Jangan Lupakan, Ulama dan Santri Adalah Pahlawan Kemerdekaan!
Kemerdekaan adalah hari raya. Dan bulan agustus adalah gerbangnya. Tentu saat kita sudah memasuki bulan agustus, kita akan bersorak semarak menyambut dengan suka cita. Bagaimana tidak, ini adalah hari kemenangan!
Jika membicarakan tentang kemerdekaan, tentu tak luput dari sejarah. Generasi bangsa bisa mengenal makna kemerdekaan bangsanya, jika mereka meresapi dan menghayati setiap kata dari lembar sejarah bangsanya.
Siapa tau, bahwa kemerdekaan ini ada andil besar ulama dan santri sebagai tokoh senter perjuangan. Bagaimana para subjek yang menempati tempat yang bernama pondok pesantren ini menjadi ujung tombak perlawan dan pertahanan alur perjuangan perlawanan. Entah siapapun penjajah yang singgah, tetap saja, semangat nasionalis kaum sarungan tidak bisa ditolelir dan ditawar: sekali merdeka tetap merdeka!
Seperti yang dijelaskan oleh Ahmad Mansyur Suryanegara dalam bukunya, Api Sejarah, menggambarkan perjuangan itu,
“Ketika iring-iringan santri dan pemuda dari berbagai kampung itu sampai di lapangan Sekolah Al-Irsjad yang terletak di selatan Benteng Miring, pasukan Sekutu yang bertahan di gedung sekolah Al-Irsjad melepas tembakan. Belasan orang tumbang dengan tubuh bersimbah darah. Para santri dan pemuda yang marah dengan pandangan mata nyalang bergerak maju secara bergelombang menyerang musuh yang bertahan di gedung sekolah Al-Irsjad. Senapan mesin pasukan Inggris menyalak.
Puluhan pemuda dan santri tumbang ke tanah dengan tubuh tertembus peluru. Namun ratusan pemuda dan santri terus maju melangkahi mayat kawan-kawannya dengan meriakkan takbir “Allahu Akbar” sambil menembakkan senapan, menyambitkan batu dan mengacungkan bambu runcing. Gedung sekolah Al-Irsjad yang dijadikan pos pertahanan musuh dikepung dan dihujani tembakan dan timpukan batu.”
Tidak hanya itu, meski sudah sampainya kemerdekaan yang didamba-dambakan dengan lantangnya Presiden Soekarno dalam membacakan Teks Proklamasi pada 17 Agustus 1945 M atau bertepatan dengan 9 Ramadhan 1364 H di Pegangsaan Timur nomer 56, Jakarta Pusat, perjuangan belum usai. Ulama dan Santri juga mesti harus berjuang mempertahankan dan pengakuan akan kemerdekaan itu. Tidak usah membahas banyak tentang apa saja bentuk perjuangan itu, semua sepakat bahwa Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama yang diutarakan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari yang berhasil mendongkrak semangat para pejuang kemerdekaan.
Mengutip dari buku Fatwa dan Resolusi Jihad Sejarah Perang Rakyat Semesta Di Surabaya, 10 November 1945 yang ditulis oleh Agus Sunyuto,
“Yang secara singkat, pidato KH Hasjim Asj’ari tentang kewajiban umat Islam dalam jihad mempertahankan tanah air dan bangsanya itu, mencakup tiga hal, yang intinya sebagai berikut: 1. Hukum memerangi orang kafir yang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardlu’ain bagi tiap-tiap orang islam yang mungkin, meskipun bagi orang fakir; 2. Hukum orang yang meninggal dalam peperangan melawan musuh (NICA) serta klompotan-klompotannya adalah mati syahid; 3. Hukum untuk orang yang memecah persatuan kita sekarang ini, wajib dibunuh. Begitulah, berdasar amanat Rais Akbar PBNU, KH Hasjim Asj’ari, pagi hari tanggal 22 Oktober 1945 dalam rapat pleno yang dipimpin Ketua Besar KH Abdoel Wahab Chasboellah, yang disimpulkan menjadi satu keputusan tentang “Jihad Fii Sabilillah” dalam membela tanah air dan bangsa dalam bentuk “Fatwa Jihad Fii Sabilillah” yang diserukan kepada umat Islam dan dalam bentuk “Resolusi Jihad Fii Sabillah” yang disampaikan kepada Pemerintah Repoeblik Indonesia, di mana isi dari “Fatwa Jihad Fii Sabilillah”, adalah sebagai berikut:
‘Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe’ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempuan, anak-anak, bersendjata atoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itoe djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja…’”
Tentu ini adalah masih sepotong cuplikan tentang bagaimana para Ulama dan Santri turut andil dalam perjuangan raih arti kata kemerdekaan dan tidak bisa dianggap remeh. Kemerdekaan dipetik oleh segenap juang lapis masyarakat bangsa ini. Oleh itu sebabnya kemerdekaan milik kita semua. Jangan ada pengecualian, jangan ada penghapusan dalam andil sejarah.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya!”
Kita semua adalah pahlawan dengan caranya sendiri-diri. Merdeka!