Jadilah Santri Yang Luar Biasa!
Menjadi santri adalah sebuah kebanggaan. Kenapa sebuah kebanggaan? Karena tidak semua mampu menjadi santri, baik dari segi ekonomi ataupun mental. Dan bagi mereka yang mampu sekalipun, tidak semuanya mau menjadi santri. Tidak semuanya diberi hidayah untuk menjadi santri. Jadi, patutlah jika status santri adalah suatu kebanggaan. Menjadi orang terpilih. Orang hebat. Orang kuat. Tetap menempuh pada ilmu formal dan masih sudi mendalami ilmu agama di zaman yang semakin hingar-bingar. Di zamannya para penyembah uang, teknologi, syahwat, dan duniawi. Sedangkan santri masih percaya akan yang namanya Tuhan semesta alam dan kehidupan setelah mati, atau sekedar kata barokah. Hebat.
Selanjutnya, hubungan antara santri dan pondok pesantren tidak terlepas dari aspek keterpaksaan. Ya, tentu di pondok pesantren ada yang namanya kurikulum pembelajaran dan aturan yang guna mengatur segala kegiatan santri demi terwujudnya tujuan dari pondok pesantren tersebut. Mau tidak mau santri harus nurut dalam mengikuti semua peraturan yang ditetapkan.
Inilah aspek keterpaksaan. Semua santri tentu memiliki malas dan kecenderungan kegiatan di waktunya masing-masing. Tetapi, pesantren memaksa semua cenderung itu untuk mengikuti dan melayani semua yang diinginkan pesantren. Meskipun semua demi kebaikan santri itu sendiri. Jadwal panjang dan padat telah diatur untuk santri. Dari bangun tidur, hingga mau tidur lagi.
Mulai dari istighosah di jam 3 pagi dengan dirangkap berbagai sholat sunah. Dilanjut sholat subuh berjamaah, Madrasah Qiroatil Qur’an, mengantri mandi dan sarapan, berangkat sekolah formal, sholat dzuhur, makan siang, mandi, sholat ashar, sorogan, sholat maghrib berjama’ah, Madrasah Diniyah, sholat isya’, makan malam, Batshul Masail, dan tugas-tugas serta tanggungan yang tidak tertulis dan segala sisi yang sama sekali tidak ingin dikeluhkan di tulisan ini.
Tentu itu semua terasa berat. Apalagi dalam rasa keterpaksaan. Meskipun sekali lagi, ‘demi kebaikan santri itu sendiri’. Memang segala sesuatu yang dilakukan dengan keterpaksaan hati, pasti akan terasa sangat berat. Lagi-lagi para santri terus dijejali dengan slogan,
“Dipaksa, Terpaksa, Terbiasa.”
Memang, konsep disiplin dan dipaksa beda-beda tipis. Intinya sama, yaitu demi terwujudnya tujuan yang telah dibangun. Dalam asalnya, kehidupan manusia itu terbentuk dari keterpaksaan. Sebagaimana yang telah disebutkan Aristoteles, seorang Filsuf dari Yunani 384 SM-322 SM,
“Semua tindakan manusia terjadi berdasarkan satu atau lebih dari tujuh sebab ini; kesempatan, alamiah, paksaan, kebiasaan, alasan, semangat, dan keinginan.”
Tapi, jika ada santri yang terkena aspek keterpaksaan dan ia berhasil melakukannya, itu belum cukup dikatakan hebat. Belum cukup dikatakan luar biasa. Bagi para santri yang menganut prinsip,’Dipaksa, Terpkasa, Terbiasa’, tidak lagi keren.
Kenapa begitu? Dicontohkan seperti seorang adik yang mendatangi rumah kakaknya saat lebaran sebagai bentuk penghormatan. Itu wajar. Karena kewajiban adik, ya harus menghormati kakaknya. Atau dicontohkan juga seperti orang kaya yang gemar bersedekah. Itu juga wajar. Biasa-biasa saja. Orang kaya. Duitnya banyak. Yang hebat itu, jika seorang kakak yang malah mendatangi rumah adiknya saat lebaran sebagai tanda hormat, juga kasih. Ataupun orang miskin yang malah gemar bersedekah. Ini baru hebat. Hebat yang sesungguhnya. Luar biasa.
Begitupun dengan santri. Bagi santri yang dipaksa bangun jam 3 pagi untuk istighosah dan dia bangun, itu biasa. Jika ada santri yang dipaksa belajar selama 6 jam dan ia belajar, itu biasa. Ataupun jika ada santri yang dipaksa menghafal nazhom untuk dapat 50 bait dalam satu minggu dan ia mampu, itu biasa. Yang luar biasa itu, jika ia telah bangun terlebih dahulu, mandi, bersiap, sholat tahajud, baca Qur’an, sebelum para pengurus sibuk membangunkan. Lalu, jika ada santri yang tetap melanjutkan belajar dari 6 jam yang ditentukan atau malah bisa hafal lebih dari 50 bait nazhom dalam seminggu. Itu baru luar biasa. Luar biasa yang disebabkan karena dirinya sendiri. Buktinya ia tidak terpaku pada titik yang dipaksakan.
Seharusnya santri lebih jeli akan hal itu. Jangan jadikan paksaan itu sesuatu yang menyiksa dan memberatkan. Menjadi alasan untuk tidak betah di pondok. Jangan seperti itu! Santri harus memiliki mental baja. Untuk menghadapi kehidupan yang tidak kalah keras dari baja. Jadikanlah keterpakasaan itu sebagai sesuatu yang menyenangkan dan dapat dinikmati. Anggap saja keterpaksaan itu sebagai ajang lomba. Ajang lomba dengan segala kesungguhan santri yang lain atau sebagai ajang pertempuran dengan melawan rasa malas dan nafsu diri sendiri.
Pengarang Kitab Idhotun Nasyi’in memberikan semangat kepada kita, para santri, dalam keterangan akhir bab Al–Iqdam,
“Sebenarnya, di tanganmulah urusan umat ini. Kehidupan mereka terletak pada keberanianmu. Oleh karena itu, majulah dengan penuh ‘semangat dan keberanian, seperti haraimau yang garang. Bangkitlah (dengan segala semangat dan kekuatan) bagai unta yang memikul muatan dalam iringan suara genta yang membangkitkan semangat, pasti umat ini akan hidup.”
Ayolah santri! Bangkitalah! Bijaklah dengan semua rasa keterpaksaan dan jadilah santri yang luar biasa!