2005.
“Mah, Abang!”
Adikku menangis seraya menunjuk-nunjukku. Tepatnya pada mainan robotku. Aku tau, ia menginginkannya. Tapi, aku juga lebih menginginkannya. Makanya tak kuberi. Biarlah ia menangis.
Tak lama, Ibu datang karena tangisannya, Jamal, Adikku. Ibu memarahiku. Aku dimarahinya. Memang aku salah apa? Itu mainan yang kubeli dari hasil menabungku selama ini. jadi wajar saja apabila aku main. Itu milikku. Tapi, tetap saja aku yang dimarahi. Jelas-jelas Jamal yang merampas hakku. Ibu malah membela.
“Abang harus mengalah pada adik.” Begitulah ucapnya. Tak baik. Sudah mengajarkan dictator sejak dini.
Aku berikan. Mengalah.
***
2010.
“Andi!” Suara Ibu memanggilku.
“Iya, ada apa, Bu?” Jawabku dari kamar.
“Tolong belikan gas di warung, Ibu mau masak gasnya habis.”
“Jamal saja, Bu. Aku lagi mengerjakan tugas!”
“Kamu saja, kasihan dia lagi main dengan temannya.”
Astaga. Apa aku tak salah dengar? Kasihan katanya? Memang di setiap kesempatan kadang Ibu menyuruhku untuk berbagai hal. Okelah tak apa. Di beberapa kesempatan masih aku terima. Tapi, ini? ibu lebih memilih menyuruhku dan padahal jelas-jelas aku sedang mengerjakan tugas sekolah. Sedangkan Jamal ada dan sibuk main di ruang tengah dengan temannya. Dan Ibu mengasihaninya. Bilang kasihan untuk itu. Bukan main.
Aku beranjak memenuhi panggilan Ibu. Membawa tabung gas kosong dan meminta uangnya. Jika kamu tanya, apakah aku ikhlas? Rela? Terpaksa? Tentu aku terpaksa. Aku sedang belajar dan Jamal sedang bermain, tapi Ibu lebih tetap menyuruhku. Tak habis piker.
“Abang harus mengalah pada adik!” Ucapnya.
Aku berlalu. Mengalah.
***
2013.
Matahari pagi semakin cerah dan semakin menunjukkan panasnya. Hari senin adalah jadwalnya upacara. Dan sekarang sudah 5 menit sebelum gerbang sekolah ditutup dan terlambat. Aku harus bergegas. Buku pelajaran siap, pakaian rapih, dan mengingat apa yang tertinggal. Dirasa cukup, aku siap berangkat. Saat aku ingin melajukan motorku, Ibu memanggil.
“Andi, kamu antar dulu ini Adikmu. Sudah terlambat dia!”
Apa? Sisa waktu 5 menit dan harus mengantar Jamal terlebih dahulu? Apa aku tak salah dengar? Menuju sekolahku saja ragu untuk tepat waktu. Apalagi harus mengantar Jamal ke sekolahannya yang jauh dan beda arah. Auto terlambat. Harus siap hormat bendera sampai jam istirahat. Apa kata orang?
”Aku juga sudah mau terlambat, Bu. 5 menit lagi!”
”Kamu antar saja dulu adikmu. Naik motor kan cepat. Kasihan dia!”
”Tapi,” kalimatku menggantung tak bisa menolak.
”Nggak ada tapi. Cepat naik, Jamal!”
Jamal dengan tasnya segera naik di jok belakang motorku. Aku bersalaman. Ia bersalaman. Kami bersalaman. Pada ibu.
”Abang harus mengalah pada adik!”
Aku melaju. Mengalah.
***
2016.
Aku mondar-mandir. Pagi ini aku harus bergegas cepat untuk acara tasyakuran keluarga. Kesiapan acara masih jauh dari siap dan aku penanggung jawabnya. Jika seminggu atau dua minggu masih okelah. Masih ada Tarik nafas sedikit. Ini acaranya besok. Iya, besok pagi. Sebenarnya aku hanya kebagian mengusurusi tamu undangan dan Jamal lah yang penanggung jawab acara. Tapi, tiba-tiba ia pergi ke puncak. Katanya, ada jadwal pecinta alam mendadak. Dan aku lah yang terjebak. Mengurus beban itu. Ditimpakan padaku.
Aku sebelumnya sempat menolak dan berdebat mengenai ini. Bukan karena apa, hal ini perlu pemikiran dan tanggungjawab. Ini acara penting. Tapi, Jamal yang diserahkan mengurusi ini malah pergi untuk keperluan komunitas pecinta alamnya. Aku sempat mempermasalahkan keputusan Jamal, tapi lagi-lagi Ibu mencegah. Kasian, ini pengalaman untuknya. Sekalian aku belajar bertanggungjawab. Lagi-lagi dan terus. Tak ada alasan untukku melawan.
”Abang harus mengalah pada adik!”
Aku bergegas. Mengalah.
***
Ini tak bisa ditahan lagi. Semua harus terbalas. Sudah 20 tahun aku mengalah padanya. Harta, waktu, tenaga, bajkan, pikiranku untukknya. Aku muak. Benci ini ingin meledak. Kini tak ada penghalang lagi. Tak ada penghalang yang membendungnya. Hari ini harus terlampiaskan.
Kumpulkan semua dendam dan benci. Semua semakin menjadi-jadi saat surat wasiat mengatakan bahwa 80% aset kekayaan dipegang penuh oleh Abdul Jamal.
”Sreeet.”
Bercak darah memenuhi lantai-lantai marmer itu. Merah segar.
”Hahahahaha.”
Tak lama gelak tawaku bersahutan dengan teriak histeris orang banyak. Aku memang selalu mengalah. Tapi, siapa yang akhirnya kalah? Mati.
***