena pasti yang namanya orang tua itu berat saat berpisah dengan anak. Saat anak mondok hati orang tua juga harus ikut mondok.
Maka jika ketiga hal itu diperhatikan dengan baik: jelas dan seriusnya Sang Guru dalam mengajar, serisunya Sang Santri dalam belajar, dan seriusnya orang tua dalam membiayai dan mendo’akan, maka insya Allah akan melahirkan generasi yang alim dan sholih. Aamiin. Insya Allah.
Wallahu a’lam.