KH. Agus Sunyoto , Sejarawan Dari Kalangan Santri
Buku berjudul Atlas Wali Songo, jika mendengarnya saja sudah membuat penasaran dan rasa decak kagum dari semua kalangan, baik itu budayawan, akademisi, santri hingga pemerhati sejarah. Terbukti, pada tahun 2014, karya fonumenal ini mendapat penghargaan sebagai “ Buku Terbaik Nonfiksi” versi Islamic Book Fair. Adanya karya yang luar biasa ini tak terlepas dari ikhtiar pengarang buku, KH. Agus Sunyoto. Seorang penulis, pemerhati budaya dan sejarah negeri. Beliau juga aktif di kepengurusan PBNU, menjadi ketua Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslimin) sejak 2015 hingga 2021.
Tidak hanya itu, beliau juga pernah melakoni profesi Wartawan Jawa Pos dari tahun 1986-1986, wartawan free-lance, mengisi tulisan di berbagai macam surat kabar, Surya, Republika dan Merdeka, aktif ,di LSM serta sering melakukan penelitian sosial dan sejarah, dengan pengalaman yang luar biasa ini, menghantarkan KH. Agus Sunyoto pribadi yang multitalent, serta berhasil menulis puluhan buku.
Keidentikan KH. Agus Sunyoto tidak terlepas dari banyaknya sejarah dan budaya yang beliau geluti, hal ini dapat tergambar dari rutinitas yang ia jalani, serta pendapat-pendapat yang beliau utarakan, salah satunya “Gusti Allah itu bukan hanya milik Orang Arab dan Islam, tidak mengenal pewarisan yang turun temurun, Orang Pribumi boleh berhubungan dengan tuhan. Tuhan tidak membatasi kebangsaan seseorang.”
Kyai Karismatik ini lahir pada tanggal 21 Agustus 1959 Di Kota Surabaya, Riwayat pendidikan nya antara lain: SDN Tembaan I Surabaya tahun 1966 lulus 1973, kemudian SMP Simpang Jaya Surabaya tahun 1973 lulus 1977 Serta SMAN IX Surabaya tahun 1977 lulus 1980. Setelah itu, beliau melanjutkan jenjang pendidikan tinggi, S-1 di IKIP Negeri Surabaya tahun 1980 lulus 1985 dan S-2 di IKIP Negeri Malang tahun 1986 lulus 1989.
Tak hanya berhenti di sini, rihlah pendidikan keagamaan KH. Agus Sunyoto juga beliau jalani, diantara pesantren yang pernah beliau singgahi untuk mengaji adalah Pondok Pesantren Nurul Haq Surabaya, asuhan KH. M. Ghufron Arif, setelah menamatkan di Pesantren Nurul Haq, KH. Agus Sunyoto melanjutkan kembali perjalanan keilmuannya dengan mengaji kepada KH. Ali Rochmat, Wedung, Demak, Jawa Tengah. Tepat di tahun 1994 beliau mengikuti Pesulukan Thariqah Agung (PETA), Kauman Tulung Agung dibawah bimbingan KH. Abdul Jalil Mustaqim dan KH. Abdul Ghofur Mustaqim.
Berkiprah Di Nahdlatul Ulama.
Langkah besar KH. Agus Sunyoto untuk membuat harum nama pesantren, kyai serta santri berhasil terwujud tatkala beliau berhasil menyusun sebuah buku tebal berjudul Fakta dan Resolusi Jihad, Sejarah Perang Rakyat Semesta Di Surabaya, 10 November 1945. Berkat kegigihannya, beliau telah menghadang segala tipu daya curang yang berkehendak untuk memalsukan sejarah demi kekuasaan. Melalui buku tersebut, beliau mengambil keputusan yang berani untuk melawan keteledoran pemerintahan dalam penyusunan sejarah bangsa seputar 10 November 1945 berdasarkan fakta tertulis dan wawancara pejabat veteran formal merupakan kesalahan besar.
Sebab, dari riset serta penelitian beliau terbukti bahwa perang tersebut tak lepas dari andil santri-santri jawa timur yang memiliki semangat dan daya juang tinggi menghadapi penjajah. Latar belakang semangat tersebut dilandasi dari adanya Fatwa Jihad Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari dan Resolusi Jihad NU pada tanggal 22 Oktober 1945. Hingga saat ini, peristiwa penting di tanggal tersebut diabadikan menjadi Hari Santri Nasional, Negara mengakuinya sebagai bentuk penghormatan gerakan nasionalisme para kiai dan kaum santri.
Memperjuangkan Nahdlatul Ulama dan kaum pesantren tak berhenti disini, tatkala beliau didapuk PBNU menjadi Ketua Lesbumi, bahkan beliau digadang-gadang sebagai bapak kebangkitan Lesbumi PBNU. Belum lagi khidmah beliau ketika berperan sebgai Mustasyar PCINU Rusia, mengisi seminar-seminar bertajuk Kenahdliyian di berbagai tempat.
Melihat dari setiap perjuangan dan pemikirannya, terdapat nilai-nilai penting untuk menjadi pelajaran dalam mengarungi kehidupan, beliau lantang bersuara, mangandung maksud tajam dalam setiap tulisannya, agar distorsi sejarah jangan sampai terjadi, dan jangan sampai peradaban nusantara menjadi kerdil, layu ketika dihadapkan kebudayaan luar.
Sudut Pandang Keluarga Terdekat.
Sebagai tokoh yang terpandang dan dikenal banyak orang, KH. Agus Sunyoto tetap menampilkan kesederhaan di kesehariannya, berdasarkan penuturan dari adik beliau, Prof. Imron Arifin, kakaknya merupkan pribadi yang unik, selama hidupnya beliau sering mencontoh apa yang dilakukan nabi juga walisongo, seperti halnya membeli tanah kemudian digunakan untuk membangun masjid dan diwaqofkan, pesantren yang beliau dirikan juga diwaqofkan, bahkan setelah akhir hayatnya, KH. Agus Sunyoto tidak meninggalkan warisan, sebab harta bendanya sudah habis dipakai untuk kepentingan umat.
Lebih spesial lagi, beliau termasuk orang yang produktif menulis, sebanyak 72 buku sudah dipublikasikan, dan dibalik itu semua, ternyata KH. Agus Sunyoto menguasai 11 bahasa untuk literatur. Antara lain, Belanda, Jawa, Jawa Kuno, Prancis, Inggris, Arab dan Rusia, termasuk juga Bahasa Ibrani.
Di masa-masa akhir hayatnya, KH. Agus Sunyoto menyempatkan ziarah ke makam guru-gurunya, termasuk ahli sufi di Banjarmasin. Apa yang beliau lakukan ini persis seperti yang sudah dilakukan Gus Dur ketika menjelang wafatnya, sebagai pamitan karena sudah memiliki firasat. Dilihat dari apa yang telah dilakukan KH. Agus Sunyoto, menunjukan bahwa beliau pribadi taat, namun jarang menampakn kealiman dan kema’rifatan nya.
Sedangkan, jika dari penuturan anaknya, Zulfikar Muhammad. KH. Agus Sunyoto merupakan seorang ayah yang selalu mengajarkan kedisiplinan serta tidak menyalahi kekuasaan yang diemban, saat Zulfikar ingin menikah, bisa saja telepon saja KUA untuk mengurusi, tapi ayahnya mengajarkan untuk mengikuti sesuai prosedur yang ada.
Begitu juga, mengenai khidmah lil ummah/ pelayanan kepada umat, sewaktu Zulfikar bekerja di Dinas Perhubungan Gresik bidang penyebrangan, ada santri yang ingin pulang ke kampung halaman namun tidak punya ongkos untuk perjalanan, akhirnya beliau dinasehati oleh ayahnya untuk sebisa mungkin memberi perjalanan kepada santri tersebut, sebisa mungkin memberikan pelayanan yang maksimal.
Akhirnya, Tokoh panutan ini berpulang pada bulan suci, 15 Ramadhan 1442 bertepatan pada tanggal 27 April 2021, hari wafat beliau di Hari Selasa, sama seperti wafatnya KH. Maimoen Zubair, hari dimana banyak para ulama sholeh berpulang.