Shafar telah berlalu, berganti Rabi’ul Awal yang ditunggu-tunggu. Bulan mulia dimana umat Islam memperingati kelahiran Sang Baginda, Sayyidul Anbiya, Nabi Muhammad SAW.
Moment Maulid Nabi yang biasa diadakan setiap tanggal 12 Rabi’ul Awal ini selalu disambut dengan bahagia oleh masyarakat di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia, masyarakat di berbagai daerah merayakan Maulid Nabi dengan beraneka ragam tradisi, seperti; Grebeg Maulid di Kesultanan Yogyakarta, Kirab Ampyang di Kudus, Perayaan Meuripee di Banda Aceh, dan lain sebagainya.
Tradisi ini diadopsi dari Ulama-Ulama terdahulu yang mengadakan perayaan Maulid Nabi sebagai bentuk rasa cinta dan penghormatannya kepada Baginda Nabi Muhammad SAW, diantaranya;
Perempuan bernama Khoizuran atau dikenal dengan nama Jurasyiyah. Beliau merupakan Istri dari Khalifah Manshur al-Abbas atau dikenal dengan Khalifah al-Mahdi. Ibunda dari Khalifah Harun ar-Rasyid ini sangat senang ber-maulidan.
Setiap bulan Rabi’ul Awal, Beliau datang mengunjungi Madinah, kemudian mengumpulkan orang-orang ahli Madinah di Masjid Nabawi untuk membaca qosidah dan syi’ir-syi’ir yang mengagungkan Baginda Nabi Muhammad SAW. Tak hanya itu, Beliau juga membagi-bagikan ‘berkat’ berupa makanan dan hadiah bagi setiap orang yang hadir dalam acara tersebut. Setelah mengadakan acara di Madinah, Beliau berpindah ke Kota Mekkah dan melakukan hal yang sama di Masjidil Harom.
Kiprah Khaizuran sebagai Permaisuri dari seorang Khalifah mampu menjadikan Khilafah Abbasiyah semakin kuat dan mampu ber-ekspansi hingga Negara-Negara Eropa lainnya. Begitu pula Kejayaan Dinasti Abbasiyah dibawah kuasa Khalifah Harun ar-Rasyid. Hal ini tidak lepas dari Barokah Ibundanya yang senang melanggengkan acara maulidan.
Dalam pertempurannya melawan tentara Salib, Beliau memerintahkan kepada para pasukannya untuk membaca qosidah dan syi’ir-syi’ir yang mengagungkan Rasululloh SAW. Pada saat itu, pasukan tentara sedang ‘loyo-loyo’nya, namun setelah memenuhi titah Sang Jenderal (Sholahuddin al-Ayyubi), semangat mereka semua kembali menyala.
Beliau merupakan Penguasa pertama yang mengadakan seremonial perayaan Maulid Nabi. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Imam Jalaluddin Abdurahman as-Suyuthi (w. 991 H) dalam kitabnya;
وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ فِعْلَ ذَلِكَ صَاحِبُ اِرْبِل الَملِكُ الْمُظَفَّر أَبُوْ سَعِيْد كُوْكْبَرِي بِنْ زَيِنِ الدِّيْنِ عَلِي اِبْنِ بَكْتَكينْ أَحَدُ الْمُلُوْكِ الْأَمْجَادِ وَالكُبَرَاءِ الْأَجْوَادِ وَكَانَ لَهُ آثَارٌ حَسَنَةٌ، وَهُوَ الَّذِي عَمَّرَ الجَامِعَ الْمُظَفَّرِي بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ
“Orang yang pertama kali mengadakan seremonial itu (maulid nabi) adalah penguasa Irbil, yaitu Raja Muzhaffar Abu Said Kuukuburi bin Zainuddin Ali ibn Buktitin, salah seorang Raja yang mulia, agung, dan dermawan. Beliau juga memiliki rekam jejak yang bagus. Dan Beliau adalah orang yang meneruskan pembangunan Masjid al-Muzhaffari di kaki gunung Qasiyun.” (Kitab al-Hawi lil Fatawi, [Beirut, Darul Fikr: 2004], juz 1, hlm. 182).
Raja Muzhaffar memperingati Maulid dengan menyembelih ribuan kambing dan sapi untuk dijadikan ‘berkat’ dan dibagi-bagikan kepada siapapun yang hadir dalam acaranya. Selain itu, Beliau juga memberikan hadiah besar kepada orang yang menuangkan pujiannya kepada Baginda Nabi dengan bentuk karya, salahsatunya adalah Imam al-Muhaddits al-Musnid Abul Khattab Ali bin Muhammad, yang dikenal dengan Ibnu Dihyah al-Kalbi (w. 633 H). Beliau mempunyai karangan berupa Kitab التنوير في مولد السراج المنير والبشير النذير yang khusus membahas Maulid Nabi.
Dan masih banyak lagi Ulama’ yang mengadakan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW dengan pengagungan dan penghormatan maksimal, seperti Al-Muiz Lidinillah. Seorang Ulama’ Dinasti Fatimiyyah yang memimpin pada periode ke-4 di daerah Mesir.
Wallahu a’lam.