أَبَانَ مَوْلِدُهُ عَنْ طِيْـــــبِ عُنْصُرهِ ۞ يَا طِيْـــبَ مُبْتَدَإٍ مِنْهُ وَمُخْتَتَمِ
“Kelahiran Sang Nabi menampakkan kesucian diri.
Alangkah indah permulaannya, juga indah penghabisannya.”
Betapa gembiranya hati ini, saat kita telah memasuki bulan Rabiul Awal. Meski banyak orang yang menamainya dengan nama yang berbeda: Rabiul Awal, Maulid, Maulud, Muludan, Mevlut, tetap saja setiap orang memiliki dan menyimpan gelora gembira yang sama.
Ya, inilah saatnya. Di bulan inilah saatnya kita mengekspresikan dan meluapkan semua perasaan cinta dan rindu kita pada Baginda Nabi Muhammad Saw. Betapa kita selaku umat akhir zaman hanya bisa mengenal beliau lewat cerita sejarah, mengkaji hadits lewat redaksi lembar-lemar kitab karya ulama, dan tiada henti kita bersholawat mengagungkan sosok manusia paling agung.
Bagaimana lagi cara yang tepat dalam meluapkan segara gejolak perasaan gembira, cinta, dan penuh ta’zhim? Mari kita berlomba merayakan Maulid Nabi! Di bulan kelahiran nabi, mari kita hidupkan, mari kita rayakan bulan ini dengan peringatan kelahiran nabi.
Acara peringatan Maulid Nabi dirasa sangat perlu. Mengingat kita sebagai umat yang semakin jauh masanya dari bayang indah nabi, maka untuk kembali, tetap, dan menambah perasaan cinta kita, kilas sejarah perjuangan, akhlak pengajaran beliau, mari kita semarakan Maulid Nabi!
Tapi, dibalik segala ta’zhim kita akan Nabi dan bulan kelahirannya, tidak sedikit masih saja ada pertanyaan yang agak menggelikan dan seharusnya tidak ditanyakan: Apakah hukum merayakan Maulid Nabi itu boleh?
Maka untuk menjawab pertanyaan ini, kita tidak perlu berpikir keras dan bertele dalil. Betapa masyhurnya kita mendengar akan alasan kenapa nabi berpuasa senin kamis, adalah karena beliau memperingati hari kelahirannya di hari senin dan mengharap menutup amal dengan baik di hari pengumpulan catatan amal di setiap hari kamis.
Dan untuk hal perayaan maulid, hal ini sudah ada sejak dahulu. Maulid bukan sebagai hal baru dan dibid’ah-bid’ahkan. Apa salahnya merayakan maulid? Niatnya juga sudah baik dengan diadakannya maulid sebagai bentuk rasa syukur dan gembira kita selaku umat atas kelahiran nabi. Di dalamnya juga diisi dengan pembacaan sejarah riwayat kehidupan nabi yang penuh akan pengajaran, kita berkumpul bersilahturahmi dan bertemu, mendengarkan nasihat islam, dan saling berbagi lewat makanan yang sudah disiapkan.
Dalam dunia paling sekuler dan tidak beragama sekalipun, kelahiran atau kematian orang besar dan berjasa bagi kemanusiaan juga diperingati. Kuburannya diziarahi, diletakkan bunga di atasnya, dan dido’akan. Sungguh sangat naif jika ada orang yang membid’ahkannya (menganggap praktik agama yang sesat) hanya semata-mata karena nabi tidak menyelenggarakannya atau karena tradisi itu tidak ada pada masa nabi. Ini adalah pandangan orang-orang yang amat sederhana dalam memahami agama. mereka yang cerdas, terpelajar, dan memiliki pengetahuan kebudayaan niscaya akan memberikan apresiasi yang tinggi atas tradisi ini. Tanpa kecerdasan pikiran seperti ini, peradaban Islam akan berhenti, tenggelam, lalu mati.
Pandangan yang cerdas adalah ketika segala hal dipahami dan dimengerti makna dan signifikansinya. Bentuk dan cara adalah profan. Kita bisa membuatnya sesuai dengan tradisi dan kebudayaan kita masing-masing. Maka, upaya-upaya segolongan orang untuk menghentikan tradisi ini sama artinya dengan “membunuh” tradisi yang telah mengakar berabad-abad, menghapus kebudayaan dan peradaban umat manusia yang baik. Nabi adalah kekasih Tuhan. Tuhan serta malaikat-malaikat-Nya memberikan penghormatan atas Sang Nabi.
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya selalu bershalawat kepada Nabi Muhammad. Wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kalian kepadanya dan bersalamlah dengan sungguh-sungguh.” (QS. Al-Ahzab ayat 56).
Untuk sejarah Maulid masih ada bebarapa pendapat tentang siapa yang pertama kali berinisiatif untuk merayakan Maulid Nabi. Mengutip dari buku Pro dan Kontra Maulid Nabi karya AM Waskito, Setidaknya ada 3 pendapat mengenai hal ini:
Selain itu, dalam buku Sejarah Maulid Nabi (2015), yang dicatat oleh Ahmad Sauri dikatakan bahwa kebiasaan bangsa Arab dalam perayaan memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW atau yang sering disebut Maulid Nabi sudah dilakukan oleh masyarakat Muslim sejak tahun ke-2 Hijriah. Catatan tersebut merujuk pada Nuruddin Ali dalam kitabnya Wafa’ul Wafa bi Akhbar Darul Mustafa.
Selain itu, dalam catatan tersebut juga dijelaskan bahwa seorang bernama Khaizuran (170 H/786 M) yang merupakan ibu dari Amirul Mukminin Musa al-Hadi dan al-Rasyid datang ke Madinah dan memerintahkan penduduk mengadakan perayaan kelahiran Nabi Muhammad di Masjid Nabawi. Dari Madinah, Khaizuran juga menyambangi Makkah dan melakukan perintah yang sama kepada penduduk Makkah untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad.
Jika di Madinah bertempat di masjid, Khaizuran memerintahkan kepada penduduk Makkah untuk merayakan Maulid di rumah-rumah mereka.
Khaizuran merupakan sosok berpengaruh selama masa pemerintahan 3 khalifah Dinasti Abbasiyah, yaitu pada masa Khalifah al-Mahdi bin Mansur al-Abbas (suami), Khalifah al-Hadi, dan Khalifah al-Rasyid (putra). Karena pengaruh besarnya tersebut, Khaizuran mampu menggerakkan masyarakat Muslim di Arab. Hal ini dilakukan agar teladan, ajaran, dan kepemimpinan mulia Nabi Muhammad bisa terus menginspirasi warga Arab dan umat Islam pada umumnya.