Keajaiban Dari Sholat Shubuh (Kisah Nyata Ketika Mendaki Gunung Lawu)
Saya merasakan keajaiban shubuh tatkala mendaki Gunung Lawu pada Liburan Syawal yang lalu, waktu itu kami berangkat dari basecamp Candi Cetho pada pukul 9 pagi, lalu sampai di Post 5 waktu sudah senja, kemudian kami memilih mendirikan camp daripada lanjut di hargo ndalem, walaupun disana sebenarnya lebih enak karena terdapat warungnya Mbok Yem yang Legend itu, jaraknya pun lebih dekat ke Puncak.
Rencana kami mendirikan dua tenda namun yang satunya rusak, mau tidak mau tenda Consina itu ditempati, Saya, Mas Fandra, Mas Nahowi, Mas Danur, dan Mas Rokhim menambah hangat ditengahnya di terjangan dingin Malam Gunung Lawu, sebelum istirahat, kami masak logistik dulu, meskipun hanya Mie Instan, Kopi dan Tempe, yang penting bisa mengisi lambung. Lokasi pendirian tenda ini disebuah lembah yang diapit dua bikit, viewnya w0w sangat good looking karena sudah mulai memasuki Padang Savana, lalu kami Sholat Isya’ kemudian langsung istirahat total didalam tenda, tidak berani secentipun keluar dari tenda daripada terserang hypotermia.
Bangun dari merajut mimpi pukul 03.00 Wib kami memutuskan lanjut perjalanan dengan bugar dan ceria, estimasi 2 jam sampai puncak, bersama tetanga tenda sebelah, rombongan pendaki dari Sukoharjo, dari 9 orang ini yang pernah muncak sebelumnya Cuma satu orang, otomatis kami melangkah teramat pelan. Apalagi di Gunung Lawu ini menjadi Gunung terangker di Jawa, “didepan sana kita akan memasuki Pasar Setan” ucap salah satu pendaki.
Tidak ayal kami mulai hati-hati apalagi jalurnya licin, gegara terkena embun, salah pijakan sedikit saja nyawa taruhannya, fajar kala itu cuma rombongan kami yang melanjutkan perjalanan, padahal disiang harinya ramai, mungkin pada memilih sumit di siang hari. Di jalur Via Cetho ini memang menyimpan keunikan tersendiri, sebelum sampai di Puncak, akan melalui Gupak Menjangan sebuah Hamparan padang rumput yang teramat indah, namun setelah itu akan melewati pasar Dieng atau dikenal juga Pasar Setan, kerap kali pendaki di ganggu makhluk halus disini, sering pula pada tersesat, untuk yang terakhir ini yang kami alami.
Setelah menikmati bonus di Gupak Menjangan, kami akan memasuki Pasar Setan, disitu salah seorang berujar, “Sudah Manjing Shubuh, Shubuhan dulu po?”, lalu kami semua mensetujui, langsung ambil tayamum, meletakkan carrier, menyiapkan sarung membuka Kompas untuk mencari arah kiblat, lalu pada udur-uduran menjadi Imam, Mas Fandra yang tertua lalu menjadi Imam, “pakek Spion (Qunut) ndak ki?” tanya Mas Fandra pada rombongan yang dari Sukoharjo, barangkali mereka beda “Pake dong Mas” Jawab mereka.
Selesai sholat beserta do’anya, kami lanjut menuju pasar setan, ditandai dengan sebuah kain putih yang digelantungkan di batang pohon, Rombongan pun tiada yang bergurau pada diam mencekam, mungkin pada merapalkan do’a-do’a memohon perlindungan kepada-Nya. Hampir separuh perjalanan kami aman-aman saja, tanpa ada halangan berarti, Pasar Setan ini vegetasinya pohon-pohon kecil dan bebatuan yang berbalut rumput, secara kasat mata tidak telalu angker memang.
Beberepa kali rombongan agak bimbang dalam memilih jalur, pada akhirnya diam sebentar, “Kayaknya jalurnya bukan ini” kata dia, “kalau ragu jangan lanjut, buka Peta saja mas” kata Mas Fandra, kemudian pada membuka peta yang diberikan petugas waktu dibawah sana.
Saya yang buta akan lokasi hanya bisa diam saja, apakah memang seperti ini godaan di Pasar Setan? beberapa dari kami mengeluarkan sebuah suara siapa tahu ada pendaki lain yang merespon, “itu ada sorot lampu” tiba-tiba Mas Nahrowi menunjuk pada sebuah arah, sorot lampu itu lantas menjadi mercusuar atas kebuntuan kami, lalu kami melanjutkan pendakian, menuju arah lampu tadi, sampai puncak hargo Dumilah sekitar pukul 6 pagi, dan selamat hingga saat ini.
Kejadian dipasar setan tadi bagi saya menjadi sebuah pelajaran, seperti apapun situasinya, sholat tidak bisa ditinggalkan, bayangkan apabila kami tidak shubuh dulu apalagi shubuh waktunya sempit, bisa saja kami tidak mendapat petunjuk, buruknya malah kesasar dan seperti cerita pendaki lain yang sudah-sudah, pulang tinggal nama Naudzubillah.
Oleh: Amir Rachmatdani
Santri Al-Mahrusiyah asal Sragen.
Ceritane Ng Lawu kok gambare Merbabu🤣
Wah-wah, gabahaya ta