Islam dan Demokrasi
Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, dilaksanakan langsung oleh rakyat, atau dewan perwakilan terpilih yang dipilih melalui pemilu secara bebas. Sistem ini sekarang sudah menjadi anutan hampir seluruh bangsa di dunia.
Dalam hal ini, pada awalnya demokrasi merupakan konsep yang datang dan berasal dari negara barat serta bukan dari kalangan muslim, namun demikian bukan berarti sistem ini tidak kompatibel dengan Islam, karena pada kenyataannya Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia juga menganut demokrasi sebagai sistem pemerintahannya.
Dr. Drs. H. Mohammad Hatta selaku wakil presiden pertama Indonesia pertama pernah mengatakan, “Demokrasi di Indonesia tidak akan pernah hilang bahkan akan semakin kuat, boleh saja demokrasi disingkirkan namun yakinlah pasti demokrasi akan kembali lagi.” Pernyataan ini diyakini oleh seorang yang juga bergelar Bung Hatta ini karena demokrasi di Indonesia memiliki 3 pondasi yang sangat penting yaitu:
Doktrin kebebasan
Ajaran ini dibawa oleh para sarjana yang melakukan sebuah studi di negara-negara barat dan kemudian diadopsi dan disebar luaskan di negara Indonesia. Ajaran mengenai kebebasan ini juga merupakan salah satu tuntutan dari demokrasi yang memberikan hak kepada seluruh masyarakat untuk bebas memilih, menentukan dan menyuarakan pendapatnya di ruang publik.
Demokrasi Asli Indonesia
Bung Hatta meyakini bahwa tipikal masyarakat Indonesia adalah mereka yang senantiasa menjunjung nilai-nilai demokrasi, karena sejatinya masyarakat Indonesia sudah biasa menerapkan sikap demokrasi seperti pemilihan pemimpin desa.
Ajaran Islam Tentang Persamaan
Islam sangatlah berdedikasi dalam penerapan demokrasi, khususnya ajaran Islam tentang egalitarianisme atau persamaan tanpa adanya diskriminasi dalam Islam. Islam berkeyakinan bahwa setiap manusia pada dasarnya memiliki kedudukan yang sama yaitu sebagai hamba Allah Swt, bahkan di depan kitab sucinya yaitu Al-Qur’an semua muslim dianggap sama dalam kata lain diwajibkan untuk mempelajari dan mengamalkan apa yang telah terkandung di dalamnya. Al-Qur’an bukanlah sebuah privilese yang hanya boleh dipelajari dan diamalkan oleh golongan tertentu secara keagamaan melainkan setiap muslim memiliki hak yang sama untuk mengambil kitab sucinya yaitu Al-Qur’an untuk dipelajari dan dijadikan pedoman dalam hidup. Berbeda dengan beberapa ajaran agama lain yang memberikan keistimewaan untuk memahami kitab suci yaitu hanya pada kelompok kelas keagamaan tertentu.
Membangun demokrasi bukanlah hal yang sulit apabila hanya dalam skala struktur atau prosedur, adanya parlemen dan partai politik merupakan contoh penerapan demokrasi secara prosedural namun sebenarnya apa yang diinginkan bukan hanya demokrasi yang terstruktur tapi juga terkultur di semua kalangan masyarakat, bukan hanya format politik yang demokratis tapi juga substansi demokratis yang terlaksana di semua bidang politik. Di sinilah Islam akan memberikan sumbangsih kepada demokrasi di Indonesia, di mana Islam memiliki prinsip musyawarah yang juga telah diperintahkan dengan jelas di dalam Al-Qur’an, “bermusyawarahlah kamu terhadap suatu perkara.” ( Q.S Al-Imran: 159 ). Musyawarah merupakan keharusan dalam sistem demokrasi, dengan adanya sentuhan Islam justru demokrasi yang selama ini cendrung mayoritarianisme akan diluruskan oleh Islam.
Pada saat ini penerapan demokrasi di Indonesia cendrung sangatlah liberal dengan bukti segala macam problematika selalu diorientasikan terhadap voting, seperti salah satunya yaitu mekanisme Pemilu yang menggunakan sistem voting. Jika demikian, menjadi sebuah keniscayaan bahwa dimensi musyawarah di Indonesia akan luntur, padahal prinsip musyawarah sangat tertera jelas di di salah satu pokok Pancasila, tapi pada praktik politiknya hal ini cendrung diabaikan.
Oleh karena itu, penguatan Islam di Indonesia pasti akan sangat berdampak besar terhadap penguatan demokrasi di Indonesia, yang diharapkan saat ini adalah Islam dan Pancasila dapat menjadi pedoman utama dalam berdemokrasi sehingga penerapan demokrasi di Indonesia tidak hanya yang bersifat elektorat atau prosedural tapi juga substansial yang mencakup aspek apapun yang ada di Indonesia.
Selain musyawarah ajaran Islam yang dapat mendukung perkembangan demokrasi di Indonesia adalah sikap menerima terhadap perbedaan. Islam sangat menghargai adanya perbedaan seperti yang dijelaskan di dalam hadits, “perbedaan yang ada pada umatku adalah rohmat.” Maka sangat wajar jika 4 madzhab yang kini menjadi salah satu referensi umat Islam yang berasal dari dinamika pemikiran 4 ulama bisa bertahan walaupun dalam beberapa masalah terhadap perbedaan hukum di dalamnya, semua itu tidak lepas dari sikap muslim yang menjaga dan menghormati terhadap adanya perbedaan, baik perbedaan suku, agama, pendapat atau partai.
Seorang sarjana Mesir Dr. Fahmi Huwaidhy pernah menyatakan bahwa multi partai yang ada di Indonesia saat ini bisa dianalogikan dengan multi madzhab di dalam Islam yang mana seluruh umat Islam tentu sudah terbiasa menghadapi khilaf yang ada di 4 madzhab, oleh karena itu adanya multi partai atau perbedaan pendapat seharusnya bukanlah menjadi sebuah masalah besar, justru seharusnya menjadi khazanah keberagaman yang dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan lebih luas lagi. Kontribusi Islam dalam mengajarkan toleransi dalam setiap pebedaan tentu sudah tidak bisa dipertanyakan lagi, sudah sangat jelas bahkan nilai ini tetap harus selalu diyakini dan juga diterapkan dalam hidup berdemokrasi di Indonesia.
Masyarakat tentu berharap, jika demokrasi di Indonesia bisa diterapkan berdasarkan nilai-nilai ajaran agama dan Pancasila, agar tidak ada cacat dan penyimpangan yang terjadi dalam penerapannya, karena sesungguhnya apa yang telah dirumuskan dan terkandung di dalam Islam dan Pancasila sudah sangat relevan untuk diaplikasikan kapanpun dan di manapun.