Ijazah dan Amalan Gus Reza Ahmad Zahid Supaya Anak Betah di Pondok
Pondok pesantren merupakan lingkungan sekolah asrama berbasis islami yang berada di bawah naungan kiai. Dalam proses belajar mengajarnya, para santri dituntut untuk hidup mandiri. Menjalani kehidupan sederhana, jauh dari sanak saudara, entah itu kalangan anak-anak, remaja, hingga dewasa semuanya berbaur dalam satu lingkup dan tujuan yang sama yakni jihad fii sabilillah bi niati tholabul ilmi serta mengabdi pada kiai.
Pada umumnya kehidupan di pondok pesantren mendidik santri-santrinya menjadi pribadi yang mandiri dan berdedikasi islami. Disana para santri dilatih mengatur sistematika kehidupan sehari-hari tanpa campur tangan orang tua mulai dari merawat diri sendiri, memenit waktu hingga mengatur menejemen keuangan semua dilakukan secara mandiri, dan hal tersebut tidaklah mudah jika belum terbiasa.
Oleh sebab itu, kebanyakan dari orang tua tidak tega untuk memondokan anaknya. Mereka khawatir jika putra-putrinya kelak tidak betah di pondok. Padahal dibalik betah atau tidaknya anak di pondok itu bergantung pada keikhlasan dan keridhoan dari orang tua itu sendiri, terutama ibu yang memiliki hubungan batiniyah paling dekat dengan putra-putrinya.
Dikutip dari dawuh Agus Reza Ahmad Zahid, Lc. MA., salah satu pengasuh Pondok Pesantren HM Al-Mahrusiyah, Lirboyo, Kota Kediri, tat kala sedang mengisi mauidzoh hasanah beliau ngendikan, “Wonten setunggalipun dawuh, setunggalipun amalan, sopo wong seng mondokno anak, sopo wong seng arep mondokno anak, kemudian anaknya sedang belajar wong towo niku kedahe nggeh tirakat”.
(Ada satu dawuh, satu amalan, barang siapa yang memondokan anaknya, barang siapa yang ingin memondokan anaknya, kemudian anaknya sedang belajar orang tua itu seharusnya juga tirakat)
Kemudian beliau melanjutkan dengan memberikan suatu amalan, “Wonten setunggal amalan nek pingin anake iku betah neng pondok, gelem mondok, gelem belajar ten gone pondok. Niki wonten maos surah Al-fatihah 41 kali dipun waos sakmantune sholat magrib. Sing moco dudu bapake tapi seng moco niku ibuke, sanes bapake”.
(Ada satu amalan jika ingin anak betah di pondok, mau mondok, mau belajar di pondok. Itu dengan cara membaca surah Al-fatihah 41 kali yang dibaca setelah sholat magrib. Yang membaca bukan ayahnya tapi ibunya).
Usut punya usut mengapa yang membaca Al-fatihah itu harus ibunya bukan ayahnya? Karena yang memiliki hubungan batiniyah paling dekat dengan seorang anak itu adalah seorang ibu. Sebab itulah yang dianjurkan membaca Al-fatihah adalah ibunya.
Selain itu beliau juga menambahkan kisah inspiratif dibalik kesuksesan para ulama-ulama besar yang masyhur namanya dan karya-karyanya sepanjang zaman. Seperti kisah Imam Bukhori mualif kitab Hadits Sohih Bukhori. Dikisahkan Imam Bukhori Muhammad bin Ismail atau Albukhori itu memiliki ibu yang hebat dan luar biasa.
Imam Bukhori merupakan keturunan dari pendeta majusi, dan ketika masih bayi beliau adalah seorang anak yang buta. Namun, ibunya Imam Bukhori senantiasa berdo’a kepada Allah dengan do’a, “Ya Allah, saya menginginkan anak yang alim, yang sholeh, tapi maaf Ya Allah anak saya ini tidak bisa melihat. Saya meminta semoga Engkau buka mata anak saya ini Ya Allah”.
Setiap hari beliau senantiasa istiqomah memanjatkan do’a tersebut hingga suatu saat Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Bardisbah atau yang masyhur dengan nama Albukhori dapat melihat dan sembuh dari kebutaannya.
Masya Allah begitu hebat dan mustajabnyanya do’a seorang ibu, bahkan sakit buta bisa disembuhkan hanya dengan lantaran do’a seorang ibunda. Dengan demikian, jangan pernah sekali-kali menyakiti hati seorang ibu. Kasihilah dan berbaktilah kepada ibunda kalian selagi masih ada kesempatan melakukannya. Karena tanpa kalian sadari dibalik kesuksesan yang kalian dapat di hari ini atau di hari yang akan datang adalah do’a ibunda kalian yang telah diijabah oleh Allah SWT. Ingatlah bahwa penyesalan selalu datang terlambat dan sesuatu yang berharga akan terasa lebih berharga ketika sudah tiada. Waallah a’lam.