Kepak Sayap
Sinar mentari terlihat lebih cerah hari ini. Terik panasnya pun terasa begitu membakar kulit, juga tenggorokan-tenggorokan akan dahaga. Begitu pula yang dirasakan Maman. Meskipun panas itu membakar kulit dan tenggorokan akan dahaga, ia tak gentar. Semangatnya ikut terbakar.
Di sawah seluas 5 hektar itu, Maman terus memacu Si Turbo, seekor kerbau keturunan Jawa-Madura dan sedikit Belgia itu terlihat mondar-mandir menginjak sawah berlumpur itu. Bulan agustus adalah waktunya membajak sawah. Sudah dari pagi ia bergelut dan berkecimpung dengan lumpur, juga Si Turbo yang mulai lambat melemah. Kurang rumput segar.
Sedari pagi hanya 2 potong singkong yang menemani dan memberi semangat dari dalam perut. Sekarang laparnya sudah tak terbendung. 2 potong singkong itu sudah dibinasakan asam lambung.
Adzan Dzuhur berkumandang. Suara indah muadzin itu menyerbak sampai ke daerah persawahan. Toa besar dengan tiang penyangganya yang tinggi-tinggi menyapa deru angin dan sapa burung-burung, mengirimkan sinyal akan keagungan Tuhan Semesta Alam. Maman rehat sejenak di gubug yang berdiri pas di tengah sawah. Ia lepas caping. Ia bersihkan kaki juga tangannya dari lumpur yang mulai mengering. Perlahan, ia mencoba mencari tenang dari nafas yang berulang kali ia hirup dan hembus.
Ia pandangi sawah milik pondok itu. Milik Kiai tepatnya. Siang hari, membuatnya tak mampu memandang apa yang tampak di seberang matanya. Di ujung jalan. Terik cahaya mentari menimbulkan cercah pada sawah yang telah dibajak dan diairi. Memang, ia adalah santri khodim. Kiai memasrahkan sawah itu untuk diurusnya. Ia, petaninya Kiai.
Untungnya sebelum ke sawah ia tak lupa untuk membawa bekal dari pondok. Satu bungkus nasi jagung, tahu, tempe, dan sambal sudah cukup baginya untuk mengisi perut, juga ucap puji syukur alhamdulillah dari mulut yang mulai melafal do’a kebaikan. Benar, makanan yang enak adalah makanan yang dimakan ketika sedang lapar. Tapi, kenapa harus nasi jagung? Ya, Maman adalah termasuk dari golongan santri-santri riyadhoh. Tirakat. Semua itu dilakukan tak lain dan tak bukan untuk tazkiyatun nafsi. Itu penting bagi santri. Selain usaha dzohir dengan belajar, usaha batin juga perlu.
Setelah tangnnya bersih dan do’a pun sudah terucap, lalu menunggu apa lagi? Ia langsung makan. Perlahan. Suap demi suap, kunyahan demi kunyahan lahapnya ditemani dengan desir angin, kicau burung, juga pemandangan yang indah. Meskipun sawahnya baru dibajak, melihat aliran air itu, juga renang ikan-ikan kecil yang entah datang dari mana membuatnya pantas mensyukuri segala nikmat itu. Si Turbo memandangnya iri. Ia hanya makan rumput.
Terkadang ada benarnya juga dengan ucap, bahwa” Senikmat-nikmatnya tidur pada saat ngantuk-ngantuknya. Dan senikmat-nikmatnya makan pada saat lapar-laparnya.” Maman pun seperti itu. Dengan ucap kata apa yang mampu melukiskan nikmat nasi jagung, tahu, tempe, dan sambal ini? Bahkan asam lambungnya pun histeris sepenuh hati!
“Arrrgh! Alhamdulillah.”
Maman membersihkan sisa nasi dan sambal dari jari tangan dengan mulutnya. Tak lupa ia cuci tangan setelah itu.
Bagai turis, ia memposisikan badannya seperti sedang berjemur di pantai. Sambil memandang ke depan. Angin berkali-kali menerpa wajahnya; dahi, alis, pipi, hidung, bibir, telinga, juga lentik bulu matanya.
“Fabiayyi ala irobbikuma tukadziban?” Sapa angin.
***
Tubuhnya merasa gatal. Sudah berkali-kali ia garuk kulit itu. Meskipun ia sering ke sawah, tapi gatalnya tidak sampai segatal ini. benar-benar gatal. Teman-temannya menyarankan agar ia menggunakan minyak kayu putih. Maman menuruti saran itu. Dengan segera, minyak kayu putih tadi ia oleskan ke bagian tubuh yang terasa gatal.
Panas yang berasal dari minyak itu langsung terasa di tubuhnya. Keringat pun mulai keluar dari pori-pori kulitnya. Bajunya pun mulai basah. Namun makin lama, tubuhnya kembali gatal dan garukan demi garukan mulai terdegar. semakin lama, semakin gatal, dan semakin keras garuknya. Tanpa disadari, dari celah porinya, tumbuhlah bulu berwarna putih. Dan panjang. Mirip seperti burung.
Satu bulu itu dengan cepat disusul bulu-bulu lainnya. Hingga, hampir sekujur tubuh. Membuatnya semakin mirip degan burung dara. Siluman.
Teman-temannya yang melihat Maman seperti itu, kaget bukan kepalang. Mereka berteriak histeris. Ada yang lari tunggang langgang dan tak sedikit yang tergelepak pingsan di tempat. Dari sebuah kaca, ia bisa melihat dirinya yang sangat mengerikan. Seperti manusia burung, siluman burung, atau apapun yang mirip-miripp burung.
Ia mulai gerakan badannya dan terkepak. Sayap itu benar-benar terkepak. Seperti dikendalikan, ia terbang tak tentu arah. Ke sana dan ke mari tak tentu arah. Ia merusak dan menabrak apapun. Matanya merah. Nafasnya terengah-engah. Kesetanan. Dengan bulu dan sayap burungnya ia keluar kamar dan terbang mengitari lingkungan pondok pesantren. seluruh santri menatapnya heran plus takut. Mereka tak percaya ada makhluk seperti itu. Desas desus pun merebak.
“Kasian, ya!”
“Aneh, tau!”
“Monster!”
“Ini azan santri goshob sendal!”
Ucap para santri itu terdengar jelas di telinga Maman. Entah mengapa seluruh inderanya bekerja sangat tajam dan sensitive. Maman terus terbawa kepak sayapnya. Angin pun mendukung dan mengabulkan ke mana arah sayap itu pergi. Semakin tinggi. Semakin tinggi. Sampai menabrak tower listrik dan terlonjak gemetar. Nyetrum.
“Drrrt!”
***
“Astaghfirullah, aku belum sholat dzuhur.”
Maman terbangun dari tidurnya. Nafasnya tersengal. Si Turbo menatapnya heran. Alisnya terangkat satu.
“Nasi jagung…” Ia menggantungkan ucapnya dengan berusaha menguasai pacu nafasnya.
“Aku belum bayar. Lupa!”
***