KH Muhammad Syarqowi Al-Kudusi di lahirkan di kota Kudus, Jawa Tengah. Tepatnya di kelurahan kauman, kurang lebih 387 M kearah utara Masjid Al-Aqsa, Menara Kudus. Tidak di ketahui secara pasti tahun berapa beliau di lahirkan. Namun, dengan pendekatan tertentu dapat diperkirakan kapan beliau di lahirkan dan kapan beliau wafat. Berdasarkan risalah di tulis oleh beliau sendiri saat nyantri di Makkah pada tahun 1286 H. (1870).
Dalam keterangan lain beliau nyantri di Makkah selama 13 tahun, antara tahun 1285 H-1293 H. (1868-1876) dan beliau wafat pada tahun 1329 H (1911M.) Jika saat kedatangannya Kiai Syarqowi berusia 26 tahun, maka beliau dilahirkan pada tahun 1260 H. (1844M.) dan wafat dalam usia 70 tahun. Namun jika saat kedatangan beliau itu berusia 35 tahun, maka beliau dilahirkan dalam tahun 1250H (1834 M.) dan wafat dalam usia 80 tahun. Kiai Muhammaad Syarqowi Bin Shidiq Romo Bin Merto Wijoyo Bin Tirto Kusumo merupakan keturunan ke-11 dari Sunan Kudus (Raden Ja’far Shodiq).
Hoob De Jonge peniliti asal Belanda dalam bukunya “Madura Dalam Empat Zaman” mengeklaim bahwa beliau merupakan keturunan Sunan Kudus. Beliau termasuk ulama kaliber di Nusantara satu periode dengan Syekh Nawawi Al-Bantani.
Ayah dan kakeknya termasuk Ulama terkemuka yang berpengaruh. Terdapat sejarah panjang sebelum beliau Hijrah ke Desa Guluk-Guluk, Sumenep, Madura. Daerah yang terletak di perbukitan, apalagi pada kala itu belum terjamah akses seperti sekarang. Tidak mungkin beliau di statuskan sebagai orang biasa yang dapat mendirikan Pondok Pesantren yang mengalami perkembangan cukup pesat hingga saat ini.
Kiai Syarqowi mempunyai 25 putra dan putri dari enam istri di Kudus dan Sumenep. Istri kelima dan keenam di nikahi setelah dua istri sebelumnya wafat. Selama beliau di Madura masih sering berkunjung ke Kudus untuk menjenguk ibundanya bernama kamilah. Kemudian ibunda beliau ini di bawa Hijrah ke Prenduan atas saran istri yang bernama Khadijah.
Setelah Kiai Muhammad Syarqowi wafat, kepemimpinan pesantren di lanjutkan oleh putra-putranya yaitu Kiai Bukhori, Kiai Idris, Kiai Abdullah Sajjad dan Kiai Muhammad Ilyas. Keturunan beliau ini sejak awal abad ke-20 mulai mengembangkan jering elit ulama, dakwah dan pendidikan di kota kecil ini.
Di desa Prenduan, Kiai Syarqowi membuka pegajian Al-Qur’an dan mejelis ilmu keislaman, seperti pengajian kitab untuk masyarakat umum. Selain dari keluraga dan kerabat dekat istrinya, banyak juga anggota masyarakat Preduan maupun dari desa tetangga sekitar bahkan dari luar kabupaten juga mengikuti pengajian kepada beliau, di antaranya kiai Imam bin Mahmud dari desa Aengpanas (cikal bakal pendiri pesantren karay, desa ketawang karay, Ganding), Kiai Thabrani bin Sama’uddin dari dusun Arongan (Pesantren Al-Muhibbah, desa Daleman, Ganding), dan lain-lain.
Selain itu, di desa Prenduan Kiai Syarqowi membina rumah tangga dengan Nyai Khadijah hingga beliau di karuniai putra-putri yaitu Nyai Shalihah, Nyai Zubaidah, Nyai Jauharatun Naqiyah, dan Kiai Bukhori. Sementara Kiai Idris dilahirkan setelah Kiai Syarqowi menetap di Guluk-Guluk.
Sejak Kiai Syarqowi memiliki putra bernama Kiai Bukhari, hasrat beliau untuk berhijrah keluar Prenduan semakin kuat, karena khawatir akan Putra laki-laki pertamanya itu tidak dalam menjalani didikan Kiai Syarqawi. Kiai Syarqawi memutuskan untuk hijrah ke suatu tempat yang beliau anggap lebih bersahabat untuk meneruskan perjuangan umat yang berilmu.
Setelah Kiai Syarqawi berkeliling mencari-cari tempat yang cocok di sekitar Kabupaten Sumenep, akhirnya di pilihlah sebuah desa bernama Guluk-Guluk, sekitar 7 Km ke arah utara dari desa Prenduan. Di desa guluk guluk Kiai Syarqowi membina pesantren An-Nuqoyyah, sebuah pesantren dengan bangunan bekas kandang kuda. Dalam sebuah catatan menyebutkan bahwa beliau mendirikan pesantren ini kisaran tahun 1887 M. Di sini jugalah beliau memulai Networking Genelogis.
Dari kota Kudus Kiai Muhammad Syarqowi belajar di Makkah bergabung dengan Ulama besar Nusantara lainnya. Seperti Syekh Nawawi Al-Bantani. Dalam karya-karya Kiai Nawawi ini banyak disebut nama Assyarqawi. Seperti kata-kata apresiatif ”Afadhu Asysyarqawi”.
Beliau memulai pendidikan dengan Ta’lim Tartilil Qur’an kepada santri dan masyarakat sekitar. Aktivitas mengajarkan Qira’ah dan Tartilil Al-Qur’an berlanjut secara turun temurun hingga menjadi tradisi Pesantren An-Nuqoyyah. Keuletan dalam Ta’lim Al-Qur’an yang di ajarkan kepada anak desa Guluk-Guluk, dilanjutkan oleh Nyai Mariyah istri beliau.
Selain itu, beliau memiliki karya tulis Risalah I’lal Al-Qur’an di bidang I’lal Sharfiyyah, yang mana naskah aslinya ada pada Kiai Muhammad Ilyas. Kitab ini ditulis semasa beliau menuntut ilmu di Makkah. Pada sampulnya tertulis nama beliau Asysyarqawi.
Di lain sisi, jika Kiai Syarqawi menjelaskan materi dalam kitab yang sedang di kaji, sering membuat santri jatuh pingsan. Kiai Imam bin Gung Mahmud (Menantu Kiai Syarqawi yang menikah dengan Nyai Zubaidah Syarqawi) selalu membaca kitab dengan cepat dan ketika ada yang musykil, langsung Konsultasi dengan Kiai Syarqawi mendengar keterangan yang jelas, rinci dan menyentuh, membuat Kiai Imam sering jatuh pingsan.
Dalam sebuah riwayat beliau wafat pada hari Jum’at siang, besertaan dengan hujan deras, padahal pada waktu itu musim angin timur. Mungkin sekian biografi singkat Kiai Muhammad Syarqawi, seorang kiai petualang dari Jawa ke Madura yang mendirikan pondok pesantren yang cinta lingkungan.