Hilangnya Kearifan Lokal Penyebab Kerusakan Moral
Semakin derasnya arus modernitas di segala lini, kebudayaan menjadi suatu hal yang terpinggrirkan, tanpa disadari nilai-nilai luhur jati diri suatu bangsa menjadi terlupakan, tekanan-tekanan budaya asing banyak datang mengisi ruang lingkup kehidupan, puncaknya, budaya akan identik sebagai suatu hal kuno serta asing ditelinga setiap insan.
Perkara ini tidak bisa untuk diabaikan, apa jadinya kalau bangsa ini sudah lupa terhadap identitas pribadi? Tentu, akan timbul yang namanya degradasi moral, perlu diketahui bahwasanya kearifan lokal menjadi kunci untuk terjalinnya perilaku tata krama suatu bangsa yang telah diwarisi dari generasi ke generasi, sebagai penyaring untuk menyerap stigma buruk budaya luar yang berbahaya serta menjadi pegangan untuk beradaptasi menanggapi tiada hentinya arus globalisasi.
Sebagai contoh, sekarang banyak timbul penyelewengan norma-norma sosial, seperti mabuk-mabukan di klub malam, mengonsumsi alkohol, geng motor dijalan adalah bentuk budaya baru yang berasal dari luar, sedangkan, nilai-nilai kearifan lokal, macam bermain suling, tari-tarian, budaya pewayangan serta kesenian lain dianggap sebelah mata.
Budayawan Alm. KH. Agus Sunyoto merefleksikan hal ini dalam sebuah perkataan, “Saya selama ini belum paham dengan nalar dan jiwa orang-orang pribumi yang punya sikap antipati terhadap leluhurnya, dimana semua hal yang berbau pribumi kuno dianggap rendah, hina, sesat, dan terkutuk. Sebaliknya yang asing dianggap tinggi dan mulia.”
Hubungan Erat Agama Dengan Kebudayaan.
Ajaran Agama Islam masuk ke Indonesia sekitar abad ke 7 sampai 11 masehi, sebelum itu telah terbentuk suatu tatanan sosial masyarakat yang menganut paham ajaran animisme dan dinamisme atau zaman pra sejarah, kemudian terjadi peralihan ketika Agama Hindu datang dari India pada abad ke 4 masehi, dibuktikan dengan adanya Kerajaan Kutai dan Tarumanegara. Selanjutnya Agama Budha juga masuk pada Abad ke 4 masehi, dengan ditemukannya Prasasti dan Ruphang Budha di Sulawesi.
Artinya, ketika Agama Islam mulai disyiarkan terdapat sebuah tantangan besar agar dapat diterima oleh penduduk pribumi. Mengingat, sebelumnya, telah terdapat sebuah identitas local dengan menjaga kebudayaannya yang sudah sangat tua, kuat dan mapan. Lalu, munculah beberapa nama berpengaruh dalam penyebaran islam di Nusantara, seperti Wali Songo penyebar islam di Pulau Jawa, Sultan Iskandar Muda dari lingkup Sumatra, hingga Sultan Alaudin dari Tanah Sulawesi.
Tokoh-tokoh tersebut menjadi cikal bakal Agama Islam menjadi mayoritas di Indonesia, data dari The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC), menyebut ada sekitar 237, 55 Juta penduduk islam atau setara 86, 7 % dari total populasi Indonesia, pencapaian ini, bisa disimpulkan melalui metode-metode yang diterapkan oleh tokoh penyebar islam di Indonesia,
Diantaranya dengan fiqhul Dakwah (Ajaran agama diterapkan secara lentur, sesuai dengan kondisi budaya masyarakat dan tingkat pendidikan mereka), Fiqhul Hikmah (Ajaran Islam bisa diterima oleh semua kalangan, tidak hanya kalangan awam, tetapi juga kalangan bangsawan, termasuk diterima oleh kalangan rohaniawan, Hindu, Budha, Kapitayan serta kepercayaan lainnya).
Dari rekonstruksi sosial yang telah dipaparkan, menegaskan bahwasanya Agama Islam turun bersentuhan dengan kebudayaan, agama menjadi warna (spirit) pada kebudayaan, sedangkan budaya memberi kekayaan terhadap agama,
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
“Untuk setiap umat dari kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS al-Ma’idah: 48).
Sehingga, ketika menghadapi setiap kearifan lokal, terdapat dua kaidah umum:
- A) Perkara yang bisa diserap tanpa merusak akidah, seraplah.
- B) Tatkala berlawanan dengan akidah, sikapilah dengan bijak (an-Nahl: 125).
Kunci Kemajuan Peradaban.
Aset utama majunya suatu bangsa diperhitungkan dari kualitas sumber daya manusia (Human Resources). Kekayaan sumber daya alam (Natural Resources), sumber modal, hingga kecanggihan teknologi belum cukup untuk menjamin kemajuan dan kemakmuran suatu bangsa tanpa didukung SDM yang memadai.
Perihal semakin derasnya gempuran-gempuran kebudayaan luar, dikhawatirkan jati diri suatu bangsa semakin memudar, contoh saja dalam Negara Indonesia terkenal terkait nilai solidaritas yang tinggi, seperti budaya gotong royong atau kerja bakti di lingkungan. Lambat laun tradisi ini mulai hilang dalam lingkup masyarakat, sebab terpengaruh adanya budaya barat yang agesif dan dinamis, mementingkan kepentingan individu, realita tersebut banyak kita jumpai, terutama di lingkungan komplek perkotaan.
Dr. KH. Reza Ahmad Zahid dalam suatu kesempatan berkata “Every’s man ability maybe strengthen and incruse by culture” (Seseorang yang berpegangan teguh dengan budayanya, maka ia akan kuat.” Dawuh yang diutarakan Gus Reza merupakan ibrah bagi setiap orang untuk terus merawat budaya-budaya lokal, jangan justru membanggakan budaya luar yang bisa membuat degradasi dan dekadensi moral.
Senada dengan sebuah ungkapan yang dituturkan KH. Abdurrahman Wahid “Kebudayaan suatu masyarakat bisa menterjemahkan nilai agama juga bisa memahami arti sebuah hidup yang dia jalani.” Apa jadinya jika hidup ini dijalani, tapi tidak tahu akan tujuan serta arah ke depan?
Tantangan Menjaga Kearifan Lokal.
Memasuki generasi akhir zaman, rentan yang namanya karakter dan sikap nakal, gaya hidup hedonis mementingkan individu sendiri, suka terhadap produk atau fashion berlabel tinggi. Hingga, identik bersikap konsmutif tak mau produktif menghasilkan suatu hal yang memiliki fungsi.
Dengan tantangan tersebut, kebudayaan bisa menjadi korban, hilang ditelan zaman. Maka dari itu perlu adanya komitmen dan niat kuat, bagaimana menjadi pribadi yang tak hanya lemah, mengikuti style serta hal viral, tetapi seoptimal mungkin totalitas cinta pada kekayaan dan kearifan lokal. Menjadikan norma agama, sosial serta kebudayaan sebagai pedoman, pegangan serta acuan.
Sebagai penutup, merefleksi dari Hadist Rasulullah yang diriwayatkan dari Imam Tirmidzi. “Jika umatku telah melakukan lima belas hal, maka turunlah petaka pada mereka, salah satunya generasi akhir umat mengutuk generasi pendahulu mereka.”
Sekian, Semoga Bermanfaat.
Wallahu A’lam.