web analytics

Kampung

Kampung
0 0
Read Time:21 Minute, 20 Second

“Jangan bergerak! Nanti belalangnya kabur.”

Masih pagi-pagi sekali, sepasang anak sudah membelah kabut yang masih terasa tebal, juga embun-embun di dedaunan, rumput-rumput, dan beberapa jemuran warga yang lupa diangkat. Suara ayam jago yang bersautan semakin menambah keasrian kampung itu.

“Ini aku udah diam.” Ucapnya lirih.

“Lihat nih, Wi. Kali ini nggak akan lepas.”

Seekor belalang tanah dewasa terlihat diam diantara tanah dan bebatuan yang sedikit lembab. Mereka menyebutnya seperti itu karena warna dari belalang sangat mirip dengan warna tanah yang kecoklat-coklatan. Dengan cara berklamufase itulah belalang tanah sulit untuk dilihat dengan mata. Harus benar-benar fokus.

“Hap.”

Baca Juga: Naum

Jalu menutup rapat kedua telapak kedua tangannya. Berharap belalang incarannya berada di dalam sana. Mereka menatap lekat-lekat telapak tangan Jalu yang menempel pada tanah lapangan tanah yang sedikit berumput itu. Entahlah, mengapa mereka sering menamai sesuatu dengan nama tanah. Aku tak tau. Lalu, Jalu membuka perlahan telapak tangannya untuk memastikan hasil tangkapannya.

“Dapat…Dapat…Aku dapat, Wi.” Ucap Jalu histeris.

“Wah! Mana coba lihat?”

“Nih.”

Belalang itu berhasil ia tangkap.

“Masukin, Lu. Pegangnya hati-hati, nanti kabur.”

Jalu memasukkan belalang tersebut ke dalam sebuah plastik bekas es yang telah berisi beberapa batang pohon kecil dan belalang-belalang lain yang lebih dahulu tertangkap.

“Jago kan aku, Wi?” Tanya Jalu dengan rasa bangga.

“Halah, baru berhasil tangkap 2 aja gaya. Aku yang udah 5 aja biasa.” Ucap Awi sambil tetap mengawasi keberadaan belalang-belalang di sekitarnya.

“Tapi kan, aku berhasil dapat belalang tanah. Sedangkan kamu dari tadi hanya berhasil dapat belalang pocong terus, haha.” Ucap Jalu lebih bangga disertai tawa puasnya.

Baca Juga: Tembok Pemisah

Belalang pocong adalah belalang berwarna hijau dengan bentuk kepala mengerucut seperti pocong. Begitulah mereka menamainya.

“Lihat aja, setelah ini aku akan dapat belalang tanah lebih banyak dari kamu.” Awi penuh semangat.

“Oke, siapa takut!” Ucap Jalu merasa tertantang.

Lalu, mereka menyebar untuk mencari dan mengawasi setiap gerak-gerik dari belalang. Waktu seperti itu memang saat yang tepat untuk menangkap belalang. Udara yang sejuk, juga pikiran yang masih jernih pasti lebih mudah mencari hewan bernama belalang itu. Waktu pagi juga banyak belalang yang keluar dari tempat persembunyiannya untuk mencari makan, apalagi musim penghujan seperti itu. Lapangan luas itu menjadi tempat populasi ratusan atau bahkan ribuan belalang yang hidup bahagia.

Setelah setengah jam lebih, mereka kembali bertemu untuk istirahat dan menunjukkan belalang hasil tangkapan mereka yang didapat dengan berbagai trik dan strategi tersendiri.

“Kamu dapat berapa, Wi? Lihat nih, aku dapat belalang daun 8, belalang pocong 13, dan belalang tanah 5, hebat kan aku?” Ucap Jalu membanggakan dirinya.

Jalu memang dikenal jago dan handal dalam menangkap belalang. Ia memiliki berbagai trik menangkap dan strategi yang jitu dalam hal tangkap menangkap belalang. Intinya jalu tiada tanding dalam dunia perbelalangan. Berbeda dengan Awi yang hanya diam saja. Ia santai tak terpancing sedikitpun dengan kesombongan Jalu, Sang Juara bertahan Raja Belalang.

“Ah, lama kamu, Wi!”

Jalu yang tak sabar segera merebut kantong plastik belalang Awi. Ia buka dan ia lihat hasil tangkapan Awi.

“Apaan, nih? Belalang daun 3, belalang pocong 4, dan belalang tanah 1. Jelas aku yang menang dalam perlombaan kali ini. Tapi, ini apa?”

Baca Juga: Banjir Darah

Jalu melihat sesuatu dalam plastik belalang hasil tangkapan Awi.

“Wah! Ini belalang pelangi. Ada sepasang, lagi! Kamu hebat banget, Wi bisa dapat belalang pelangi. Aku mengaku kalah.” Ucap Jalu penuh takjub sambil melihat sepasang belalang pelangi milik Awi.

Awi tersenyum penuh kemenangan.

Belalang pelangi adalah belalang yang indah dengan berbagai warna yang menghiasi tubuhnya. Belalang ini terkenal sulit ditangkap karena pintarnya mereka bersembunyi dan lincahnya mereka ketika ingin ditangkap. Makanya orang yang berhasil menangkap belalang pelangi begitu dielu-elukan.

“Cari wadah yang lebih besar, belalangnya kita jadikan satu aja.” Ucap Awi memberi ide.

Baca Juga: Anak Singkong

Jalu memperhatikan alam sekitar dengan seksama.

“Tuh, ada toples plastik!”

Jalu mengambil toples plastik itu dan Awi memasukan satu per satu belalang yang mereka dapat sepagian. Mereka juga memberi beberapa pepohonan kecil di dalam toples bertujuan untuk menjadi tempat belalang berlalu lalang dan meloncat-loncat.

“Wah, keren ya, Wi!”

“Iya. Ngomong-ngomong aku bawa pisang goreng. Kita sarapan duli, yuk!”

Baca Juga: Bendera Lusuh

“Kebetulan aku lapar. Dingin-dingin gini makan pisang goreng yang hangat, hm.”

Jalu mulai memandang langit yang menandakan ia sedang menggunakan imajinasinya. Ia suka seperti itu.

Mereka berdua makan pisang goreng di bawah pohon jamblang sambil menikmati suasana lapangan tanah yang tenang. Pepohonan yang rimbun, kabut dan rerumputan yang mengembun, juga dengan para petanai yang mulai berangkat ke kebun. Itu semua mereka nikmati dengan mulut yang terus mengunyah pisang goreng yang masih hangat

“Kamu beli pisang goreng di mana, Wi? Kok, enak banget.”  Ucap Jalu sambil sedikit meniup pisang goreng yang masih mengeluarkan tipis asap.

“Beli? Ini buatan Ibuku! Masakan Ibuku memang selalu enak. Apalagi jengkol balado di tambah nasi hangat, sayur asem, ikan asin, kerupuk, dan sambal. Beuh…”

Awi mulai memandang langit yang menandakan ia sedang menggunakan imajinasinya. Ia suka seperti itu. Seperti Jalu.

“Ah, Wi. Aku jadi lapar.”

“Ini kan kita lagi makan pisang goreng!”

“Oh, iya. Maksud aku, jadi tambah lapar.”

Jalu menyengir dan Awi hanya geleng-geleng kepala.

Baca Juga: Redup

“Wi.”

“Apa?”

“Kalau kamu sudah besar, kamu mau jadi apa?” Ucap Jalu serius. Bahkan, lebih serius dari kunyahannya.

“Aku mau jadi Guru.” Ucap Awi dengan harap yang mendalam.

“Kenapa jadi guru?”

“Aku ingin mencerdaskan anak bangsa, Lu. Agar anak-anak kampung, orang-orang susah seperti kita juga bisa sekolah, bisa kenal pendidikan.”

“Wah, tujuan kamu mulia banget, Wi.”

“Kalau kamu?”

“Aku mau jadi Presiden!”

Jalu berdiri seraya mengangkat tinggi-tinggi pisang goreng yang berjenis pisang tanduk itu.

“Aku akan memakmurkan negeri ini dengan struktur pemerintahan yang akan kujalankan.” Lanjutnya sambil mulai memandang langit yang menandakan ia sedang menggunakan imajinasinya. Ia suka seperti itu.

“Ingat! Jadi Presiden jangan sampai korupsi, harus menepati janji-janji, adil dan teliti, memulihkan ekonomi, dan yang paling penting, JANGAN SEENAKNYA SENDIRI!”

“Iya, Pak Guru.”

Awi tertawa lepas dan Jalu memelas. Pisang gorengnya pun kini ia turunkan, lalu dimakan. Ia kunyah dengan keputus asaan.

Setelah banyak yang mereka bahas. Tentang hidup dan masa depan. Pisang gorengnya pun hanya menyisakan bercak minyak di kantong plastiknya. Dan pisang goreng yang sesungguhnya sudah pindah ke kantong perut masing-masing. Mereka memilih pulang. Tapi,

Baca Juga: Lampu dan Lilin

“Wi, lihat!”

Jalu menunjuk pohon-pohon yang rimbun dengan buah-buahnya yang lebat. Pohon mangga, jambu, rambutan, kecapi, dan buah-buah lain yang memang tumbuh alami atas rahmat Tuhan. Jalu tertarik.

“Lu, kumpulin dulu dong! Jangan dimakanin mulu!” Jalu yang sedang menikmati mangga langsung dari pohonnya yang ia makan dengan giginya. Gragot.

“Iya-iya. Tanggung, Wi.”

Mangga demi mangga terkumpul secukupnya. Yang matang, yang diprediksi manis.

Baca Juga: TJANGKIR

“Wi, menurut kamu ini manis, nggak?” Tanya Jalu yang menyodorkan satu buah mangga yang sedikit menguning.

Awi mengendus mangga itu, ditekan-tekan, dan dilihat batangnya. Entah dapat dari mana ilmu itu. Mungkin insting alam.

“Ini manis, Lu.” Ucap Awi penuh keyakinan.

Setelah sekian lama, dari satu pohon ke pohon yang lain, dan setelah puas mengunyah berbagai macam buah dari beberapa pohon, hasil buah-buah itu mereka kumpulkan pada plastik besar.

“Bawa, Lu!”

Baca Juga: Ampun

“Kenapa aku?”

“Kan, kamu yang dari tadi kerjaannya makanin doang. Aku yang capek ngumpulin.”

“Itu namanya cuci mulut, Wi”

“Cuci mulut tujuh pohon!”

Jangan heran, Jalu seperti itu. Rada-rada.

Baca Juga: Fanatik

Di hari yang menunjukkan hampir siang, mereka beranjak pulang dengan kantong plastik yang dipenuhi buah-buahan matang, tidak lupa dengan belalang. Lalu,

“Dresss…”

Hujan turun dengan derasnya.

“Gimana nih, Wi?” Tanya Jalu sambil menadah tangan.

“Mandi hujan kayaknya seru, Lu! Kamu juga belum mandi, kan?”

Baca Juga: Surya Sebatang

“Hee.” Jalu meringis hingga giginya terlihat. Lebih kuning dari mangga-mangga di plastik itu.

“Tapi, buah sama belalangnya, gimana?”

“Hm, letakan di bawah Pos Ronda aja!”

“Ide bagus!”

Barang hasil berpetualang, mereka letakkan di bawah Pos Ronda, lalu mereka senang dalam hujan.

Baca Juga: MELLIFLOUS

“Wi, lihat! Aku bertapa.”

Jalu duduk bersila di bawah air yang mengalir dari saluran atap rumah Pak Bambang. Mereka menyebutnya kelocoran.

“Aku udah mirip Raden Kian Santang, belum?” Tanya Jalu dengan kepala yang terus ditimpa air.

“Udah, tapi kamu lebih mirip Raden Heru Lestaman.”

“Sial, itu nama Bapakku!”

Baca Juga: Ngamal | Cerpen

“Hahaha.”

Awi yang tertawa puas dikejar Jalu yang tak terima. Berlari saat hujan tak menimbulkan capek. Enak. Nggak keringetan.

Hujan rupanya sangat menyenangkan bagi sepasang anak seperti Jalu dan Awi. Air yang langsung turun dari langit memiliki kesegaran tersendiri. Segala sesuatu yang dilakukan saat hujan terasa lebih mengasikkan dari pada saat matahari benderang. Berlarian dan tertawa saja sudah cukup bikin senang. Bahagia mereka sederhana.

 

***

 

Mereka berkeliling kampung dengan pakaian yang dipeluk hujan, lalu hujan dipeluk riangnya.

“Lihat tuh, Wi! Ada Anto.”

“Ajak main hujan aja, Lu.”

“Anto! Ayo main hujan!” Panggil Jalu pada Anto yang sedang melihat hujan hanya dari jendela.

“Aku takut dimarahin bapak.”

“Tenang! Nanti aku yang bilang.” Ucap Jalu menggampangkan.

“Tapi kan, Bapak Aku galak!”

“Segalak-galaknya Bapakmu, nggak gigit, kan?”

“Hm, nggak, sih!”

“Ayo!”

“Ayo, deh. Tunggu!”

“Yes.”

Jalu dan Awi bertos-an menandakan kesuksesan mereka dalam merekrut TMH (Tim Mandi Hujan).

Anto sudah bergabung dengan mereka dan pawai mandi hujan tetap berjalan. Mereka berkeliling kampung untuk mencari anggota TMH baru. Setelah satu kampung telah mereka jelajahi dan hasilnya TMH memiliki 5 personil; Satu, Jalu anak Pak Heru. Dua, Awi anak Pak Asnawi. Tiga, Anto anak Pak suyoto. Empat, Ikmal anak Pak Kamal. Lima, Rio anak Bu Asih. Ayahnya telah meninggal 1 bulan lalu. Innalillahi. Almarhum Pak Karyo.

Mereka bisa berlima tak lain dan tak bukan atas bujuk rayu Jalu; Raja Belalang, Raja Pisang Goreng, Dan Raja Pos Ronda. Ia raja diraja. Ia Makhluk Tuhan.

Main hujan, itulah tujuan mereka. Apapun mereka lakukan dalam hujan. Intinya main hujan. Dingin. Tapi, persahabatan mereka lebih hangat. Sangat hangat. Dinginnya kalah.

“Kalau hujan deras seperti ini, pasti air rawa lebih penuh.” Ucap Ikmal memberi ide.

“Ngebak kayaknya seru.” Rio menyauti.

Yang mereka maksud dari ngebak adalah berenang. Mereka menyebutnya seperti itu.

Baca Juga: Teras

“Ayo.” Ucap Jalu setuju.

“Ayo.” Ucap Anto setuju.

“Ayo.” Ucap Awi setuju.

“Gludug!” Ucap petir setuju.

“AYO PULANG!” Ucap mereka serempak setuju.

Mereka semua lari dan berlindung di toko sembako Haji Muhidin. Menunggu sampai sekiranya aman dari petir. Ngapain juga petir ikut-ikut jawab. Kan dia nggak diajak. Setelah ditunggu, petir tak bersuara lagi. Itu adalah petir pertama dan terakhir. Entahlah, ada apa dengan langit. Nggak jelas. Ganggu main orang aja.

Rencana mereka untuk ngebak kembali pulih. Mereka berangkat dengan sisa hujan yang turun.

“Jubarrr.”

Jalu memulai permainan ini di rawa yang cukup luas. Tak begitu dalam. Mereka membayangkan Waterboom.

“Ayo! Nggak dalam, kok.” Jalu memanggil teman-temannya yang masih berdiri di tepi rawa.

“Teman-teman pulang, yuk!” Ajak Awi.

“Yuk!” Ucap Anto, Ikmal, dan Rio setuju.

“Woy! Gimana ini? aku baru nyebur loh. Ah, kalian mah.” Jalu memelas.

“Hahaha.”

Mereka semua tertawa, kecuali Jalu yang dikerjai. Lalu, satu per satu suara ‘Jubarrr’ terdengar. Meskipun kurang satu.

Baca Juga: Surya Part 2

“Rio! Ayo ikut ngebak bareng kita.” Ucap Anto yang melihat temannya yang sedang melihat mereka berenang. Rio melihat mereka. Mereka melihat Rio. Mereka lihat-lihatan.

“Rugi kamu!” Ucap Ikmal sambil salto.

“Rugi mah kalau kondangan nggak makan!” Timpalnya.

Rio memang tidak bisa berenang. Tak handal seperti teman-temannya. Mungkin berat badannya lah yang tak mengizinkannya.

Di luar dari Rio, ada keseruan antara air rawa dan empat anak perenang hebat yang menunjukkan gaya renangnya masing-masing. Sekali lagi, mereka perenang hebat.

Baca Juga: Lalang Hilang

“Ayo yang punya gaya renang, tunjukkan dong!” Ucap Jalu menantang.

“Siapa takut!” Ucap Anto menerima tantangan.

Anto menunjukkan renangnya.

“Wah, gaya katak.” Ucap mereka serempak.

“Sekarang aku.”

Ikmal menunjukkan renangnya.

“Wah, gaya dada.” Ucap mereka serempak.

“Giliran kamu, Wi.” Jalu memanggil Awi.

Awi menunjukkan renangnya.

“Wah, gaya bebas.” Ucap mereka serempak.

Baca Juga: Aku Kau dan Maut

“Jalu, coba sekarang giliran kamu!” Ikmal tak sabar ingin melihat gaya renangnya Jalu.

Jalu menunjukkan renangnya.

“Yah, itu mah gaya batu!” Ucap mereka serempak seraya menyipratkan air ke wajah Jalu.

“Bercanda! Nih, lihatlah!”

Jalu kembali menunjukkan renangnya.

Kali ini Jalu serius. Ia benar-benar hebat dalam berenang. Semua gaya renang ia praktekkan. Mulai dari gaya bebas, dada, katak, punggung, kupu-kupu, hingga salto-saltoan yang membuat teman-temannya takjub. Ia memang hebat.

“Ini baru temanku! Hebat kamu, Lu. Ngomong-ngomong siapa yang yang ngajarin?” Tanya Anto yang penasaran.

“Nggak tau. Aku bisa sendiri. mungkin gara-gara dulu Ibuku ngidam Kue Cucur.” Ucap Jalu dalam-dalam.

“Apa hubungannya?” Ikmal garuk-garuk kepala.

“Kue cucur kan manis, hangat, dengan tekstur tengahnya yang smooth dan tepinya yang crispy, hm.”

Jalu mulai memandang langit yang menandakan ia sedang menggunakan imajinasinya. Ia suka seperti itu.

“Lah?” Anto tak habis pikir dengan Jalu. Dan Ikmal semakin kencang menggaruk kepalanya.

“Udah, To.”

Awi yang sudah mendarah daging dengan Jalu, menepuk-nepuk bahu Anto menenangkan. Seakan memberikan pesan tersirat.

“Sabar, To. Jalu emang agak rada-rada!”

Setelah hujan reda dan mereka sudah kedinginan, kegiatan main air sepakat mereka hentikan. Menimbang Rio juga yang sedari tadi telah diserang komplotan nyamuk rawa di tepi. Rio tepak-tepok.

Anak-anak senang itu berjalan pulang melewati sudut-sudut kampung sambil menikmati suasana asri kampung itu. Menghirup udara segar, mendengar suara dedaunan bergesekkan, juga sesekali bertegur sapa dengan warga kampung yang tak sengaja mereka temui di sepanjang jalan.

“Hei, aku lapar, nih!” Ucap Rio mengelus-elus perutnya.

“Kamu lapar, Yo? Aku ada ide!” Jalu cepat menanggapi.

“Yah, kamu kesalahan besar, Yo.” Ucap Anto yang kini sudah mengenal siapa itu Jalu. Pasti ini ide gila.

Baca Juga: Asin Air Mata

Mau tak mau mereka berempat harus mengikuti ide Jalu tentang Rio yang lapar. Mereka mulai menerka-nerka apa yang akan Jalu lakukan kali ini.

“Palingan projek cilok Mang Asep.” Bisik Ikmal.

“Ya, kalau nggak invasi gorengan Mpok Arti.” Anto ikut-ikut.

“Mpok Arti kan lagi hamil, pasti warungnya  tutup.” Rio menimpali.

“Tapi, Bang Mamat kan ada.” Anto masih kepo dengan Mpok Arti and The Family.

Baca Juga: Daster

“Dengar-dengar nih, ya. Bang Mamat udah pergi dari rumah. Terus lanjut kerja di perusahaan tambang di Kalimantan. Pasti ada sesuatu!” Ikmal memperpanjang pembicaraan dengan info yang nggak tau ia dapat dari mana. Efek nonton gosip selebriti.

Awi hanya mendengarkan teman-temannya ngerumpi tipis-tipis mengenal huru-hura keluarga Mpok Arti dan Bang Mamat. Pembicaraan itu terus berlanjut sampai Jalu telah memberi aba-aba untuk berhenti.

“Sampai.” Ucap Jalu seraya merentangkan tangan seperti orang yang sedang memberi kejutan.

“Kebun singkong Engkong Templang, kita mau ngapain?” Tanya Rio yang belum mengerti alur pemikiran Jalu. Rio akan seperti Anto. Dan Engkong adalah kakek yang diambil dari Bahasa Betawi.

“Udah jangan banyak tanya, ikut komando! Anto, kamu ambil kelaras pisang. Ikmal, kamu gali lubang di sini. Awi, kamu cari kayu bakar kering. Dan Rio, kamu ikut aku!” Perintah Jalu bak pemimpin yang sedang mengatur strategi perang. Ia cocok jadi presiden. Presiden kebun singkong.

“Kelaras itu apa?”

Anto bertanya pada Jalu. Maklum dia memang orang pendatang di kampung itu. Dari namanya bisa ditebak dari mana ia berasal.

“Kelaras itu daun pisang kering, Anto anak Pak Suyoto yang kalau makan nasi uduk bisa habis 3 bungkus.” Jawab Jalu dengan wajah yang dimanis-manisin.

“Heh, kalau ngomong dijaga! Bukan 3 bungkus.” Bela Anto.

“Lalu?”

Baca Juga: Keringat Surga

“4 bungkus!”

“Waduh!” Jalu menepak dahinya dan yang lain tertawa.

Misi dimulai. Hingga, lubang sudah digali kelaras dan kayu kering sudah terkumpul, lalu Tim Jalu dan Rio sudah mencabut 3 pohon singkong mentega milik Engkong Templang!

Kayu-kayu kering telah disusun dengan kelaras pada lubang yang telah disiapkan. Api dinyalakan. Ketika sudah waktunya, singkong-singkong mentega itu dimasukkan ke lubang. Asap mulai mengudara di balik pohon-pohon singkong yang rimbun. Di sana ada perapian sekelompok manusia-manusia yang kelaparan. Alam menyediakan segalanya untuk mereka.

25 menit, perapian menyisakan bara-bara kecil. Kulit-kulit singkong itu pun telah menghitam menandakan singkong ala kadar siap disantap. Singkong-singkong itu dikeluarkan dari perapian, didiamkan, lalu dikupas dan dimakan dengan membaca do’a yang mereka hafal dari pengajian kampung di waktu maghrib. Tubuh yang yang dingin karena hujan dari air rawa, juga dengan panggilan kroncongan dari perut langsung dibungkam oleh singkong mentega yang hangat. Rio paling lahap.

Ketika mereka sedang sibuk dengan singkongnya masing-masing, tiba-tiba

“Woi! Pada ngapain lu disitu?” Suara keras itu terdengar dari luar pohon singkong. Seperti suara kakek-kakek.

“Itu Engkong Templang, LARI!”

Jalu Sang Pemimpin Komando malah lari duluan, menyebabkan para prajuritnya pun ikut lari. Bagaimana tak lari, Engkong Templang yang sudah emosi karena 3 batang pohon singkongnya dicabut, mengacungkan parang kepada para penyusup kebunnya.

“Awas aja kalo ketemu, GUA BACOK LU! Bocah-bocah bader.”

Bader berarti nakal. Kalimat itu diucapkan oleh Engkong Templang dengan penuh urat. Pohon singkong yang sudah ia urusi capek-capek harus dicabut Cuma-Cuma oleh anak-anak yang tak tau keringat orang sepuh. Engkong Templang sangat menyayangi pohon-pohon singkongnya.

Hari semakin gelap. Sore hari telah tiba, anak-anak itu kembali ke rumahnya masing-masing agar Ibu dan bapak mereka tak risau. Pastinya harus mencari alasan yang logis, kalau tidak, habis telinga panas diceramahi. Dasar anak bader!

Adzan maghrib terdengar, warga kampung dari tua hingga muda bebarengan pergi ke Mushola untuk sholat berjama’ah. Setelah selesai, mereka bersalaman, berzikir, dan dilanjut pengajian baca Al-Qur’an yang dipimpin oleh Ustadz setempat untuk anak-anak kampung. Termasuk Jalu and The Geng. Ada yang baca Al-Qur’an, Iqro, hafalan Juz Amma, juga do’a sehari-hari. Suasana keislaman begitu terasa di kampung itu.

 

***

 

Hari esok, matahari masih terbit dari timur dan terbenam di barat. Cahayanya pun tetap. Tetap panas. Cahayanya yang menyinari bumi dan makhluknya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya masing-masing. Tumbuhan untuk berfotosintesis, hewan untuk berjemur badan, dan manusia salah satunya untuk menjemur baju. Bahkan, ada sebagian manusia yang menggunakan sinar matahari untuk senang. Seperti, Jalu dan Awi.

Setelah sarapan di rumah dan dengan sanak keluarga masing-masing, Jalu dan Awi tetap mencari kesenangan lewat keelokan alam kampungnya yang telah tuhan berikan. Mereka ingin main. Tapi, main berdua rasanya kurang seru. Jalu dan Awi mengajak teman-temannya yang lain, termasuk alumnus TMH. Tapi, yang ada hanya Anto dan Ikmal. Rio pergi liburan dengan keluarganya. Musim liburan sekolah seperti ini memang tepat digunakan untuk berlibur dengan sanak keluarga dan saudara.

Akhirnya mereka berempat tetap main. Entah main apa!

“Kita mau main apa?” Tanya Ikmal.

“Aku ada ide!” Ucap Jalu cepat.

“Kali ini idenya benar, nggak? Ntar malah diacungi parang lagi seperti kemarin.” Ikmal mengingat-ngingat kejadian kemarin.

Semuanya tertawa.

“Nggak…Nggak, kali ini nggak akan seekstrim kemarin.” Ucap Jalu dengan sisa tawanya.

“Oke.” Ikmal menyetujuinya.

Baca Juga: Mimpi

Mereka semua mengikuti langkah Jalu. Lalu, berhenti di kebun pisang milik Haji Nusih.

“Kita mau apa?” Tanya Anto penasaran.

“Kita akan main perang kedebong!”

Kedebong adalah batang daun pisang yang akan digunakan untuk membuat tembak-tembakan. Setiap dari mereka memilih kedebongnya masing-masing. Kedebong itu dibentuk dengan kreativitas tanpa batas menggunakan cutter yang Jalu bawa, juga dengan karet-karet.

Semuanya telah jadi. Cara mainnya beregu. Jalu dengan Awi dan Ikmal dengan Anto. Setiap dari player diberi 3 karet sebagai peluru. Ketika salah seorang player terkena, maka langsung gugur.

Baca Juga: Pulangku Hijrah

Perang dimulai. Tim Jalu dan Awi menggunakan strategi berpencar, lalu Tim Ikmal dan Anto menggunakan strategi bersatu.

“Mal, kita harus tetap bareng. Jalannya mengendap-endap. Jangan sampai kita ketahuan oleh musuh. Dan kita harus irit-irit peluru, oke?” Ucap Anto mengatur strategi.

“Siap, jendral!” Jawab Ikmal dengan semangat. Bahkan, pipinya pun telah dicoret dengan tanah kebun. Itu tanda semangat.

Anto mengendap-endap dan Ikmal merayap-rayap di rerumputan dengan kostum daunnya. Ikmal sangat mirip Manusia Daun. Tentu memang harus seperti itu. Ikmal sangat bercita-cita menjadi tentara.

Pohon Pisang demi Pohon Pisang mereka awasi dengan sangat hati-hati. Berharap musuh bisa ditemukan, dilumpuhkan, lalu memenangkan perang ini.

Baca Juga: Kepak Sayap

“Jendral, musuh terdeteksi!” Bisik Ikmal.

“Mana?” Tanya Anto seraya menyiapkan senjatanya.

“Ada Awi di arah jam 7.”

Anto dan Ikmal mendekat dengan perlahan. Awi tak menyadarinya.

“Fire…Fire…”

Baca Juga: Sayup

Anto dan Ikmal langsung menyerang Awi yang terkejut dengan kedatangan mereka. Awi kewalahan, lalu tertembak. Awi gugur.

“Target sekarang tinggal Jalu. Kita harus hati-hati! Ia tentara yang di luar nalar.” Anto memberi komando baru.

Jalu menjadi terget berakhir setelah Awi, rekan satu timnya yang telah gugur lebih dulu. Membuat Jalu gugur bukanlah hal yang mudah. Semua orang tau pemikiran otaknya yang abstrak. Dan juga mereka harus ingat dengan karet yang mereka punya setelah digunakan untuk menyerang Awi. Anto sisa 1 dan Ikmal masih tersisa2. Tiga karet menentukan kemenangan tim mereka.

Setiap sudut kebun pisang merek susuri. Setelah beberapa lama mencari tak juga menemukan target yang dituju. Kemanakah perginya Jalu?

Mereka berhenti sejenak untuk istirahat di bawah pohon kecapi yang tumbuh alami di tepi kebun pisang. Besar, juga rimbun. Dan,

“Tes…Tes…”

Dua karet dari atas pohon kecapi mengenai 2 tentara berani mati itu.

“Ya, kena!”

Jalu bersorak girang dari atas pohon karena 2 tembakannya mengenai tepat dahi musuhnya itu. Dan musuhnya, hanya tercengang tak percaya.

“Benar kata kamu, To. Jalu di luar nalar!” Ucap Ikmal dengan nada penuh kekalahan.

Baca Juga: Temaram

Gelar pemenang kali ini jatuh kepada Tim Jalu dan Awi. Lalu, Tim Anto dan Ikmal harus mengakui kekalahan mereka karena terkena serangan jurus tarzannya Jalu. Mereka beranjak dari Kebun Pisang dengan perasaan senang, meskipun rasa tak percaya masih ada di benak Tim Anto dan Ikmal.

Jalan setapak kebun pisang berupa tanah merah yang lembab. Tanahnya yang subur membuat pohon apapun tumbuh di sana.

“Cari bem-bem, yuk?” Ajak Ikmal.

“Ayo! Biasanya banyak yang jatuh, nih.” Anto setuju.

Bem-bem adalah sejenis buah mangga yang jika matang tetap berwarna hijau dengan harumnya yang sangat menyengat. Mereka menyebutnya seperti itu.

Baca Juga: Manusia Harimau

“Iya, boleh tuh. Habis perang-perangan kaya gini, cemong-cemongan, capek, terus makan buah bem-bem yang manis, hm.”

Jalu mulai memandang langit yang menandakan ia sedang menggunakan imajinasinya. Ia suka seperti itu.

“dasar Jalu apa aja dikhayalin. Tinggalin aja, yuk!” Keluh Anto seraya meninggalkan Jalu yang masih menggunakan imajinasinya.

“Hey, tunggu!”

Bem-bem dicari dengan melihat buahnya yang telah jatuh dari pohon. Buah-buahnya yang jatuh dari pohon menandakan bem-bem itu telah matang. Pohonnya yang tinggi menyulitkan mereka memetik buah bem-bem langsung dari pohonnya. Lagian bem-bem yang masih di pohon jarang yang sudah matang.

Baca Juga: Tikus

Mereka berempat sedang mencari-cari diberi di balik rerumputan, dedaunan, dan kekayuan yang berada di bawah pohon bem-bem.

“Aku dapat!” Teriak Awi pada teman-temannya. Tangan kananya memegang buah. Itu bem-bem.

Lama-lama dan cari-cari, akhirnya terkumpul 4 buah bem-bem. Pas. Satu orang satu.

“Biasa aja kali makannya, To.” Ucap Ikaml yang melihat mulut Anto penuh dengan air buah bem-bem. Celemotan.

“Hee, habisnya anak banget, Mal. Di kampungku dulu nggak ada buah seperti ini.” Anto nyengir. Giginya nyelip serat-serat buah. Biarlah!

Baca Juga: Is’al!

Setelah puas makan bem-bem, mereka lanjut perjalanan lagi. Kali ini mereka melewati empang yang lengkap dengan jembatan bambu. Ikan lelenya besar-besar dan banyak. Itu punya Engkong Basim.

“Gimana kalau kita mancing lele?” Jalu memberi usul.

“Kamu jangan aneh-aneh, Jalu!” Awi langsung menolak mentah-mentah. Mereka semua masih trauma dengan kejadian kebun singkong. Gua bacok lu!

Akhirnya mereka memutuskan untuk ke lapangan tanah. Siang menjelang sore seperti ini pasti banyak anak kampung yang main. Dan benar saja, sesampainya di sana mereka disambut oleh anak-anak kampung yang bermain sepak bola, layang-layang, perang tanah, benteng, kelereng, petak umpet, dan permainan-permainan yang lainnya. Lapangan itu lebih tepat disebut wahana bermain.

Mereka cepat bergabung sesuai hobby masing-masing. Anto dan Ikmal memilih bermain sepak bola dan bergabung dengan anak kampung lainnya. Yang menarik dari sepak bolanya adalah tanpa adanya wasit dan tiang gawang. Tiang gawangnya ditandai dengan sendal anak-anak itu, lebar gawangnya 3 langkah.

Baca Juga: Evolusi

Ketka Ikmal sedang menggiring bola melawati satu per satu pemain lawan dan di depan gawang, Ikmal tendang bola itu sekuat tenaga. Kipernya tak membendung. Apakah gol?

“Gol!” Teriak Ikmal kencang.

“Nggak gol! Itu tiang. Bolanya menyamping.” Teriak kiper lawan tak kalah kencang.

“Itu jelas-jelas gol. Jangan curang dong kalau main!”

Perselisihan terjadi diantara dua kubu, anatara gol dan tidak. Itu semua tidak terjadi jika sebelah tiang gawang tidak menghilang. Sendal tanda tiang gawang hilang sebelah. Sendalnya dipakai pulang oleh yang punya. Mereka berantem.

Baca Juga: Biru

Mengenyampingkan itu, Jalu justru memilih bermain layang-layang dan Awi hanyat melihat. Meskipun layangan hasil minjam.

“Di sini aku pinjam layanganmu. Aku yang main. Pasti kalah musuhnya, pasti putus dia.” Ucap Jalu membujuk Yadi agar meminjamkan layangannya.

“Benar, ya? Jangan samapi kalah!”

“Iya. Lagian benang kamu Cap Kobra. Aku pasti menang lawan dia.” Ucap Jalu dengan segala bujuk rayunya.

Akhirnya Jalu memainkan layangan Yadi untuk diadu dengan layangan musuh. Jalu begitu serius.

“Serang dari samping, Lu. Potong jalannya.” Ucap Awi memberi saran.

“Halah, diam kamu! Aku sudah jago. Nggak usah kamu kasih tau.”

Jalu kembali tarik ulur benang layangannya. Hingga benang layangan yang dimainkan Jalu mengenai benang layangan musuh. Saling belit membelit. Dan,

“Tes…”

Benang layangan yang dimainkan Jalu PUTUS! Sekali lagi, P-U-T-U-S. Putus.

Yadi dan Awi tercengang menyaksikan kejadian itu.

“Tu…tunggu sini, Di! Aku akan kejar layanganmu. Aku pasti dapat layanganmu kembali, tunggu!” Ucap Jalu sembari berlari mengejar layangan yang dibawa angin itu, juga meninggalkan Yadi dan Awi di tempat. Layangan telap. Tipel. Atau putus.

Hari-hari  mereka selalu diliputi rasa senang. Hidup dengan orang kampung yang baik, juga dengan alam yang belum terusik. Mereka tak menyesali hidup ini.

 

***

 

“Indah, ya kita dulu?”

“Iya. Aku nggak mau lupa. Kamu, teman-teman, juga kampung ini yang terus berteman zaman.”

Dua orang bapak-bapak sedang duduk di tumpukkan batang beton dengan secangkir kopi sambil bercerita dan membicarakan banyak hal. Topi pengaman sepatu tali, sarung tangan, juga noda kusam bekas pasir dan semen yang mengering karena panas sinar matahari dan asap alat-alat berat proyek. Mereka adalah Jalu dan Awi.

“Ayo, Wi, kita lanjut kerja! Kpmandan sudah memanggil.”

“Ayo. Aku sangat mencintai kampung ini, Lu. Tempat yang menyimpan kenangan masa kecil kita yang indah.”

“Aku juga sangat mencintai kampung ini. Sebagaimana kampung ini mencintaiku, kamu, juga orang-orang yang ada di dalamnya. Lalu, beton dan bangunan-bangunan tinggi itu membuat kampung kita terlihat makin kokoh ya, Wi?

“Kamu benar, Lu.”

Mereka beranjak untuk lanjut bekerja. Menyambung hidup dengan cinta yang mendalam. Kampung itu.

 

***

About Post Author

Aqna Mumtaz Ilmi Ahbati

Penulis Baik Hati, Tidak Sombong, dan Rajin Menabung*
Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You might also like