Ilmu dengan Riyadhoh
Memiliki sikap sederhana, jujur, menghargai nilai spiritualitas dan kemanusiaan adalah sikap yang harus dimiliki bagi seorang santri. Sikap inilah yang mengantarkan para santri memiliki hati yang bersih dan qonaah (menerima). Dan disamping belajar dan mencari ilmu santri juga tidak lepas dari usaha untuk melawan hawa nafsu. Dikalangan para santri tentunya sudah tidak asing lagi dengan yang namanya tirakat. Tirakat secara bahasa berasal dari Bahasa Arab, yaitu thoriqoh yang berarti sebuah jalan. Tirakat juga berasal dari kata taroka yang berarti meninggalkan, pada intinya tirakat adalah ajang pelatihan hawa nafsu seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam masyarakat pesantren, tirakat menggabungkan pengekangan dan pengendalian hawa nafsu (riyadhoh) dan menempuh jalan tertentu.
Haruskah santri bertirakat ?
Kehidupan santri itu tidak terlepas dari tirakat. Aktivitas yang dilakukan santri setiap hari itu sudah terhitung sebagai tirakat karena santri mandi saja mengantri, makan seadanya, tidur disembarang tempat, dan dituntut belajar dalam waktu yang sudah ditentukan dan beragam kewajiban lainnya. Oleh karenanya, kewajiban itu sebenarnya menuntut santri untuk menahan hawa nafsu yang artinya ia harus bertirakat untuk meninggalkan keinginan untuk berleha-leha. Tirakat disini berarti memerangi hawa nafsu duniawi seperti sabda nabi berikut
رجعنا مناجهاد الاصغرالجهادالاكبرقالواماالجهادالاكبرقالجهادانفس
“ Kita telah perang dari perang kecil menuju perang besar ”. Para sahabat lalu bertanya : Apakah jihad besar itu? Jawab nabi : “ Jihadun nafsi (memerangi / menahan hawa nafsu).”
Tiraka atau riyadhoh termasuk jihad fii sabilillah (berjuang didalam agama agama allah). Dalam Al-Qur’an disebutkan:
وجهدوافي الله حق جهاده (الحج)
“ Dan berjihadlah kamu pada jalan allah dengan jihad yang sebenar-benarnya”
Di dunia pesantren sangat masyhur tirakat itu dilakukan dengan 4 macam istilah yaitu, ngerowot (tidak makan nasi), tarkiruh ( tidak makan yang berruh seperti ikan, telur, dll ), puasa mutih (hanya makan nasi dan air putih saja), dan puasa nahun. Nahun, ngerowot, mutih dan tarkiruh merupakan aktivitas wadhifah yang dianjurkan dalam agama dalam prinsip menahan nafsu. Ini adalah salah satu bentuk tirakat yang biasanya dilakukan oleh santri, tapi tirakat disini bukan hanya dari segi berpuasa, karena tirakat itu mujahadatun nafsi. Puncaknya tirakat ialah untuk mencapai ridho allah SWT. Jadi marilah kita melakukan tirakat dengan niat mencari ridhonya, menjalani perintahnya, dan mendekatkan diri kepadanya.
Ilmu itu adalah cahaya, diibaratkan cahaya yang akan sampai ke dalam hati. Ilmu yang dijalani dengan tirakat itu berbeda dengan ilmu yang dijalani tanpa tirakat. Ilmu bukanlah segalanya yang bisa menjadi hal utama yang harus diambil. Yang menjadi hal terpenting adalah ilmu yang bermanfaat. Sebenarnya bentuk tirakat juga dapat diraih dengan belajar sungguh-sungguh, dengan bermaksud agar kegiatan belajar, menghafal nadhom, mengulang pelajaran, itu adalah usaha untuk bisa meraih ilmu sedalam-dalamnya untuk kemanfaatan agama dan bangsanya.
Nah, jadi santri bertirakat itu agar ilmu yang dicapai dapat bermanfaat dan untuk mencapai masa depan yang diharapkan. Jadi mengapa santri harus berani tirakat? Karena menjadi santri adalah menjadi sosok yang istimewa yang ditempa dengan melalui tirakat meninggalkan hawa nafsu untuk meraih kebahagiaan yang besar.
Orang yang senantiasa mau tirakat itu adalah orang yang Allah beri inayah dan karunia-Nya yang agung. Banyak para wali dan kiai-kiai yang selalu tirakat dalam hidupnya. Beliau- beliau juga melakukan tirakat dengan berniat untuk mendoakan santri–santrinya (muridnya-muridnya).
Tradisi tirakat telah banyak dilakukan oleh ulama zaman dahulu hingga sekarang. Dalam melakukan tirakat, biasanya orang yang akan melakukan tirakat diberi ijazah terlebih dahulu oleh gurunya. Ijazah adalah sebuah bentuk perizinan seorang guru/kiai kepada muridnya untuk mengamalkan sebuah amalan, baik itu wirid-wirid, puasa, shalat dan amaliah lainnya. Ijazah ini dapat dikatakan sebagai racikan amalan seorang guru kepada muridnya untuk menggapai tujuan tertentu.
Tradisi ini sudah ada sejak zaman sahabat hingga sekarang. Para sahabat sering menghabiskan waktu siangnya dengan berpuasa, dan malamnya untuk bermunajat pada Allah SWT. Mereka sedikit makan dan minum serta mengurangi jam tidurnya. Para ulama juga mengikuti jejak mereka. Banyak ulama yang menjalankan puasa bertahun-tahun untuk mentirakati para murid-muridnya agar ilmunya bermanfaat. Banyak ulama yang rela hidup susah agar dapat mengekang hawa nafsu hingga dapat menuju kepada Allah SWT dengan mudah. KH. Abbdul Karim pernah berpuasa bertahun-tahun dan hanya berbuka dengan dedaunan. Beliau juga hidup serba susah selama nyantri kapada Mbah Kholil Bangkalan. Konon katanya, beliau hanya mempunyai satu buah baju. Ketika beliau mencuci baju itu, beliau hanya bisa berendam dalam sungai selagi menunggu baju itu dijemur.
Selama berendam beliau ngelalar hafalan nadhom alfiyahnya. Beliau juga sering berjalan ratusan kilo meter untuk mencari ilmu. Pernah suatu ketika beliau mempunyai uang dari saudaranya. Uang itu dimaksudkan untuk membeli tiket kereta. Namun oleh beliau malah digunakan untuk membeli kitab dan beliau rela berjalan ratusan kilometer menuju pesantrennya. Tak ayal jika beliau menjadi ulama yang sangat alim dan mempunyai ribuan santri.
Tirakat juga diniatkan untuk masa depan kita, untuk meraih cita-cita dan diniatkan untuk diri sendiri juga biasanya diniatkan untuk orang tua atau masa depan yang diinginkan. Jadi, sebagai santri kita harus istiqomah dan qonaah (menerima) agar ilmu yang kita dapatkan barokah dan bermanfaat.
Oleh : Shofa Nailah