Jawaban Pesantren Mengenai Revolusi Mental
Perkembangan kemajuan berpikir para pemuda Indonesia semakin memprihatinkan, globalisasi yang membumi membuat sikap menjaga nilai luhur sosial budaya, agama, serta falsafah bangsa mulai meredup, ketika terjadi problem seperti ini, ditakutkan para pemuda akan terpengaruh paham hedonisme, liberalisme dan sekulerisme, ujung-ujungnya para pemuda mentalnya menjadi buruk, tidak dapat membedakan antara yang bersifat kebutuhan dan yang bersifat keinginan.
Akibatnya, suatu bangsa akan kehilangan jati diri menuju jurang kehancuran, maka dari itu Revolusi Mental para pemuda perlu digalakkan, mengingat mereka adalah harapan masa depan, seiras dengan perkataan dari Katib PBNU, Dr. KH. Reza Ahmad Zahid Lc.ma, beliau mengutip dawuh dari kitab Idhotun Nasyi’iin “Syabbabunal yaum Rijalunal Ghod” (Pemuda zaman sekarang adakah pemimpin masa depan), oleh karenanya mereka harus memiliki himmah dan cita-cita luhur, jadi, apa jadinya jika suatu bangsa dipimpin seseorang yang mentalnya buruk.
Nah, ini merupakan tugas dari para tholabul ilmi untuk selalu bersungguh-sungguh ketika belajar, menyelesaikan masalah tanpa memperburuk masalah, karena, ini merupakan masa emas mereka, masa yang tidak akan terulang kembali dan sebuah masa yang menjadi pondasi sebelum terjun dalam dunia penuh gengsi.
Menyikapi perlunya Revolusi Mental, Guru Besar Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. H. Maragustam, M.A mengatakan, pembentukan mentalitas yang berkarakter baik merupakan poin utama, dimulai dari membiasakan melakukan yang baik (moral acting), membelajarkan yang baik (moral knowing), merasakan dan mencintai yang baik (Moral Feeling and Loving), penyiapan teladan yang baik (Moral Modeling) serta pertaubatan dari kesalahan yang dilakukan, dengan begitu mental seseorang akan tertanam karakter yang baik.
Seperti halnya orang sakit yang membutuhkan dokter untuk mengobatinya, begitu juga dengan revolusi mental, perlu ada guru untuk memperbaiki kualitas mental seseorang, dokter dalam hal ini adalah kiai, para guru serta pengajar pada umumnya,
وتمرض الأمة جمعاءإلامن رحم ربّك فلا تلجأ الى طبيب الجتماع ليداوي أمراضها ويخفف اوصا بها ويخلّص مما أصابها
“Setiap umat akan mengalami sakit, kecuali yang diberikan kesehatan oleh tuhannya, begitu juga bagi setiap umat yang sedang sakit mental, alangkah baiknya untuk berobat kepada dokter masyarakat (orang berilmu), agar nantinya sang dokter dapat meringankan dan menyelematkan umat dari kerusakan mental.” (Syeikh Musthofa Al-Gholaini, Idhotun Nasyi’in)
Oleh karena itu, tatkala santri melihat kiyai dan ustadznya itu menjadi uswah (teladan), secara tidak langsung juga memperbaiki mental santri agar memiliki suri tauladan yang baik, bukan hanya itu, pembelajaran yang dilakukan di pondok pesantren selalu mengedepankan akhlakul karimah, sehingga karakter mental akan terbentuk.
Berkaca dari metode pembelajaran di pondok pesantren, terdapat nilai-nilai positif untuk membentuk karakter mental yang baik, mulai dari nilai akhlak, pengetahuan, serta keterampilan juga menjadi nilai lebih tersendiri. Nliai akhlak dapat menjadi pembelajaran tatkala seorang santri menghormati gurunya, bukan hanya disaat melakukan kegiatan belajar mengajar, melainkan di setiap waktu menghormati guru merupakan hal mutlak.
Begitu juga dengan pengetahuan, setiap hari para santri tak lepas dari buku dan pena, saling bermusyawarah serta berdiskusi pelajaran adalah rutinitas yang tidak bisa ditinggalkan. Apalagi soal keterampilan, mulai dari ekonomi seperti marketing adalah kebiasaan bagi penjaga koperasi, ataupun ilmu pertukangan yang sudah melekat bagi para sie pembangunan, peternakan dan perikanan keahlian khodim-khodim pengasuh pondok pesantren.
Terakhir, pada hakikatnya mental seorang manusia dengan lingkungan sosial itu saling mempengaruhi, bisa jadi karakter mental akan terbentuk baik, ataupun terbentuk buruk. Karenanya, mental seorang manusia harus dibentuk sedari masa kanak-kanak, remaja, hingga dewasa nanti, jika ini berhasil, maka sikap tanggung jawab, saling bertoleransi hingga menciptakan nuansa harmoni, cinta ilmu dan etos kerja akan terwujud dalam nilai mentalitas yang berkarakter, dan pesantren telah menjawab persoalan ini.
Wallahu A’lam.