Kabar Alumni Al-Mahrusiyah: Mas Bagus Sigit Setiawan Penulis Buku ‘Santri Surakartans’ dan Pemerhati Sejarah #1
Senja hari di Bumi Kartasura saya mendapat Telepon dari Mas Bagus Sigit Setiawan Alumni Al-Mahrusiyah tahun 2003, Penulis Buku ‘Santri Surakartans’ sekaligus pemerhati sejarah santri dan kebudayaan, sebelumnya memang sudah janjian bertemu di Masjid Darussalam Gerjen, sebuah masjid yang masih satu lingkungan dengan Pondok Pesantren Mahasiswa Darussalam, asuhan KH Aminudin Ihsan Lc. MA. Untuk berbagi ilmu tentang literasi, lantas saya yang masih evaluasi selepas acara HBH Santri-Alumni Al-Mahrusiyah wilayah Jogja-Solo Raya langsung menuju masjid.
Matahari memang mau tenggelam, namun semangat Mas Sigit -begitu saya menyapa- malah memuncak ketika diajak diskusi tentang literasi. Perawakannya begitu gempal, dibalut dengan pakaian batik dan peci hitam, menunjukkan dan mengamalkan sesuai dengan buku yang ia tulis,’Santri Surakartans’. Sebuah buku yang nanti menjadi topic obrolan kita. Sebagai santri yang se-almamater, saya menanyakan latar belakang mas sigit mondok di Al-Mahrusiyah (dulu masih bernama HM Putra).
“Setelah dari Al-Muayyad, Ibu dan Bapak kulo niku bingung anaknya mau disekolahkan dimana lagi gitu. Ibu itu alumni Pesantren Buntet, terus Bapak niku asli Cirebon, lha rumah saya dulu sering disinggahi kiai-kiai saking Buntet, termasuk Kiai Fuad Hasyim, Yai Fuad niku Rekomendasi, ‘udah mondok di Gus Imam saja’” Jelas Mas Sigit.
Mas Sigit di Al-Mahrusiyah menghuni kamar M.05, Lorong Al-Ghozali. Nah, uniknya penamaan lorong di Pondok Al-Mahrusiyah itu dulu bermula ditahun 2002 ketika ada lomba pertandingan Sepakbola nah setiap kesebelasan memerlukan nama, maka lahirlah nama-nama kesebelasan Al-Ghozali, As-Syafi’i, Ibnu Qoldun, Ibnu Sina, Al-Jabbar dan Al-Farobbi yang sampai sekarang menjadi nama-nama Lorong di Al-Mahrusiyah,
“Itu justru menjadi pananda bahwa waktu itu kecenderungan santri memilih nama apa berararti kecenderungan santri itu pemikirannya kemana gitu, kenapa kok memilih nama Al-Ghozali berarti kecenderungan Lorong itu Tasawuf gitu. Saya pikir ada hubungannya” bebernya.
Jatuh Cinta dengan Literasi di Pondok Al-Mahrusiyah
Obrolan kami berlanjut agak serius mengenai kapan Mas Sigit mulai jatuh cinta pada dunia literasi. Mas Sigit membeberkan bahwa di Al-Mahrusiyah lah bibit jatuh cinta dengan literasi itu tersemai. Perputaran arus kebudayaan yang bertemu di Pesantren berpengaruh pula pada keterbukaan pikiran di pesantren,
“Di Lirboyo itu saya mengenal bacaan yang saya yakin teman sebaya di sekolah umum itu tidak membaca, sedangkan saya di Pesantren sudah membaca. Seperti waktu itu saya sudah baca buku karya Umar Kayam “Mangan Ora Mangan Kumpul”, dan beberapa karya tulis lain, kawan di rumah belum banyak tahu, itu membantu saya dan itu embrio lah” Terangnya sambil membiarkan puntung rokonya memanjang karena saya tidak kepikiran mencarikan asbak.
Lingkungan di kamar juga berpengaruh terhadap pandangan literasi Mas Sigit, “Menariknya HM Putra itu tidak dipisahkan antara yang tua dengan yang muda, kecuali Aliyah dengan Tsanawi, dulu Aliyah dengan kuliah itu satu kamar, sehingga bacaan teman-teman yang sudah kuliah itu juga dibaca oleh teman-teman yang masih duduk di bangku Aliyah. Lha itu, pemantiknya disitu.” Kenangnya.
Mas sigit beranggapan bahwa pesantren menyediakan beragam bahan-bahan untuk dijadikan tulisan, baik teks maupun khazanah dan laku yang ada di pesantren. Mas Sigit mencontohkan laku Masyayikh Lirboyo seperti Mbah Yai Imam, yang saat itu beternak kuda, Yai Zam beternak sapi perah, Gus Ma’sum dengan tanaman Blimbingnya sampai adab mbah Yai Zam yang begitu tawadhu’nya ke Yai Imam. Laku tersebut menjadi penanda bahwa beribadah itu tidak harus ke masjid atau pengajian. Berternak dan bertanam itu juga termasuk bagian dari ibadah. Serta masih banyak lagi laku lampah masyayikh Lirboyo yang menyimpan arti mendalam untuk dijadikan sebuah bahan tulisan.
Saking komplitnya bahan tulisan di Lirboyo, Mas Sigit sampai memvonis santri Lirboyo kok tidak akrab dengan literasi itu lucu,
“Nah itu Lirboyo komplit, makanya kalau wong Lirboyo (santri/alumni) kok gak iso nulis atau tidak akrab dengan tulisan itu lucu” Terangnya. Jatuh cinta dengan literasi hingga daya berpikir kritis Mas Sigit benar-benar tertanam ketika di Pondok Al-Mahrusiyah. Karena faktor lingkungan pergaulan dengan santri mahasiswa, hingga kehidupan sosial santri dan Kiai di pesantren membangkitkan pola pikir Mas Sigit.
Pandangan Mas Sigit Mengenai Literasi di Kalangan Nahdlatul Ulama
Menurut Mas sigit, literasi itu sangat penting apalagi kultur NU, “Lirboyo ini bagian dari rumah besar NU, kultur NU itu akrab dengan dunia literasi. Hampir semua tokoh penting NU zaman dahulu menulis, tidak ada yang tidak, Gus Dur menulis, KH Wahid Hasyim, Kiai Syaifudin Zuhri, KH. Hasyim As’ari, Kiai wahab menulis. Para sesepuh kita menulis semua dan tulisan itu sangatlah penting? Karena dengan ditulis maka gagasan menjadi abadi, mampu melintasi zaman.” Tegas Mas Sigit sambil membuang puntung rokoknya yang kepalang panjang.
Mas Sigit mencontohkan karya Imam Ghozali, Ihya’ Ulumuddin sejak abad ke-12 masih dikaji sampai sekarang. Kultur NU mestinya akrab dengan tulisan, kalau tidak berarti aneh, anehnya karena tidak mengikuti tradisi para pendahulu. Mas Sigit menyatakan lagi, bahwa tidak banyak organisasi yang memiliki kultur menulis sebagus NU.
Bersambung di Part ke-2 Kabar Alumni Al-Mahrusiyah: Mas Bagus Sigit Setiawan Penulis Buku ‘Santri Surakartans’ dan Pemerhati Sejarah #2