“Besok ibu kirim. Diirit-irit! Tapi, ya kalau sekiranya Abang udah nggak punya uang lagi, bilang aja. Dari pada nggak makan. Terus biar sungguh-sunguh belajarnya. Do’ain ibu sama ayah. Sehat-sehat ya, bang di sana! Do’a ibu selalu buat Abang. Wassalamualaikum.”
Itulah yang biasa ibu katakan di setiap aku telepon untuk minta uang. Padahal ibu selalu memberi jatah uang jajan padaku untuk jangka waktu satu bulan. Jika dibandingkan dengan yang lain, jatah uang jajanku terbilang tak sedikit. Ibu selalu memberiku tepat waktu, tapi aku menghabiskannya cepat waktu. Seperti sekarang, baru tanggal 11 uangku sudah habis. Bahkan, aku bisa 2-3 kali minta jatah uang jajan tambahan pada ibu. Ibu selalu memberi. Ibu yang berpesan seperti itu.
***
“Woi, teman gua, Badrun! Ngopi dulu sini.”
Malam itu adalah jadwal ngopinya Badrun. Bersama teman-temannya, ia lewati malam panjang dengan hangat kopi, jajan, tawa-tawa, dan obrolan ringan tentang banyak hal. Kebul asap rokok juga larut dalam lingkaran pertemanan itu.
“Bikin bulat dong!” Pinta Soleh pada Badrun yang sedang menghisap rokoknya.
Badrun membuat bulatan dari asap rokoknya.
“Widiiih!” Sorak teman-temannya.
Aslinya Badrun tak boleh merokok oleh ibunya. Anak-anak itu pun sama. Hanya saja, mereka merasa sudah besar, mereka lelaki. Apa kata teman-teman kalau tak merokok? Lagian orang tua tak tau, pikirnya.
Di tengah para santri yang berlalu lalang membawa kitab untuk musyawaroh ataupun sorogan, Badrun tetap asik tak terusik sedikitpun dengan para santri itu. Ia tetap ngopi dan bergembira dengan teman-temannya. Bagi Badrun, ngaji adalah ngantuk. Mending ngopi. Senang.
Dalam masalah pertemanan, Badrun adalah tipe orang yang selalu solidaritas terhadap teman. Tak pernah sedikitpun meninggalkan teman yang sedang kesulitan. Apapun akan ia berikan untuk kebaikan teman-temannya. Dan bagi teman-temannya, Badrun adalah orang yang selalu pengertian. Menjadi orang yang selalu memberikan solusi dari setiap masalah yang mereka miliki. Seperti saat tanggal tua, contohnya.
“Drun, gua minjam uang dong!”
“Berapa?”
“5 ribu.”
“Nih!”
Selembar 50 ribu Badrun berikan pada Ucok yang memelas. Badrun yang baik.
Lalu, dalam masalah gaya hidup di pondok, Badrun berbeda dengan kebanyakan santri. Ia selalu makan dengan lauk pauk yang enak; Ayam, sate, atau olahan ikan. Alasannya pola hidup sehat. Sangat berbeda dengan yang lain yang hanya makan dengan tahu dan tempe. Ia juga anti dalam hal mencuci. Pakaian-pakaian kotornya selalu ia laundry. Alasannya juga pola hidup sehat. Baju dan sarungnya adalah yang terbagus. Terbaru. Tapi, kali ini alasannya bukan pola hidup sehat. Ia-nya saja yang suka shoping-shoping. Kadang juga ia tak segan-segan untuk mentraktir teman-temannya. Apapun itu.
Pernah suatu ketika, temannya bertanya pada Badrun tentang uangnya yang seakan tak pernah habis.
“Aku kan anak orang kaya. Kalau uangnya habis, tinggal minta lagi!” Jawabnya ringan. Ia sangat betah mondok.
***
Seorang ibu para berjalan tersiuh-siuh. Ia menantang panas matahari dengan sendal jepit yang setia menemani setiap langkah hidupnya. Sesekali ia mengusap keringat yang menetes dari dahinya. Basah hijabnya. Seorang bayi berumur 10 bulan hangat dalm balutan kain yang melingkari bagian leher dan dada ibunya. Kakaknya yang telah menginjak taman kanak-kanak terus memegangi telunjuk tangan kiri ibunya. Mereka selalu ingin mengikuti kemanapun langkah ibunya pergi. Mereka hanya ingin ibu, tak apa ditinggal mati ayah. Lalu, tangan kanannya sang ibu membawa berat barang-barang dagang. Ia adalah penjual kue keliling.
Ya, ibu itu adalah penjual kue keliling. Ia berjalan jauh dengan beban berat dan panas matahari yang menyengat. Teriakan pemanggil pembeli mengiringi setiap langkah kakinya. Suara itu menggetarkan setiap telinga dan hati-hati yang terlupa. Debu-debu jalan rela menjadi saksi dari semangat ibu itu untuk menghidupi anak-anaknya. Sang suami telah gugur dalam peperangan melawan kerasnya hidup. Ia telah dipanggil tuhan. Dengan sisa tenaganya yang ada, ia menempati sebagai tulang punggung keluarga.
“Tak apa aku lelah, asalkan anak-anakku jangan ada yang putus sekolah.”
Kalimat itu adalah prinsip yang selalu ia pegang kuat-kuat.
Rezeki sudah ada yang mengatur. Namanya berdagang kadang ramai, kadang tidak. Bahkan ia harus membelah kabut fajar di setiap kali ia mulai melangkahkan kakinya untuk berdagang. Kue itu kadang tak habis. Hingga, ia harus pulang lebih petang dari biasanya.
Receh demi receh, lembar demi lembar ia hitung penuh syukur. Uang itu ia gunakan untuk kehidupan keluarganya dan modal dagang hari esok. Jika ada sisa, ia tabung untuk kebutuhan yang mendesak.
“Kring.”
Telepon peninggalan suaminya, berdering. Ternyata dari anaknya yang berada di Pondok Pesantren. Anak yang sangat ia banggakan. Anak yang sangat ia harapkan.
“Bu, uang Abang habis.”
“Kan, ini baru tanggal 11.”
Ibu dan anak itu banyak berbincang. Besok, ibu itu berjanji akan mengirimi uang yang anaknya pinta. Untuk sekarang, limpahan do’a-do’a. Seorang ibu yang baik. Telepon ditutup.
Kaleng biskuit tempat tabungan diraih. Ia hitung, ia ambil untuk bekal anak tercintanya yang sedang lelah mencari ilmu di perantauan. Ia mengesampingkan SPP dan susu anaknya yang bayi. Itu masalh gampang. Ia bisa meminjam lagi pada bos tengkulak. Tak apa ia dicaci maki, asalkan jangan anaknya kelak.
“Ya Allah, jadikanlah anak-anakku orang yang sholeh sholehah, orang yang taat, dan bermanfaat bagi sesama. Lindungi dan jagalah mereka. Berkahi dan rahmati mereka. Sayangi mereka. Berilah mereka kehidupan yang layak. Mereka cukup menderita karena aku. Aku ibunya, berdo’a pada tuhan yang Maha Dermawan lagi Maha Mendengar. Terimalah do’aku, Ya Allah. Amin.”
Air matanya menetes.
***