KH. Said Aqil Siradj Sampaikan Metode Pendidikan Pesantren pada Mahasiswa IAI Tribakti Kediri
“Kita ini jebolan pesantren. Kita tidak boleh meninggalkan tradisi pesantren. Kita punya kebanggan, kelebihan, keunggulan dari lembaga-lembaga pendidikan yang lainnya.”
Tutur Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, M.A. dalam acara “Yudisium dan Orasi Ilmiah: Transformasi Kelembagaan menjadi Universitas Islam Tribakti” pada wisudawan/wisudawati S1 dan S2 Institut Agama Islam Tribakti Kediri, Kamis (18/11). Dalam mau’idzohnya beliau membagikan empat metode pendidikan pesantren.
Pertama, Manhaju At-ta’lim. Yang isinya menyampaikan pengetahuan. Dalam penjelasannya, pendidikan pesantren itu sangat luar biasa, at-Ta’lim di pesantren ini bukan saja memberikan pengetahuan, melainkan juga mental yang tangguh.
“Dulu semasa saya di Lirboyo tidak ada pikiran nanti setelah sudah tua makannya bagaimana, hidupnya bagaimana, gajinya berapa. Yang kami pikirkan bersama teman-teman, yang terpenting Al-fiyyah harus hafal, Fathul Mu’In harus paham. Malu kalau mondok jauh-jauh tapi tak bisa menguasai ilmu yang diajarkan dalam kitab.” Jelas Ketua Umum (Ketum) PBNU.
Manhaju at-Ta’lim merupakan prinsip pertama yang tidak boleh luntur, sebab itu seorang santri harus memiliki semangat ingin tahu, semangat ingin bisa, semangat ingin pandai yang tinggi. Semangatnya bukan karena selembar ijazah ataupun sertifikat.
“Pernah pada suatu zaman menterinya Pak Maftuh Batsuni, ada kisaran 60 santri yang diperintahkan untuk mendaftar kuliah di kampus-kampus umum, di UGM, ITB dan kampus besar lainnya. Pak Maftuh membatin: ‘Alaah paling yang lulus hanya 2,3, atau 4.’ Setelah pengumuman keluar, ternyata yang tidak lulus hanya 1. Semua heran mendengar ini, yang berawal dari didikan agama namun bisa masuk ke jurusan teknik di kampus besar. Ini karena mereka ingin bisa, ingin menguasai, bukan hanya berharap pada selembar kertas.” Tambah Ketum PBNU yang sudah menjabat 2 periode ini.
Kedua: Iqamati Syari’atillah (mendirikan syari’at Allah), seperti; sholat, zakat, puasa, haji, umrah, baca qur’an dan istighatsah.
Ketiga: Bila perlu Wal Qitaalu fii sabilillah (angkat senjata), ini bila kita diserang. Dan yang terakhir pengasuh pondok pesantren Luhur Al-Tsaqafah Jakarta ini mengatakan: “Wa daf’u dhorori ma’suumin (Melindungi setiap warga ngara yang baik-baik). Entah itu muslim atau non muslim kita harus bersama menjaganya dengan baik-baik dengan ketahanan pangan, kecukupan pangan, sandang, papan. Dan pada hal ini pemerintah wajib mencukupinya untuk seluruh penduduk Indonesia, entah itu muslim atau non musliim yang baik-baik.” Kata Pembina Yayasan KHAS Kempek, Cirebon ini.
Begitu semua adalah bentuk jihad fii sabilillah dan pemerintah wajib mewujudkan semua itu. Bila tidak maka sama saja pemerintah melakukan perbuatan dosa. Bahkan bila warga negara sakit seharusnya pemerintah menggratiskan semua biaya pengobatan. Demikian ini jika pemerintah melaksanakan maka sama saja ia sudah menerapkan apa yang ada di Al-Kitab Fatkhul Mu’in.
Acara ini juga dihadiri oleh KH. Kafabihi Mahrus, Ketua Senad IAIT; Dr. KH. Reza Ahmad Zahid, Lc. MA Rektor IAIT Kediri; Dr. KH. Mujib Qulyubi, Katib PBNU; KH. Rabiqin Emhas, pengacara; H. Andi Najmi Fuaidi; Wakil Sekretaris Jenderal dan jajaran tokoh akademik, politisi lainnya.