Kabar Alumni Al-Mahrusiyah: Mas Bagus Sigit Setiawan Penulis Buku ‘Santri Surakartans’ dan Pemerhati Sejarah #2
Tentang Santri Surakartans
Pasca perang Jawa dan munculnya politik etis, masuklah pendidikan sekuler di lingkungan Keraton. Sebagian dampak buruk dari pendidikan sekuler ala kolonial tersebut adalah upaya mengaburkan identitas Keraton yang sejarahnya dekat dengan dunia santri. Bahkan semua raja, putra raja, kerabat keraton dan Pujangga keraton itu santri semua, produk pendidikan pesantren. Nah dampak tersebut terus menjadi pemahaman menyimpang sampai sekarang, seakan-akan keraton itu tiada hubungannya dengan santri, kemudian orang yang memakai Blangkon, Surjan, dan atribut keraton itu seakan-akan tidak mewakili tradisi pakaian dalam kerajaan Islam. Nah atas alasan inilah Mas Sigit mencoba mengangkat lagi catatan-catatan penting dari para sejarawan, dan budayawan, seperti Kiai Agus Sunyoto, Kiai Ahmad Baso, Nancy K. Florida, Kiai Nur Khalik Ridwan, dan Irfan Afifi, yang dalam banyak tulisannya menegaskan bahwa keraton tidak bisa dipisahkan dengan tradisi santri.
“Lewat Buku Santri Surakartans, saya ingin mengembalikan ingatan bahwa segila apapun orang berusaha memisahkan keraton dengan santri tetap tidak bisa, karena banyak catatan yg menunjukkan kedekatan itu. Seperti Sunan PB X yang mendirikan madrasah yang diberi nama Mamba’ul Ulum untuk menandingi atau mengimbangi dominasi sekolah-sekolah kolonial, kemudian Sunan PB X yang murid tarekat Syadzilyah, lalu juga banyak membangun masjid di banyak tempat di wilayah kekuasaannya” Terang Mas Sigit dengan semangat meskipun semesta mulai meredup pada sore itu.
Mas Sigit memberikan bukti lagi bahwa keraton identik dengan santri dengan melanjutkan tradisi Islami, seperti Sekatenan, Grebeg Maulud, malam satu suro serta peninggalan sejak zaman Demak, Pajang dan Mataram Islam. Hal ini jelas tidak bisa dikesampingkan sebagai bukti bahwa keraton sangat Islami.
Halangan Menjadi Penengah
Posisi kita, menurut Mas Sigit, sebagai santri NU dan kebetulan tinggal di Surakarta, adalah berdiri di antara dua ekstrim. Pertama, adalah Ekstrim Kanan, kelompok puritan, yang berusaha memurnikan ajaran Islam, dan yang menganggap bahwa ajaran Islam itu tidak boleh direcoki atau diperkeruh dengan tradisi lokal. Gerakan purifikasi ini meyakini bahwa tidak boleh kebudayaan mencampuri agama islam. Menurut kelompok kanan ini, harusnya islam persis seperti yang ada di Arab pada zaman masa permulaan Islam.
Kedua, menghadapi kelompok ekstrem Kiri, yaitu kelompok yang sering menyebut dirinya dengan kejawen, yaitu para penganut ajaran yang disebut ajaran adiluhung kebatinan Jawa, penganut laku hidup orang Jawa, yang menganggap bahwa keraton itu pelanjut ajaran luhur Jawa, bukan pewaris ajaran Islam, jauh dari tradisi santri, dan yang berkaitan dengan santri. Menurut mereka, keraton itu warisan dari tradisi dan kebudayaan pra-Islam, yang tidak mengenal tradisi santri. Mereka menganggap bahwa campur tangan Islam didalam tradisi keraton mematikan keagungan tradisi Jawa. “Sehingga marak orang-orang mengenakan blangkon, Surjan, Kulik, tapi sangat benci dengan Islam, sangat benci dengan santri, seakan-akan dia membawa pesan dari Brawijaya V seperti itu.
“Lha kulo di tengah-tengah itu, bertahan menghadapi dua sisi ekstrem ini” Tutur Mas Sigit.
Mas Sigit mengungkapkan salah satu faktor urgen santri harus menulis itu adalah untuk menanggapi tradisi keilmuan Barat yang menolak segala pendapat ataupun catatan sejarah yang tidak menyertakan bukti tertulis. Yang sebenarnya hal itu berbalik dengan tradisi pesantren yang sering masih memberi tempat pada sejarah tutur, gethok tular cerita atau riwayat yang disebarkan dari mulut ke mulut, dari kuping ke kuping. Sejarah oral seperti itu tidak diterima oleh tradisi keilmuan Barat. Selain tetap mempertahankan tradisi tutur, disisi lain kita tidak perlu melawan tradisi teks ala Barat, kita turuti saja, apalagi kita punya kemampuan itu
“Sehingga yang harus dilakukan adalah, kita tetap mendengar kiai ceramah, lalu kemudian ditulis, dialihkan ke dalam teks. Untuk bisa mejadi teks yang dimaui tradisi Barat. Cerita atau riwayat yang kita tulis sekarang ini, nanti 50 tahun kedepan menjadi bisa diakui sebagai sumber primer. Nah tugas saya salah satunya ya menulis itu, untuk menjawab permintaan Barat, juga untuk merawat riwayat dan pemikiran para sesepuh, para masyayikh.” Jlentreh Mas Sigit dengan energik.
Mas Sigit mencontohkan buku yang merekam kisah tiga tokoh Lirboyo, yang terbit pada tahun 2010 silam, yang bersumber dari cerita tutur para alumni yang sudah menjadi Kiai di rumahnya, ini jelas nanti menjadi sumber primer atau rujukan untuk menggali sejarah Lirboyo.
Kisah-kisah laku Kiai itu kalau sudah dibukukan bisa menjadi sumber primer yang berguna. Mas Sigit juga berpesan: “Santri tidak harus menulis pemikirannya sendiri atau opini yang berat-berat. Dawuh, ceramah, dan keputusan-keputusan penting kiai itu juga perlu dicatat, ditulis”.
Tips Menulis Ala Mas Sigit
“Modal menulis itu pertama peka dengan keadaan yang ditemui, peka lingkungan. Kepekaan ini membutuhkan sensitivitas indera. Kemudian juga harus banyak baca. Jadi ibarat bedil, menulis itu amunisinya indra yang peka, yang mampu cepat menangkap situasi dan banyak membaca. Bahan bakarnya membaca dan menangkap kondisi sosial.” Begitu tips dari Mas Sigit
Petang hari memberhentikan pembahasan diskusi kami yang mencapai 88 menit. Selain membahas literasi, Sebenarnya saya juga menerima kisah-kisah keluarga Mas Sigit dan kedekatannya dengan dzuriah Al-Mahrusiyah. Namun cukup ini dulu yang bisa saya sampaikan kepada pembaca. Sekian Wallohua’lam.