Kenangan Buya Husein Ketika di Lirboyo: Fasilitas Terbatas tapi Tetap Bisa Cerdas
Rabu 13 Juli, saya dan rekan sowan kepada Buya Husein, sebelumnya memang sudah janjian, tahu kalau kami dari Lirboyo, beliau lantas bernostalgia mengenai masa-masa Mondok di Lirboyo dahulu. Beliau mondok di Lirboyo pada tahun 1970, seangkatan dengan Alm. KH Nur Muhammad Iskandar SQ, Jakarta dan KH Ayik Muhammad Al-Hasani. Jogjakarta. Sehingga masa itu terkenal dengan tiga serangkai Muhammad.
Tiga serangkai ini kemudian hari tumbuh menjadi orang hebat dalam bidangnya masing-masing. Buyya Husein telah menjadi ulama pembela feminisme, mengasuh pondok dan penulis aktif. Lalu Alm. Yai Nur Muhammad Muballigh Kondang dan pengasuh Ponpes Asshidiqiyah Jakarta, acapkali disebut sang penakluk Ibu Kota. Kemudian Yai Ayik Muhammad Sang Akademisi dan mendirikan perguruan tinggi. 3 Muhammad ini dulu pernah bekerjasama dalam satu panitia imtihan Pondok Lirboyo tahun 1973 silam. Yai Nur muda sebagai ketua, Yai Ayik Wakil ketua, dan Buya Husein sebagai Sekretaris.
Kehebatan tokoh-tokoh tadi tidaklah dilalui dengan mudah dengan fasilitas yang wah. Bahkan penuh keterbatasan bisa juga kita sebut dengan lakon tirakat. Hal itu diakui sendiri oleh Buya Husein sewaktu mondok di Lirboyo, “Sekarang menjadi catatan penting, Mereka yang miskin itu berhasil, mereka yang kaya kagak, banyak orang yang weselnya/ kirimannya banyak tapi tidak berhasil, kalau saya kan pas-pasan saja, dulu kirimannya cuma Rp. 600 Terus tahun 73an itu 1000. Cukup untuk beli beras 12 Kg dan lauknya kulup, terus untuk membayar pondoknya 200 Rp, Jadi tiga tahun hanya lauk kulup saja.” Begitu Kenang Buya Husein dengan tegas.
Buya Husein Lalu menerangkan lagi kenapa yang kirimannya banyak itu cenderung tidak berhasil dalam mencari ilmunya atau tidak memiliki kecerdasan layanknya yang fasilitasnya terbatas, “Di depan buya itu orang kaya, weselnya banyak, tapi pulang-pulang tidak ada yang jadi, apa yang menjadi faktor begitu? Ternyata orang yang weselnya banyak itu pinginnyaa jalan-jalan saja, ke Jalan Dhoho, makan di restaurant, masak-masak, diwarung. Ya Hedonis lah, jadi kalau pulang ya capek tidur. Kalau yang tidak punya tidak bisa begitu.” Terang beliau.
Hal itu juga dilakoni Buya Husein sendiri, setiap kamis sore malam Jum’at, Pondok Lirboyo dahulu memperbolehkan santri-santri untuk keluar ke Kota. Tentu banyak yang memanfaatkannya untuk bersenang-senanang, makan, membeli pakaian atau sekadar jalan-jalan. Namun Buya Husein yang kirimannya terbatas tadi memanfaatkan untuk membaca buku atau koran yang ada di sebuah toko Buku di Jalan Dhoho. Darisinilah Buya Husein sudah mulai aktif menulis, baik Cerpen, Puisi, artikel maupun opini yang dikirimkan ke Media Cetak masa itu.
Tidak cukup di Lirboyo, di Al-Azhar Mesir pun Buya Husein tetap menjalani lakon hidup terbatas. Makannya terbatas, asrama pun numpang di Asrama KMNU (Kumpulan Mahasiswa NU) jadi membayarnya separuh, untuk makan sendiri lauknya sering ceker, kepala dan sayap ayam yang didapat dari para pedagang sana karena memang bagian itu tidak dimakan.
Mengambil bagian ayam yang dibuang ini menjadi kebiasaan Gus Dur dan Gus Mus. Ada cerita lucu, ketika mengambil daging buangan ini si pedagang bertanya penasaran, “Buat apa ini?” sama Gus Dur di Jawab, “Buat makan Anjing,” Jawab Gus Dur, padahal kenyataanya dimasak sop. Kebiasaan mengambil daging buangan ini kemudian tetap diteruskan oleh Gus Mus dan Buya Huseinو
Lakon Buya Husein dalam menimba ilmu itu relevan dengan maqolah yang sudah Mashur “ألأجر بقدر التعب” Hasil sesuai dengan kepayahannya (usahanya), Usaha tidak akan menghianati hasil. Sepiro rekosomu semono olehmu. Kita bisa melihat sendiri bagaimana Buya Husein sekarang. Artinya bagi santri yang sekarang kirimannya sedikit, fasilitas pondok tidak memadahi, masakan di Pondok tidak enak, peraturan yang ketat. Mari jalani dengan sabar, InsyaAllah hasilnya juga akan tepat sasaran. Wallohu A’lam